Biografi, Prestasi dan Kumpulan Karya Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono
Biografi Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dipandang sebagai sastrawan angkatan 1970-an. Lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 dan meninggal dunia di Tangerang Selatan pada tanggal 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh. Beliau adalah seorang pujangga terkenal yang berkebangsaan Indonesia.
Sapardi adalah putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian. Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Sapardi menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Semasa muda Sapardi berdomisili di Surakarta dan jalur pendidikan dasar ditempuhnya di SD Kesatryan Keraton Surakarta. Pendidikan menengah di SMP Negeri 2 Surakarta (lulus 1955) dan SMA Negeri 2 Surakarta (lulus 1958). Sejak remaja Sapardi sudah menulis beberapa karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.
Kegemarannya menulis berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris, Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah sempat menempuh studi di University of Hawaii, Honolulu, Sapardi menempuh program doktor di Fakultas Sastra UI dan lulus pada tahun 1989.
Prestasi Sapardi Djoko Damono
Setelah lulus kuliah, Sapardi pernah menjadi dosen di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Malang, Madiun, sampai 1968. Pada Tahun 1973, setelah sempat bekerja di Semarang, ia pindah ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison.
Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Sapardi ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999 setelah sebelumnya diangkat sebagai guru besar. Pada masa tersebut, Sapardi juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Selepas purnatugas sebagai dosen di UI pada tahun 2005, Sapardi masih mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sapardi adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Penghargaan Sapardi Djoko Damono
- Cultural Award (Australia, 1978)
- Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983)
- SEA Write Award (Thailand, 1986)
- Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990)
- Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996)
- Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003)
- ASEAN Book Award (2018)
Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari".
Kumpulan Karya Sapardi Djoko Damono
Sastra
Duka-Mu Abadi (1969)
Judul: duka-Mu Abadi, Sajak-sajak 1967 - 1968
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Cetakan: II, 1975 (Cet. I, Bandung, 1969)
Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal: 52 halaman (42 puisi)
Gambar jilid: Popo Iskandar
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam dukaMu Abadi:
Kepada Istriku
pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua
pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
Prologue
masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga
Hari pun Tiba
hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat
Jarak
dan Adam turun ke hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi ...
Di Stasion
pilar-pilar besi kekal menanti
di sebelahnya: kita yang mempercayai hati
seakan putih semata, senantiasa
seakan detik lupa meloncat tiba-tiba
sepi pun lengkap ketika kereta tiba
sebelum siap kita menerima
hari di mana
hari tak ada ketika kita menyusun kata-kata
Sajak Putih
beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh
kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang
kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca
Dua Sajak di Bawah Satu Nama
I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana
awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)
II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali; sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari
dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi
benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian
Kita Saksikan
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam; undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
Lanskap
sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja
Gerimis Jatuh
kepada: arifin c. noer
gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana
tak usah; kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu
****
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
****
Mata Pisau (1974)
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Cetakan: I, 1982
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta
Tebal: 66 halaman (51 judul puisi)
Perancang Sampul: Hanung Sunarmono SD
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Mata Pisau
Taman Jepang, Honolulu
inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil: jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air yang membuat setiap jawaban tertunda
Telor
Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,
Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan
melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang
kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore tadi.
Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau
isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.
Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku
di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang
di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan
Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago
Seandainya
Percakapan Malam Hujan
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”
Duka-Mu Abadi (1969)
Judul: duka-Mu Abadi, Sajak-sajak 1967 - 1968
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Cetakan: II, 1975 (Cet. I, Bandung, 1969)
Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal: 52 halaman (42 puisi)
Gambar jilid: Popo Iskandar
Duka-Mu Abadi, yang dipersembahkan: "kepadamu, Mu" itu terbagi atas dua bagian, yaitu berdasarkan angka tahun: 1967 (24 puisi) dan 1968 (18 puisi). Tak ada kata pengantar.
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam dukaMu Abadi:
Kepada Istriku
pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua
pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
Prologue
masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga
Hari pun Tiba
hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat
Jarak
dan Adam turun ke hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi ...
