ETOS KERJA (Ayat Pendukung, Surat An-Najm 39 Sampai 41 Dan Surat An-Nahl 97)
Sejarah membuktikan bahwa negara dewasa ini menjadi negara maju dan terus berpacu dengan teknologi, informasi tinggi pada dasarnya dimuat dengan suatu etos kerja yang sangat kuat untuk berhasil, bahkan agama Islam juga maju tidak terlepas dari etos kerja yang kuat. Mulai dari Nabi Muhammad SAAW, para khalifah, wali songo dan para ulama yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan dan menyiarkan agama Islam.
Etos berasal dari bahasa Yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan seseorang, atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dengan kata lain ethos adalah aspek evaluatif sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupannya.
Menurut Usman pelly (1992:12) ethos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai terhadap kerja. Dapat dilihat dari kenyataan di muka bahwa etos kerja membunyai budaya dan dasar, dimana budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi.
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spritual, intelektual, fisik biologis maupun kehidupan individu dan sosial dalam berbagai bidang;
“yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain.
Ketika memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shaleh) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah swt. Karena setiap pekerjaan yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak dan masing-masing kita menerima balasan setiap yang kita lakukan atau sesuai dengan yang kita usahakan. Jika usaha yang baik yang kita lakukan maka yang baiklah yang akan kita terima namun sebaliknya jika usaha itu tidak baik, maka balasannya juga akan kita terima.
Seperti yang dijelaskan dalam surat An-Najm (53) ayat 39 sampai 41.
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,. dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna,”
Dalam tafsir Al-Mishbah dijelaskan bahwa huruf (ل) Lam pada firman Allah: (للا نشان) Li Al-Insan berarti memiliki, kepemilikan yang dimaksud adalah kepemilikan yang hakiki, yang senantiasa akan menyertai manusia sepanjang eksistensinya. Ia adalah amal-amalnya yang baik dan yang buruk. Ini berbeda dengan kepemilikan relatif, seperti kepemilikan harta, anak, kedudukan, dan lain-lain yang sifatnya sementara serta pasti akan lenyap dengan kematiannya.
Kata (شئ) Sa’a pada mulanya berarti berjalan cepat namun belum sampai tingkat berlari. Kata ini kemudian digunakan dalam arti berupaya secara sungguh-sungguh. [1]
وَاَنْ لضيْْسَ لِلاِنِسَانِ الاَّمَا سَع...
“Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh pahala kecuali pahala yang ia dapatkan untuk dirinya sendiri dengan usahanya sendiri”[2]
Dari ayat ini pula imam asy-syafi’I dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa pengiriman pahala bacaan Al-Qur’an itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, karena bacaan itu bukan amal dan usaha mereka. [3]
Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak pernah mensunnaahkan atau memerintahkan umatnya untuk melakukan hal tersebut. Selain itu beliau juga tidak pernah membimbing umatnya berbuat demikian, baik dalam bentuk nash maupun melalui syarat. Dan perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para sahabat. Sekiranya hal itu merupakan suatu hal yang baik, niscaya mereka akan mendahului kita semua dalam mengamalkannya. Dan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah harus didasarkan pada nash-nash, tidak boleh didasarkan pada berbagai qiyas dan pendapat semata. Sedangkan do’a dan amal jariyah sudah menjadi kesepakatan para ulama dan ketetapan nash syariat bahwa hal itu akan sampai kepada si mayit.
Rasulullah saw bersabda:
إذاماتَ الا نسانُ اِنْقَطَعَ عَمَلهُ إلا منْ شَلاثٍ من ولدٍصا لح يدعو له أو صدقةٍ جا رية من بعده أو علم ينتفع به
“ Jika seseorang wafat, mak terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: ank shaleh yang mendo’akannya, shadaqah jariyah setelahnya, dan ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim)
Ketiga perkara tersebut pada hakekatnya merupakan usaha dan kerja kerasnya semasa hidup, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
إنّ أَطْيَبَ مَاأكَلَ الرّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإنّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah (makanan) yang berasal dari hasil usahanya, dan sesungguhnya anaknya itu termasuk dari hasil usahanya. “
Shadaqah jariyah itu hasilnya dapat berupa wakaf dan lain sebagainya, yang semua itu merupakan bekas dan peninggalan amal dan wakaf mereka dan Allah telah berfirman (Yaasiin: 12).
