FULL PEMBAHASAN MATA KULIAH STUDI ALQUR’AN
PEMBAHASAN MATA KULIAH STUDI
ALQUR’AN
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berfungsi
sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarahkan kehidupannya. Secara garis
besar al-Qur’an mengandung ajaran tentang aqidah, syariah, dan akhlak. Untuk
dapat mengenal, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an tidak hanya berbekal
pengetahuan bahasa Arab, melainkan dibutuhkan berbagai macam ilmu guna untuk
mengungkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Maka disinilah, studi qur’an
sebagai pisau bedah untuk membedah isi al Qur’an yang selalu dibaca dan ditafsirkan
para pelaku disiplin ilmu menurut tingkat budaya dan wewenang doktrinal. Dengan
Ulumul Qur’an bisa diketahui rambu-rambu bagi para pengkaji dan penyelidik al
Quran berkenaan dengan status linguistik, histories, antropologis, teologis,
filosofis dan sebagainya.
A. STUDI QUR’AN SEJARAH DAN
PERKEMBANGANYA
Al-Qur’an adalah
sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al-Qur’an bukan
sekedar memuat petunjuktentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum
min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami
ajaran Islam secara sempurna (kaffah), diperlukan pemahamanterhadap
kandungan Al-Qur’andan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara
sungguh-sungguh dan konsisten.
Sebagaimana diketahui,
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafalmaupun uslub-nya.
Suatu bahasa yang kaya kosakata dan sarat makna. Kendati Al-Qur’an berbahasa
Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab,
dapat memahami Al-Qur’an secara rinci. Bahkan, para sahabat mengalami kesulitan
untuk memahami kandungan Al-Qur’an, kalau hanya mendengarkan dari Rasulullah
SAW, karena untuk memahami Al-Qur’an tidak cukup dengan kemampuan dan menguasai
bahasa Arab saja, tetapi lebih dari itu harus menguasai ilmu penunjang (ilmu
alat).
Hasbi Ash-Shiddieqi
menyatakan untuk dapat memahami Al-Qur’an dengan sempurna, bahkan untuk
menerjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut
‘ulum Al-Qur’an.[1]
Dari keterangan di atas
dapat penulis simpulkan bahwa ‘ulum Al-Qur’an atau kita sebut juga “Study
Al-Qur’an” merupakan ilmu yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang
untuk bisa mengkaji lebih dalam lagi mengenai ayat-ayat Al-Qur’an.
1.
Pengertian,
objek, metode dan orientasi pijakan Studi Qur’an
a. Pengertian
Secara etimologi, ‘ulum Al-Qur’an terdiri dua
kata, yaitu ‘ulum dan Al-Qur’an. ‘Ulum
adalah jamak dariAl-‘alim yang
berarti ilmu, maka ‘ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al-Qur’an,
secara harfiah, berasal dari kata qara’a yang berarti membaca
atau mengumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama; membaca berarti
juga mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau
gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Maka perintah membaca dalam
Al-Qur’an, seperti yang terdapat di awal Surah Al-‘Alaq, bermakna bahwa Allah
menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam
raya atau dimana saja, dengan tujuan agar si pembaca melalui gagasan, bukti
atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa
segala yang ada ini diatur oleh Allah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata ‘ulum
Al-Qur’andapat diartikan kepada ilmu-ilmu tentang
Al-Qur’an.
Secara terminologi, Al-Qur’an berarti “Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita
secara mutawatir. Dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah
An-Nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang yangmembacanya”.
Jadi, ‘ulumul Qur’an secara istilah bermakna
“Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”.
Ash-Shabuni mendefinisikan ‘ulumul Qur’an itu kepada
“Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun, pengumpulan,
susunan, kodifikasi, asbab an-nuzul, Al-makki wa Al-madani, pengetahuan
mengenai an-nasikh dan Al-mansukh, muhkam dan mutasyabihdan lain sebagainya
segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Menurut Az-Zarqani, ‘ulumul Qur’an
adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari aspek turun, susunan,
pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nasikh dan mansukh,
menolak syubhat darinya, dan lain-lain. Jadi, apa saja ilmu yang berkaitan
dengan Al-Qur’an adalah termasuk dalam perbincangan ‘ulumul Qur’an.[2]
b. Objek
Studi Qur’an
Diantara
objek-objek kajian ‘Ulum al-Qur’an yang masyhur adalah sebagi berikut: [3]
1)
Ilmu Adab Tilawat al-Qur’an, yaitu
ilmu-ilmu yang menerangkan aturan-aturan dalam pembacaan al-Qur’an.