Di Stasion
pilar-pilar besi kekal menanti
di sebelahnya: kita yang mempercayai hati
seakan putih semata, senantiasa
seakan detik lupa meloncat tiba-tiba
sepi pun lengkap ketika kereta tiba
sebelum siap kita menerima
hari di mana
hari tak ada ketika kita menyusun kata-kata
Sajak Putih
beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh
kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang
kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca
Dua Sajak di Bawah Satu Nama
I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana
awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)
II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali; sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari
dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi
benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian
Kita Saksikan
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam; undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
Lanskap
sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja
Gerimis Jatuh
kepada: arifin c. noer
gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana
tak usah; kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu
****
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
The Old Man and the Sea (bahasa Indonesia: Lelaki Tua dan Laut) adalah sebuah novella (novel pendek) yang ditulis oleh jurnalis Amerika Serikat Ernest Hemingway, ditulis di Kuba tahun 1951 dan diterbitkan tahun 1952. Buku ini adalah karya terkenalnya, yang menceritakan kisah tentang Santiago, karakter utama dalam buku ini adalah seorang nelayan lelaki tua yang bersusah-payah berjuang untuk menangkap seekor ikan marlin raksasa jauh di tengah arus Teluk Meksiko.
Lelaki Tua dan Laut mengisahkan ulang tentang perjuangan kepahlawanan selang seorang lelaki nelayan tua yang berpengalaman dengan seekor ikan marlin raksasa yang dinamakan sebagai tangkapan terbesar dalam hidupnya. Kisah diawali dengan kisah bahwa nelayan yang bernama Santiago telah menjalani 84 hari tanpa menangkap seekor ikan pun (kemudian diceritakan dalam kisah ternyata 87 hari). Dia selalu tidak beruntung dalam menangkap ikan sehingga murid mudanya, Manolin dilarang oleh orangtuanya untuk berlayar dengan si lelaki tua dan diperintahkan untuk pergi dengan nelayan lain.
Manolin mengunjungi gubuk Santiago setiap malam, mengangkat alat nelayannya, memberinya makan dan membicarakan olah raga bisbol Amerika dengan si lelaki tua. Santiago berkata pada Manolin bahwa di hari berikutnya dia akan berlayar sangat jauh ke tengah teluk untuk menangkap ikan, dan dia yakin bahwa gelombang nasibnya yang kurang beruntung akan segera berakhir.
****
Mata Pisau (1974)
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Cetakan: I, 1982
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta
Tebal: 66 halaman (51 judul puisi)
Perancang Sampul: Hanung Sunarmono SD
Mata Pisau terdiri dari 2 bagian, yaitu Mata Pisau (menghimpun sajak-sajak tahun 1969-1971, 27 puisi) dan Akuarium (menghimpun sajak tahun 1972-1973, 24 puisi).
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Mata Pisau
Taman Jepang, Honolulu
inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil: jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air yang membuat setiap jawaban tertunda
Telor
Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,
Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan
melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang
kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore tadi.
Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau
isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.
Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku
di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang
di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan
Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago
“Siapakah namamu?” barangkali aku setengah tertidur waktu kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela: siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.
Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar anak-anak bernyanyi - tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjaga.
Seandainya
Percakapan Malam Hujan
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”
Pada Suatu Pagi Hari
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-tintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu:
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-tintik di lorong sepi pada suatu pagi.
Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu:
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
Ketika Berhenti di Sini
ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun
Narsisus
seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskan aku kalau nanti air hening kembali
cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi
Hujan dalam Komposisi 1
“Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?”
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
“Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.”
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.
Hujan dalam Komposisi, 2
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.
Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di
lautan. Selamat malam.
Hujan dalam Komposisi, 3
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya: terpisah dari hujan
****
Perahu Kertas (1983)
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Cetakan: I, 1983
Penerbit: PN. Balai Pustaka, Jakarta
Tebal: 50 halaman (42 puisi)
Di dalam kata Pengantar Perahu Kertas, penerbit mengutip Sapardi Djoko Damono dalam sebuah ceramah tentang Puisi Indonesia Mutakhir (Jakarta, 6 November 1969). Ia mengatakan: “Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair, namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya dari kata-kata dalam puisi.”
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas
Pertapa
Jangan mengganggu: aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau sepatah kata-ah, apa pula bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna - masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
Yang Fana adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Telinga
“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci-setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
Tajam Hujanmu
tajam hujanmu ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan deras dinginmu: sembilu hujanmu
Di Tangan Anak-anak
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”
Akulah Si Telaga
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
biar aku yang menjaganya
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan-swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Seruling
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdu-nya ….
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
Perahu Kertas
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Cara Membunuh Burung
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Telinga
“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci-setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
Tajam Hujanmu
tajam hujanmu ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan deras dinginmu: sembilu hujanmu
Di Tangan Anak-anak
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”
Akulah Si Telaga
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
biar aku yang menjaganya
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan-swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Seruling
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdu-nya ….
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
Perahu Kertas
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Cara Membunuh Burung
bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka
Gonggong Anjing
untuk Rizki
gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah menyusup lewat celah-celah genting bergema dalam kamar demi kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki “siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi
Peristiwa Pagi Tadi
kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang. Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Di Atas Batu
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
****
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Satu-satunya buku Sapardi yang diterbitkan di Malaysia.