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Amal baik atau buruk yang pernah dilakukan atau diajarkan seseorang, dan menjadi tradisi atau diikuti oleh orang lain, juga merupakan salah satu bagian dari pengertian ilmu yang diajarkannya.[4] Dalam konteks ini Nabi saw bersabda:
“ Siapa yang menjadi penyebabterjaddinya satu kebiasaan yang baik, maka baginya ganjarannya dan ganjaran yang dilakukan oleh orang-orang yang melaksanakan kebaikan itu, tanpa berkurang sedikitpun dari ganjaran pelaku-pelakunya, demikian juga sebaliknya”. (HR. Bukhari dan Muslim melaui Abu Amr Jarir Ibn Abdillah ra)
وَاَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرى....
“ Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan kepada, “ Yakni pada hari kiamat kelak.
Maksudnya, Allah akan memberi tahu amal kepada kalian sekaligus memberikan balasan atasnya dengan sepenuhnya, jika berupa kebaikan, maka akan dibalas dengan kebaikan, dan jika berupa keburukan, maka akan dibalas pula dengan keburukan.
Kata (يرى) Yura/dilihat yang berbentuk pasif mengesankan adanya pihak lain yang melihat dan memperhatikan amal-amal manusia. Demikian Thabathaba’i.
Usaha yang baik atau yang buruk tidak akan dilenyapkan Allah tetapi kelak akan dilihat dan diperlihatkan kepadanya (manusia), sehingga dia kan akan berbangga dengan amal baik dan ingin menjauh dari amal perbuatannya.[5]
ثم يُجْزَ ه الجَزاءالاوفَى...
41. kemudian manusia diberi balasan atas usahanya dengan balasan yang semurna utuk semua perbuatannya.[6] Kalau baik akan dilipat gandakan Allah, dan kalau buruk tidak akan dimaafkan Allah, akan dibalas sempurna kesetimpalanhnya.
Janji Allah telah dijelaskan dalam surat An-Najm (53) ayat 39-41 bahwa manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakan. Jadi seseorang tidak akan memikul dosa dan mudharat yang dilakukan orang lain maupun manfaat dari amalan baik orang itu. Ia tidak akan dapat meraihnya. Dan kelak di akhirat, baik usaha baik atau yang buruk akan diperlihatkan Allah kepada kita dan diberi balasan yang sempurna kesetimpalannya. Prinsip pelaksanaan janji dan ancaman dalam ayat tersebut dijelaskan dala surat An-Nahl ayat 97 :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Selain ayat-ayat An-Najm ayat 39-41 menjelaskan ancaman bagi yang durhaka dan bagi yang taat, ayat 97 dari An-Najm ini menampilkan prinsip yang menjadi dasar bagi pelaksanaan janji dan ancaman itu. Prinsip tersebut berdasarkan keadilan, tanpa membedakan seseorang dengan yang lain kecuali atas dasar pengabdiannya. Prinsip itu adalah: barang siapa yang mengerjakan amal shaleh , apapun jenis kelaminnya, baik itu laki-laki ataupun perempuan, sedang dia adalah mukmin,yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan Kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baikdi dunia ini dan sesungguhnya akan Kami kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih baik, dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.
Amal-amal shaleh yang diperintahkan itu yakni telah disyari’atkan di sisi Allah, yaitu Dia kan memberikan balasan di akhirat kelak dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya kehidupan yang baik itu mencakup seluruh bentuk ketenangan, bagaimanapun wujudnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah bersabda:
قَدْأَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرَزَقَ كَفَا فًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمااتَاهُ
“sungguh beruntung orang yang berserah diri, yang diberi rizki dengan rasa cukup, dan diberikan perasaan cukup dari Allah atas apa yang telah Allah berikan kepadanya (HR. MUSLIM)
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia bercerita bahwa Rasulullah bersabda:
إنّالله لا يظلم المؤمن حسنة يعطى.....
Yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi atas kebaikan orang mukmin yang Dia berikan di dunia dan Dia balas kelak di akhirat. Sedangkan orang kafir, maka dia akan diberikan berbagaikebaikannya di dunia, sehingga apabila datang alam akhirat, maka tiada satupun kebaikan yang mendatangkan kebaikan baginya” (HR. MUSLIM).