2)
Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan
cara-cara membaca al-Qur’an, tempat memulai, atau tempat berhenti (Waqaf).
3)
Ilmu Asbab An-Nuzul, yaitu ilmu
yang menerangkan sebab-sebab turun ayat.
4)
Ilmu I’rab al-Qur’an, yaitu ilmu
yang menerangkan harokat al-Qur’an dan kedudukan sebuah kata dalam kalimat.
5)
Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh, yaitu
ilmu yang menerangkan ayat-ayat yangmansukh oleh sebagian Mufassir.
6)
Ilmu I’jaz Al-Qur’an, yaitu
ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan al-Qur’an sehingga dipandang sebagai
suatu mukjizat dan dapat melemahkan penentang-penentangnya.
7)
Ilmu Aqsam Al-Qur’an, yaitu
ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Allah SWT yang terdapat
dalam Al-Qur’an.
8)
Ilmu Jadal Al-Qur’an, yaitu ilmu yang
menerangkan macam-macam perdebatan yang telah dihadapkan Al-Qur’an kepada
segenap Qaum Musyrikin dan kelompok lainnya.
Sesungguhnya
masih banyak lagi objek-objek pembahasan ‘Ulum Al-Qur’an yang tidak kami
cantumkan dalam makalah ini, karena objek kajian di atas banyak yang telah
mewakili objek kajian yang lain.
c. Metode Studi Qur’an
Quraish
Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir dengan melihat corak dan
metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan
metode penalaran.
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
1)
Metode Tafsir Tahlily
Metode
Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsiran
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat.
Metode
Tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di
antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar
(ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula
secukupnya (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode
tahlily, namun dengan corak yang berbeda.
2)
Metode Tafsir Ijmaly
Metode
Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir
akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf;
kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
3)
Metode Tafsir Muqaran
Yang
dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
yang ditulis oleh sejumlah para mufassir.
Objek
kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
a)
Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat
lain
b)
Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan
hadits
c)
Perbandingan penafsiran mufassir dengan
mufassir yang lain.
4)
Metode Tafsir Maudhu’i
Metode
tafsir Maudhu’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama
membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologis serta sebab
turunnya ayat-ayat tersebut.
Tafsir Maudhu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu:
Tafsir Maudhu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu:
a)
Tafsir yang membahas satu surat secara
menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus,
menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat
itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
b)
Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat
dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu;
ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema
bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu’iy.
5)
Pendekatan dalam Studi / Penelitian
Tafsir
Dalam rangka
menjelaskan isi pesan kitab suci, tafsir menggunakan berbagai pendekatan sesuai
dengan disiplin ilmu. Imam suprayayogo mengemukakan ada beberapa pendekatan
dalam penelitian tafsir sebagai berikut yaitu:
a)
Pendekatan sastra bahasa.
b)
Pendekatan filosofis. Pendekatan
teologis. Pendekatan ilmiah. Pendekatan fiqih atau hukum. Pendekatan tasawuf.
Pendekatan sosiologi dan . pendekatan kultural.
Pendekatan
ini digunakan agar penafsiran yang dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman
dalam kebudayaannya dari ajaran agama atau Al-Qur’an.
Adapun metode penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup populer, yaitu tahlily, ijmaly, muqaron, dan maudhu’i.
Adapun metode penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup populer, yaitu tahlily, ijmaly, muqaron, dan maudhu’i.
Abuddin
nata juga membahas tentang bagaimana memahami Al-Qur’an atau dengan kata lain
mengenai cara-cara memahami al-qur’an. Dia mengemukakan dua bahasan yaitu:
a)
Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam
ibadah dan muamalah. Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam ibadah dan
muammalah. Dari segi penerapan hukum, sebagian besar kandungan nas Al-Qur’an
dianggap zanni dan hanya sebagian kecil yang masih diterima sebagai qath’i.
b)
Pemahaman kontekstual.