Diterbitkan oleh Dewan Bahasa & Pustaka
Cetakan Pertama 1984
Hakcipta Sapardi Djoko Damono 1984
Salah satu puisi yang paling terkenal dalam buku ini adalah Sihir Hujan
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka
Gonggong Anjing
untuk Rizki
gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah menyusup lewat celah-celah genting bergema dalam kamar demi kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki “siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi
Peristiwa Pagi Tadi
kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang. Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Di Atas Batu
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
****
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Satu-satunya buku Sapardi yang diterbitkan di Malaysia.
DBP mengucapkan terima kasih kepada Bank Bumiputra Malaysia Berhad selaku penaja Anugerah Puisi Putra II, Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) yang melaksanakan anugerah ini, dan penyair Sapardi Djoko Damono kerana izin menerbitkan antologi puisi Sihir Hujan yang terpilih memenangi Anugerah Puisi Putra II, 1983.
Diterbitkan oleh Dewan Bahasa & Pustaka
Cetakan Pertama 1984
Hakcipta Sapardi Djoko Damono 1984
Salah satu puisi yang paling terkenal dalam buku ini adalah Sihir Hujan
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
suaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan dan selokan
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Sihir Hujan, 1984
****
Hujan Bulan Juni (1994)
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
****
Arloji (1998)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : 2009
Penerbit : Editum, Ciputat.
Tebal : tanpa halaman (33 judul puisi)
ISBN : 978-979-19766-8-8
Pada Suatu Magrib
Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;
hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan dan selokan
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Sihir Hujan, 1984
****
Hujan Bulan Juni (1994)
Hujan Bulan Juni adalah kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan Grasindo pada 1994. Kumpulan puisi ini memuat 102 puisi karya Sapardi yang ditulis tahun 1964 hingga 1994. Beberapa puisi dalam kumpulan ini merupakan penerbitan ulang dari puisi-puisi yang pernah terbit dalam buku Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Judul kumpulan puisi ini diambil dari puisi yang ditulis Sapardi tahun 1989. Saat ini, Hujan Bulan Juni sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
****
Arloji (1998)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : 2009
Penerbit : Editum, Ciputat.
Tebal : tanpa halaman (33 judul puisi)
ISBN : 978-979-19766-8-8
Buku Arloji ini pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Puisi tahun 1998, dan menjadi salah satu bagian dari Ayat-ayat Api terbitan Pustaka Firdaus, 2000.
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Arloji Pada Suatu Magrib
Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;
hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip
Tukang Kebun
Setelah beberapa kali ketukan,
pintu kubuka; rupanya ada tamu
yang, katanya, menjemputku sore hari ini
Apakah aku sudah pernah mengenalnya?
Waktu kutanyakan pergi ke mana,
jawabnya ringkas, “Ke sana, ke samudra raya!”
Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:
gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.
Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan
di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar
menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,
mengurus pagar dan membersihkan rumah.
Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal,
dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.
Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.
Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya
siapa gerangan yang telah mengutusnya.
Tentu. Kau Boleh
Tentu. Kau boleh saja masuk
masih ada ruang
di sela-sela butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran
yang tak ditutup rapat;
dan di jalan
sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
angin tempias lewat lubang angin,
selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
genting bocor dan aku capek
menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan
percintaan ini.
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.
Pertanyaan Kerikil yang Goblok
“Kenapa aku berada di sini?” tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki, merontokkan beberapa lembar daun mangga, menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat, dan sejenak membuat lengkungan yang indah di udara, lalu jatuh di jalan raya tepat ketika ada truk lewat di sana.
Setelah beberapa kali ketukan,
pintu kubuka; rupanya ada tamu
yang, katanya, menjemputku sore hari ini
Apakah aku sudah pernah mengenalnya?
Waktu kutanyakan pergi ke mana,
jawabnya ringkas, “Ke sana, ke samudra raya!”
Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:
gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.
Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan
di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar
menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,
mengurus pagar dan membersihkan rumah.
Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal,
dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.
Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.
Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya
siapa gerangan yang telah mengutusnya.
Tentu. Kau Boleh
Tentu. Kau boleh saja masuk
masih ada ruang
di sela-sela butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran
yang tak ditutup rapat;
dan di jalan
sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
angin tempias lewat lubang angin,
selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
genting bocor dan aku capek
menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan
percintaan ini.
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.
Pertanyaan Kerikil yang Goblok
“Kenapa aku berada di sini?” tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki, merontokkan beberapa lembar daun mangga, menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat, dan sejenak membuat lengkungan yang indah di udara, lalu jatuh di jalan raya tepat ketika ada truk lewat di sana.