Kata صالح shaleh dipahami dalam arti baik, serasi atau bermanfaat dan tidak rusak. Seseorang dinilai beramal sholeh, apabila ia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya, dan dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat.
Seseorang yang tidak bisa menjaga/memelihara nilai-nilai atau orang-orang yang yang berpaling dari mengingat Allah , sehingga dia tidak beriman dan tidak mengerjakan amal sholeh, maka dia senantiasa berada dalam kesusahan dan kepayahan, karena sungguh tamak untuk memperoleh berbagai kesenangan dunia. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka dia akan merasa sedih, gundah, dan gelisah. Kemudian, apabila sesuatu kesenangan dunia terlewat olehnya, maka dia akan bermuka masam dan hatinya diliputi oleh perasaan sedih, karena dia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah tercapainya kesenangan hidup ini dan menikmati kelezatannya. Apabila tidak mempeolehnya maka dia akan mengharamkan segala apa yang dia impikan. Dia memandang apa yang dikehendakinya itu sebagai puncak kebahagiaan dan kebaikan.[7] Demikianlah, dengan tabiatnya manusia adalah makhluk yang bersifat keluh kesah dan kikir
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,” (Al-Ma'arij. 70:19 - 22).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. berdoa:
اللهُمَّ قَنِّعْنِيْ بِمَا رَزَقْتَنِ,وَبَرِكْ لِى فِيهِ,وَخْلُفْ عَلَيَّ كُلَّ غَا ئبَةٍ لِى بِخَيْرٍ.
"Ya Allah, puaskanlah aku dengan rezjki yang telah Engkau berikan kepadaku, berkahilah apa yang ada di dalamnya untukku, gantikanlah setiap milikku yang hilang dengan kebaikan."
Tirmizi dan Nasa'i mengeluarkan dari hadis Fadalah bin Ubaid, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda :
قَدْأَفْلَحَ مَنْ هُدِىإِلىَ الاسْلاَمِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَا فًا وَقَنِعَبِهِ.
"Berbahagialah orang yang diberi petunjuk kepada Islam, dan kehidupannya cukup, sedangkan dia puas dengan kecukupan itu."
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
قَدْأَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرَزَقَ كَفَا فًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمااتَاهُ
“Berbahagialah orang yang memeluk Islam dan diberi rezki yang cukup, serta Allah memuaskannya dengan apa yang telah diberikan kepadanya.”
Dicakup juga oleh kata beramal shaleh upaya seseorang menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas (perbaikan) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Yang lebih baik dari itu adalah siapa yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu la melakukan aktivitas yang melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dari semula.[8]
Al-Qur'an tidak menjelaskan tolok ukur pemenuhan nilai-nilai atau kemanfaatan dan kaidah kerusakan itu. Para ulamapun berbeda pendapat. . Syekh Muhammad 'Abduh misalnya mendefinisikan amal saleh sebagai "Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan."
Az-Zamakhsyari, seorang ahli tafsir yang beraliran rasional sebelum Abduh berpendapat bahwa amal saleh adalah, "Segala perbuatan
yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur'an dan atau sunnah Nabi Muhammad saw”.
AI-Qur'an, walau tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal saleh, tetapi apabila ditelusuri contoh-contoh yang dikemukannya tentang Al-Fasad (kerusakan) yang merupakan antonym dari kesalehan. maka paling tidak kita dapat menemukan contoh-contoh amal shaleh.
Usaha untuk menghindari dan mencegah hal-hal di atas merupakan bagian dari amal saleh. Semakan besar usaha tersebut, semakan tinggi nilai kualitas hidup manusia. Demikian pula sebaliknya. Tentu saja yang disebut di atas adalah sekadar contoh-contoh. Sungguh sangat luas lapangan amal saleh yang terbentang di persada bumi ini.
FirmanNya: (وهومؤمن) wahuwa mu’min / sedang dia adalah mu’min menggarisbawahi syarat mutlak bagi penilaian kesalehan amal. Keterkaitan amal saleh dan iman menjadikan pelaku amal Boleh melakukan kegiatannya tanpa mengandalkan imbalan segera, serta membekalinya dengan semangat berkorban dan upaya beramal sebaik mungkin.