Kini ia terjepit di sela-sela kembang dan malah bertanya kenapa; ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana, ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata, “Mengganggu saja!”
Ayat-ayat Tokyo
/1/
angin memahatkan tiga patah kata
di kelopak sakura
ada yang diam-diam membacanya
/2/
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu;
“kita bergegas,” katanya
/3/
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan
/4/
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung
tak tahu mesti ke mana
angin menyambar bunga gugur itu
/5/
lengking sakura
tapi angin tuli
dan langit buta
/6/
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam
angin musim semi
****
Ayat-ayat Api (2000)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : II, 2008 (cet. I, 2006)
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Percetakan (cet. II) : PT. Temprina, Bekasi.
Tebal : viii + 149 halaman (54 puisi)
ISBN : 978-979-444-437-5
Perancang sampul dan vignet : Budi Indra Cahaya
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Ayat-ayat Api
ADA POHON BERNAPAS
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap helaannya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap hembusannya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya
SONET: KAU BERTANYA APA
untuk Wing Kardjo
Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,
di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya
suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah.
menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan
rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus,
pohon-pohon tumbang – di dalam kata masih saja
setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis
diusut keterlibatan maknanya. Konon, dulu,
di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,
cericit anak-anak burung, suit daun jatuh,
dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita
saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.
DALAM SETIAP DIRI KITA
Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga
segerombolan serigala.
Di ujung kampung, lewat pengeras suara,
para kyai menanyai setiap selokan,
setiap lubang di tengah jalan,
dan setiap tikungan;
para pendeta menghardik setiap pagar,
setiap pintu yang terbuka.
dan setiap pekarangan.
Gamelan jadi langka. Di keramaian kota
kita mencari burung-burung
yang diusir dari perbukitan
dan suka bertengger sepanjang kabel listrik,
yang mendadak lenyap begitu saja
sejak sering terdengar
suara senapan angin orang-orang berseragam itu.
Entah kena sawan apa,rombongan sulap itu
membakar kota sebagai permainannya.
TERBARING
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan ada selembar daun tua
kena angin dan lepas dari tangkainya
melayang ke sana ke mari tanpa tenaga
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan kalian nun di Bukit sana
berebut menangkap daun yang melayang-layang itu
dan penuh rindu menciumnya berulang kali
POKOK KAYU
“suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?”
“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba
DONGENG KUCING
Lengking klakson dan rem mobil itu
meninggalkan jejak asap knalpot, debu,
dan seekor kucing yang sekarat.
Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil,
lalu suara menghibur seorang ibu
menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
Jalan memang dibangun untuk mobil,
manusia, dan juga - tentu saja - kucing;
tak boleh kita mencurigai campur-tangan-Mu, bukan?
TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1966
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja ia suka mengantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini - entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu – dan ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati.
BUNGA RANDU ALAS
Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah mencintanya. “Kenapa bukan warna subuh, atau setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara sisa”
Pohon randu alas itu menjulang di kuburan samping rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang merah suka melengking, bahkan sampai larut malam.
Ayat-ayat Tokyo
/1/
angin memahatkan tiga patah kata
di kelopak sakura
ada yang diam-diam membacanya
/2/
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu;
“kita bergegas,” katanya
/3/
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan
/4/
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung
tak tahu mesti ke mana
angin menyambar bunga gugur itu
/5/
lengking sakura
tapi angin tuli
dan langit buta
/6/
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam
angin musim semi
****
Ayat-ayat Api (2000)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : II, 2008 (cet. I, 2006)
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Percetakan (cet. II) : PT. Temprina, Bekasi.
Tebal : viii + 149 halaman (54 puisi)
ISBN : 978-979-444-437-5
Perancang sampul dan vignet : Budi Indra Cahaya
Ayat-ayat Api terdiri atas 3 bagian, yaitu ayat nol (15 puisi), ayat arloji (33 puisi) dan ayat api (6 puisi). Ada 49 vignet karya Budi Indra Cahaya tersebar di buku ini, biasanya menempati halaman genap atau sebelah kiri. Sebelah kanannya biasanya puisi. Tak ada foto penulis, cuma ada satu paragraf pengantar.
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Ayat-ayat Api
ADA POHON BERNAPAS
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap helaannya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap hembusannya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya
SONET: KAU BERTANYA APA
untuk Wing Kardjo
Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,
di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya
suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah.
menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan
rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus,
pohon-pohon tumbang – di dalam kata masih saja
setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis
diusut keterlibatan maknanya. Konon, dulu,
di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,
cericit anak-anak burung, suit daun jatuh,
dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita
saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.
DALAM SETIAP DIRI KITA
Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga
segerombolan serigala.
Di ujung kampung, lewat pengeras suara,
para kyai menanyai setiap selokan,
setiap lubang di tengah jalan,
dan setiap tikungan;
para pendeta menghardik setiap pagar,
setiap pintu yang terbuka.
dan setiap pekarangan.
Gamelan jadi langka. Di keramaian kota
kita mencari burung-burung
yang diusir dari perbukitan
dan suka bertengger sepanjang kabel listrik,
yang mendadak lenyap begitu saja
sejak sering terdengar
suara senapan angin orang-orang berseragam itu.
Entah kena sawan apa,rombongan sulap itu
membakar kota sebagai permainannya.
TERBARING
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan ada selembar daun tua
kena angin dan lepas dari tangkainya
melayang ke sana ke mari tanpa tenaga
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan kalian nun di Bukit sana
berebut menangkap daun yang melayang-layang itu
dan penuh rindu menciumnya berulang kali
POKOK KAYU
“suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?”
“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba
DONGENG KUCING
Lengking klakson dan rem mobil itu
meninggalkan jejak asap knalpot, debu,
dan seekor kucing yang sekarat.
Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil,
lalu suara menghibur seorang ibu
menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
Jalan memang dibangun untuk mobil,
manusia, dan juga - tentu saja - kucing;
tak boleh kita mencurigai campur-tangan-Mu, bukan?
TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1966
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja ia suka mengantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini - entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu – dan ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati.
BUNGA RANDU ALAS
Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah mencintanya. “Kenapa bukan warna subuh, atau setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara sisa”
Pohon randu alas itu menjulang di kuburan samping rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang merah suka melengking, bahkan sampai larut malam.
Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah jatuh cinta padanya – hanya Tuhan yang tahu kenapa jadi begitu.
Angin itu jugalah yang bersijingkat mengantar lengking bunga itu sampai ke sudut-sudut paling jauh dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah tersirat lirih suaranya sendiri, “Mengapa bara sisa yang terbayang, dan bukan kobaran api?”
AYAT-AYAT KYOTO
/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau – tentu saja
/2/
gerimis musim semi
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
/3/
kita sakura
gugur sebelum musim selesai
tak terlacak pula
SEPASANG LAMPU BECA
untuk Isma Sawitri
ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum gerimis reda meraka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba-tiba sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori-pori si abang beca lalu mengalir di sela-sela darahnya sehingga ia merasa sedang bertapa dalam sebuah gua di goda oleh seribu bidadari yang menjemputnya ke surayala dan hai selamat tinggal dunia
SEHABIS PERCAKAPAN
sehabis percakapan pendek
warna-warna menyisih
ke putih; tamasya yang di luar
sia-sia menunggu
AUBADE
Percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,
daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi –
melintas di depan jendela itu
lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini
MEMANCING
batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan
ke dalam kolam pemancingan itu
mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan
yang menyambar-nyambar mata kailmu
warna-warna menyisih
ke putih; tamasya yang di luar
sia-sia menunggu
AUBADE
Percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,
daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi –
melintas di depan jendela itu
lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini
MEMANCING
batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan
ke dalam kolam pemancingan itu
mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan
yang menyambar-nyambar mata kailmu
tapi batu kecil memang bukan ikan
dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu
tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan
sehingga batu itu mendambakan kailmu
batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang
di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran
sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang
di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian
DONGENG MARSINAH
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangannya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan-
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, Ia sudah paham maksudnya.)
“Sengsara betul hidup di sana
jika sudah berpikir,
jika suka memasak kata
apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, Tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
AYAT-AYAT API
/1/
Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin
yang langitnya bersih; yang siangnya menawarkan
bunga randu alas dan kembang celung, yang dijemput angin
di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung
yang lebih suka menunggu sampai penghujan
dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung)
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan
/2/
(kepada Wislawa Szymborska)
seorang anak laki-laki
menoleh ke kiri ke kanan
lalu cepat-cepat menyelinap
dalam kerumunan itu
dan tidak kembali
tiga orang lelaki separo baya
bergegas menyusulnya
dan tidak kembali
lima enam tujuh orang perempuan
meledak bersama dalam api
dan, tentu saja,
tidak kembali
agak ke sebelah sana
di seberang jalan
seorang penjual rokok
membayangkan dirinya duduk
di depan pesawat televisi
takjub menyaksikan
sulapan itu
/3/
ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu
ada satpam memperhatikannya
dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa
ada suaminya ada anak-anaknya (yang mungkin saja sedang memikirkannya juga)
yang kini (tentunya mungkin moga-moga saja tidak!) berada dalam sebuah toko besar (atau tidak lagi bisa) yang sedang terbakar
dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu
tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan
sehingga batu itu mendambakan kailmu
batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang
di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran
sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang
di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian
DONGENG MARSINAH
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangannya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan-
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, Ia sudah paham maksudnya.)