Setiap amal yang tidak dibarengi dengan iman, maka dampaknya hanya sementara. Dalam kehidupan dunia ini terdapat hal-hal yang kelihatan sangat kecil bahkan boleh jadi tidak terlihat o1eh pandangan, tetapi juga merupakan unsur asasi bagi sesuatu. Setetes racun yang diletakkan di gelas yang penuh air, tidaklah mengubah kadar dan warna cairan di dalam gelas itu tetapi pengaruhnya sangat fatal. Kekufuran/ketiadaan iman yang bersemayam di hati orang-orang kafir, bahkan yang mengaku muslim sekalipun, merupakan nila yang merusak susu sebelanga, atau racun yang mematikan. Karena itulah sehingga berkali-kali al-Qur'an memperingatkan pentingnya iman menyertai amal, karena tanpa iman kepada Allah swt. Amal-amal ini akan menjadi sia-sia belaka. Allah menegaskan bahwa:
“dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. al-Furqan (251: 23).
Kata ( طيبة ) thayyibah telah dijelaskan maknanya pada penafsiran ayat 32 surah ini. Kehidupan yang baik di sini mengisyaratkan bahwa yang bersangkutan memperoleh kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang kebanyakan. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah (حياة طيبه) Hayatan Thayyibah/ Kehidupan yang baik itu itu bukan berarti kehidupan yang mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi oleh rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak merasakan takut yang mencekam, atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa pilihan Allah swt. adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran yang menanti. Seorang yang durhaka, walau kaya dia tidak pernah merasa puas, selalu ingin menambah sehingga selalu merasa miskin dan selalu diliputi oleh kegelisahan, rasa takut tentang masa depan dan dari lingkungannya. Dari sini dia tidak menikmati kehidupan yang baik. Masih ada sekian pendapat lain tentang makna kehidupan yang baik dimaksud. Misalnya, kehidupan di syurga kelak, atau di alam barjah, atau kehidupanyang diwarnai oleh qanaah (rasa puas dengan perolehan) atau rejeki yang halal. Hemat penults, makna-makna tersebut merupakan bagian dari kehidupan yang baik itu. Siapa yang memperoleh kehidupan yang baik seperti pendapat pertama yang penulis sadur di atas, niscaya dia akan memperoleh semua apa yang disebut itu.
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara pria dan wanita. Sebenarnya kata Man/Siapa yang terdapat pada awal ayat ini sudah dapat menunjuk kedua jenis kelamin lelaki dan perempuan tetapi guna penekanan dimaksud, sengaja ayat Ini menyebut secara tegas kalimat baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan pun dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan bangsanya, bahkan kemanusiaan Seluruhnya.
Hubungan (Etos Kerja) Dengan Surat An-Najm Ayat 39 Sampai 41 Dan Surat An-Nahl Ayat 97
Setelah kita memahami maksud judul, tafsiran secara penjelasan kedua surat tersebut, maka kita bisa simpulkan bahwa hubungan judul dengan ayat tersebut sangat erat, dimana setiap pekerjaan kita itu dimuliakan aleh Allah SWT. Asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Najm ayat 39-41 bahwa apapun pekerjaan/usaha di dunia maka kita sendirilah yang akan menerima balasannya di akhirat, usaha kita itu kelak diperlihatkan dan dibalas sesuai dengan usaha kita masing-masing. Jika baik usaha kita maka baiklah yang diterima, dan sebaliknya apabila buruk maka buruklah balasannya. Sedangkan dalam surat An-Nahl ayat 97 Allah lebih memperjelas lagi bahwa tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, asalkan dia mukmin maka dia akan menerima balasan yang baik jika ia melakukan amal shaleh, yaitu kehidupan yang baik dan pahala yang lebih baik dari pekerjaannya itu.
Sumber;
[1] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah. Hal. 433
[2] Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alusy, Tafsir Muyyassar. Hal.505
[3] Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abd Rhman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn Katsir. Hal. 199
[4] M. Quraish Shihab, TafsirAl-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, Hal. 434
[5] M. Quraish Shihab, TafsirAl-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, Hal. 433
[6] Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alusy, Tafsir Muyyassar. Hal.505
[7] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi. Hal. 250-251
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Hal. 346-347
0 Response to "ETOS KERJA (Ayat Pendukung, Surat An-Najm 39 Sampai 41 Dan Surat An-Nahl 97)"
Post a Comment