“Sengsara betul hidup di sana
jika sudah berpikir,
jika suka memasak kata
apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata, Tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
AYAT-AYAT API
/1/
Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin
yang langitnya bersih; yang siangnya menawarkan
bunga randu alas dan kembang celung, yang dijemput angin
di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung
yang lebih suka menunggu sampai penghujan
dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung)
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan
/2/
(kepada Wislawa Szymborska)
seorang anak laki-laki
menoleh ke kiri ke kanan
lalu cepat-cepat menyelinap
dalam kerumunan itu
dan tidak kembali
tiga orang lelaki separo baya
bergegas menyusulnya
dan tidak kembali
lima enam tujuh orang perempuan
meledak bersama dalam api
dan, tentu saja,
tidak kembali
agak ke sebelah sana
di seberang jalan
seorang penjual rokok
membayangkan dirinya duduk
di depan pesawat televisi
takjub menyaksikan
sulapan itu
/3/
ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu
ada satpam memperhatikannya
dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa
ada suaminya ada anak-anaknya (yang mungkin saja sedang memikirkannya juga)
yang kini (tentunya mungkin moga-moga saja tidak!) berada dalam sebuah toko besar (atau tidak lagi bisa) yang sedang terbakar
/4/
“Entah kenapa, pagi ini, seluruh tubuhku terasa gemetar, tidak seperti biasanya. Dulu kau pernah berkata, kita ini bagai daun tua gemetar sebelum disapu angin, gemetar karena menguji diri sendiri
apakah masih kuat bertahan
di dahan
sebelum angin terakhir
sebelum siang terakhir
sebelum tik-tok terakhir
tapi sudahlah,
aku toh harus juga ke kantor
sehabis tetek-bengek pagi: segelas kopi,
setangkup roti.
Hari ini
akan mendung tanpa hujan,
kata ramalan cuaca.
Aku akan pulang cepat nanti
sebelum makan malam.”
Tapi tukang sulap, entah kenapa,
ternyata punya kehendak lain.
/5/
di antara yang meretas dalam kepala kita
dan api yang berkobar di seberang sana
melandai beberapa patah sabda
di antara yang di kepala, yang berkobar, dan sabda
bergetar ayat-ayat yang kita hapal lafaznya
yang hanya bisa kita tafsir-tafsirkan maknanya.
/6/
ada yang menghitung waktu api
dengan bunyi-bunyi aneh
seperti yang pernah kita dengar
ketika masih dalam rahim ibu
ada yang menghitung jam api
dengan isyarat-isyarat ganjil
seperti yang pernah kita kenal
ketika masih dalam kobaran itu
ada yang menghitung detik api
dengan kedap-kedip pelik
seperti yang pernah mereka lihat
ketika orang-orang memakamkan kita
/7/
gambar-gambar
di koran hari ini
godaan
bagi kita
untuk tetap
menyisakan
aneka
kata seru
/8/
di atap rumah seberang jalan
seekor burung gereja mengibas-ngibaskan
sayapnya sehabis gerimis
di pagi (yang bagai mata kena jeruk) itu
kelopak air berguguran ke sana ke mari
sementara di sudut atas gedung itu
di seberang sana, di bekas sarangnya
asap sisa api kemarin masih juga
/9/
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tak bisa
menjadi fosil
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh-lantak
dalam kobarannya
/10/
sore itu akhirnya ia berubah juga
menjadi abu sepenuhnya
sebelum sempat menyadari
bahwa ternyata ada saat untuk istirahat
di antara gundukan-gundukan
yang sulit dipilah-pilahkan
ah , untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat
/11/
di akhir isian panjang itu
tertera pertanyaan
“apa yang masih tersisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada”
tapi, o ya, mungkin kenangan
yang tentu juga sia-sia bertahan
/12/
ia akhirnya menerima perannya
sebagai tokoh khayali; digeser ke sana
ke mari: di halaman koran, di layar televisi,
dan sulapan bunyi-bunyian di radio;
ia pun harus pandai-pandai
menempatkan dirinya dalam deretan
gagasan, peristiwa, dan benda
yang harus segera kita lupakan
/13/
kau tak berhak mengingat apa-apa lagi
dekat perbatasan kaurogoh ktp-mu - tapi untuk apa pula
kau akan menyeberangi kenyataan terakhir
sesudah bentukmu diubah sama sekali
kau tak lagi memerlukan apa pun: sisir, sepatu,
pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini
duduklah baik-baik, kau tak berhak mondar-mandir lagi
tak berhak punya maksud apa pun: ini bukan lakon Anoman
Obong
/14/
kami memang sangat banyak
astagfirullah
menumpuk di dekat sampah
tak sempat diangkut
tergoda minyak
habis terbakar
kami memang sangat banyak
astagfirullah
/15/
waktu upacara usai kau tak ingat
bahwa kuburan di kampung sudah penuh
mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa
adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami
(1998-1999)
****
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: Cetakan I, Juli 2001
Tebal: ix + 156 halaman
“Entah kenapa, pagi ini, seluruh tubuhku terasa gemetar, tidak seperti biasanya. Dulu kau pernah berkata, kita ini bagai daun tua gemetar sebelum disapu angin, gemetar karena menguji diri sendiri
apakah masih kuat bertahan
di dahan
sebelum angin terakhir
sebelum siang terakhir
sebelum tik-tok terakhir
tapi sudahlah,
aku toh harus juga ke kantor
sehabis tetek-bengek pagi: segelas kopi,
setangkup roti.
Hari ini
akan mendung tanpa hujan,
kata ramalan cuaca.
Aku akan pulang cepat nanti
sebelum makan malam.”
Tapi tukang sulap, entah kenapa,
ternyata punya kehendak lain.
/5/
di antara yang meretas dalam kepala kita
dan api yang berkobar di seberang sana
melandai beberapa patah sabda
di antara yang di kepala, yang berkobar, dan sabda
bergetar ayat-ayat yang kita hapal lafaznya
yang hanya bisa kita tafsir-tafsirkan maknanya.
/6/
ada yang menghitung waktu api
dengan bunyi-bunyi aneh
seperti yang pernah kita dengar
ketika masih dalam rahim ibu
ada yang menghitung jam api
dengan isyarat-isyarat ganjil
seperti yang pernah kita kenal
ketika masih dalam kobaran itu
ada yang menghitung detik api
dengan kedap-kedip pelik
seperti yang pernah mereka lihat
ketika orang-orang memakamkan kita
/7/
gambar-gambar
di koran hari ini
godaan
bagi kita
untuk tetap
menyisakan
aneka
kata seru
/8/
di atap rumah seberang jalan
seekor burung gereja mengibas-ngibaskan
sayapnya sehabis gerimis
di pagi (yang bagai mata kena jeruk) itu
kelopak air berguguran ke sana ke mari
sementara di sudut atas gedung itu
di seberang sana, di bekas sarangnya
asap sisa api kemarin masih juga
/9/
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tak bisa
menjadi fosil
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh-lantak
dalam kobarannya
/10/
sore itu akhirnya ia berubah juga
menjadi abu sepenuhnya
sebelum sempat menyadari
bahwa ternyata ada saat untuk istirahat
di antara gundukan-gundukan
yang sulit dipilah-pilahkan
ah , untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat
/11/
di akhir isian panjang itu
tertera pertanyaan
“apa yang masih tersisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada”
tapi, o ya, mungkin kenangan
yang tentu juga sia-sia bertahan
/12/
ia akhirnya menerima perannya
sebagai tokoh khayali; digeser ke sana
ke mari: di halaman koran, di layar televisi,
dan sulapan bunyi-bunyian di radio;
ia pun harus pandai-pandai
menempatkan dirinya dalam deretan
gagasan, peristiwa, dan benda
yang harus segera kita lupakan
/13/
kau tak berhak mengingat apa-apa lagi
dekat perbatasan kaurogoh ktp-mu - tapi untuk apa pula
kau akan menyeberangi kenyataan terakhir
sesudah bentukmu diubah sama sekali
kau tak lagi memerlukan apa pun: sisir, sepatu,
pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini
duduklah baik-baik, kau tak berhak mondar-mandir lagi
tak berhak punya maksud apa pun: ini bukan lakon Anoman
Obong
/14/
kami memang sangat banyak
astagfirullah
menumpuk di dekat sampah
tak sempat diangkut
tergoda minyak
habis terbakar
kami memang sangat banyak
astagfirullah
/15/
waktu upacara usai kau tak ingat
bahwa kuburan di kampung sudah penuh
mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa
adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami
(1998-1999)
****
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: Cetakan I, Juli 2001
Tebal: ix + 156 halaman
Buku kumpulan cerpen ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama: Kitab Pertama, berisi tiga belas cerita amat pendek. Kemudian, Selingan, berisi satu cerita pendek yang cukup panjang, berjudul “Pengarang Telah Mati” yang juga menjadi judul buku kumpulan cerpen ini. Dan, terakhir, Kitab Kedua, yang sebagaimana Kitab Pertama memuat tiga belas cerita amat ringkas. (leojuliawan.net)
****
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan : I, 2009
Penerbit : Editum, Jakarta
Tebal : 120 halaman (51 judul puisi), 14,5 x 21 cm
ISBN : 978-979-19766-0-2
Kolam terdiri dari 3 buku. Buku satu, didominasi puisi berbentuk paragraf (21 puisi). Buku dua berisi Sonet 1 sampai Sonet 15. Buku tiga, lebih bebas bentuknya (15 puisi). Buku ini ditandatangani oleh penulisnya tanggal 27 Desember 2009 dan tiba di RS Jiwa Sambang Lihum dengan penuh limpahan cinta dan welas asih. (kepadapuisi.blogspot.com)
Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono dalam Kolam
Pohon Belimbing
Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?
Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?
Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi tua juga akhirnya?
Tentang Tuhan
Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa memperhitungkan hari.
Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita sama sekali. Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.
Sonet 4
“Hidup terasa benar-benar tak mau redup ketika sudah kaudengar pesan: suatu hari semua bunyi rapat tertutup”.
Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.
Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?
Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
“Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!”
Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.
Sonet 6
Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi? Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas memohon diselamatkan dari haru biru yang meragi dalam sumsumku; tak pantas lagi menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.
Sonet 14
Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin
kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi.
Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin
ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi.
Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu
kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,
didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru,
disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara
malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan
lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?
Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan
mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu
bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,
apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi?
Sudah Lama Aku Belajar
/1/
sudah lama aku belajar memahami
apa pun yang terdengar di sekitarku,
sudah lama belajar menghayati
apa pun yang terlihat di sekelilingku,
sudah lama belajar menerima
apa pun yang kauberikan
tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah sangat lama belajar mengagumi matahai
ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah sangat lama belajar bertanya
kepada diri sendiri
mengapa kau selalu memandangku begitu.
/2/
Ia menyaksikanmu memutar
kunci pintu rumahmu,
masuk, dan menutupnya kembali.
/3/
Kalau pada suatu hari nanti
kau mengetuk pintu
tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya.
Kenangan
/1/
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang
/2/
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci
/3/
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik
****
Karya lainnya yang berupa sastra adalah:
Karya Nonsastra Sapardi Djoko Damono
Sonet 4
“Hidup terasa benar-benar tak mau redup ketika sudah kaudengar pesan: suatu hari semua bunyi rapat tertutup”.
Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.
Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?
Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
“Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!”
Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.
Sonet 6
Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi? Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas memohon diselamatkan dari haru biru yang meragi dalam sumsumku; tak pantas lagi menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.
Sonet 14
Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin
kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi.
Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin
ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi.
Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu
kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,
didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru,
disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara
malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan
lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?
Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan
mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu
bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,
apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi?
Sudah Lama Aku Belajar
/1/
sudah lama aku belajar memahami
apa pun yang terdengar di sekitarku,
sudah lama belajar menghayati
apa pun yang terlihat di sekelilingku,
sudah lama belajar menerima
apa pun yang kauberikan
tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah sangat lama belajar mengagumi matahai
ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah sangat lama belajar bertanya
kepada diri sendiri
mengapa kau selalu memandangku begitu.
/2/
Ia menyaksikanmu memutar
kunci pintu rumahmu,
masuk, dan menutupnya kembali.
/3/
Kalau pada suatu hari nanti
kau mengetuk pintu
tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya.
Kenangan
/1/
ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang
/2/
tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci
/3/
ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik
****
Karya lainnya yang berupa sastra adalah:
- Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
- Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
- Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
- Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
- Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
- Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
- Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
- Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
- Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
- Mata Jendela (2002)
- Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
- Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
- Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
- Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
- Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
- Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
- Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
- The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
- Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
- Trilogi Soekram (2015; novel)
- Hujan Bulan Juni (2015; novel)
- Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
- Suti (2015, novel)
- Pingkan Melipat Jarak (2017; novel)
- Yang Fana Adalah Waktu (2018; novel)
- Sepasang Sepatu Tua (2019; kumpulan cerpen)
- Segi Tiga (2020; novel)
- Mboel: 80 Sajak (2020; kumpulan puisi)
Karya Nonsastra Sapardi Djoko Damono
- Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
- Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan
- Dimensi Mistik dalam Islam (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.
- Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2004), salah seorang penulis.
- Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978).
- Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (1999).
- Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa 1950 (2000)
- Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).
- Babad Tanah Jawi (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
- Bilang Begini, Maksudnya Begitu (2014), buku apresiasi puisi.
- Alih Wahana (2013)
- Kebudayaan (Populer) (di Sekitar) Kita (2011)
- Tirani Demokrasi (2014)
0 Response to "Biografi, Prestasi dan Kumpulan Karya Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono"
Post a Comment