Yang
dimaksud dengan pemahaman kontekstual adalah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan aspek sejarah ayat itu, sehingga nampak gagasan atau maksud yang
sesungguhnya dari setiap yang digagaskan dalam Al-Qur’an.[4]
d. Orientasi Pijakan Studi Qur’an
Allah
tidak menjelaskan secara rinci tentang isi dalam al-Qur’an sehingga banyak
lafadz al-Qur’an yang membutuhkan usaha penafsirannya, apalagi sering digunakan
susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Untuk itu diperlukan
metode agar supaya kandungan atau isi dari al-Qur’an dapat dipahami dengan
lebih tepat apa yang dimaksudkan, metode tersebut yaitu tafsir dan ta’wil
al-Qur’an.
Menurut
Badruddin al-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu yang dengannya dapat dipahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan dengannya dapat
dijelaskan makna-maknanya serta dikeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.[5] Sedangakan
yang dimaksud ta’wil menurut Ali al-Shabuniy yaitu memandang kuat sebagian dari
makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari sekian banyak
kemungkinan makna yang ada.[6]
Adapun
perbedaan antara tafsir dan ta’wil yaitu :
No
|
Tafsir
|
No
|
Ta’wil
|
1
|
Pemakainnya
banyak terdapat pada lafal-lafal dan mufradat
|
1
|
Penggunaannya
lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
|
2
|
Jelas
diterangkan dalam al-Qur’an dan hadist-hadist shahih
|
2
|
Kebanyakan
diistimbathkan oleh ulama
|
3
|
Banyak
berhubungan dengan riwayat
|
3
|
Lebih
banyak berhubungan dengan nalar
|
4
|
Digunakan
dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang)
|
4
|
Digunakan
dalam ayat-ayat mutasyibihat (samar, tidak jelas)
|
5
|
Bersifat
menerangkan petunjuk yang dikehendaki
|
5
|
Menerangkan
hakikat yang dikehendaki
|
2.
Ruang
lingkup pembahasan dan cabang-cabangnya
Ulum
al-Qur'an adalah mencakup semua aspek pembahasan dan kajian yang ada
hubungannya dengan al-Qur'an. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa 'ulum
al-Qur'an cabang-cabang dan cakupannya luas. Sehingga tidaklah berlebihan bila
dikatakan, bahwa tidak ada satu pun dari sekian banyak ilmu dan keahlian
manusia yang tidak terkait dengan al-Qur'an.
Di
antara ruang lingkup pembahasan ilmu-ilmu al-Qur'an yang sekian banyak itu
dapat dikemukakan beberapa di antaranya yaitu: 'Ilmu Mawathin al-Nuzul, 'Ilmu
Tawarikh al-Nuzul, 'Ilmu Asbab al-Nuzul, 'Ilmu Qira’at al-Qur'an, 'Ilmu Tajwid
al-Qur'an, ‘Ilmu al- Wujuh wa al-Nazha'ir, 'Ilmu al-Muhkam wa
al-Mutasyabih/Ilmu Jidal al-Qur'an, 'Ilmu Musykilat al-Qur'an, 'Ilmu I’rab
al-Qur'an, 'Ilmu Bada’i' al-Qur'an, 'Ilmu Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, 'Ilmu
I'jaz al- Qur'an, 'Ilmu Amtsal al-Qur'an, 'Ilmu Acjsam al-Qur’an, 'Ilmu Tafsir
al-Qur’an, 'Ilmu Adab Titilawat al-Qur'an, dan lain-lain. Bahkan bila
diperhatikan lebih jauh, ilmu-ilmu tersebut masih dapat dipilah- pilah lagi
menjadi beberapa macam disiplin ilmu yang masing- masing mempunyai obyek kajian
tersendiri.
Karena
begitu luasnya runag lingkup kajian ilmu-ilmu al- Qur'an itu, sehingga Imam
Badruddin al-Zarkasyi menandaskan:
"bahwa
ilmu-ilmu yang merupakan cabang dari 'ulum al-Qur'an itu tidak terhitung
banyaknya ,..." Apa yang dikemukakan oleh al Zarkasyi tersebut
tampak wajar, sebab setiap orang berdasarkan kemampuan dan keahliannya
sebenarnya dapat membahas al- Qur'an dari berbagai aspeknya. Misalnya,
seseorang dapat membahas al-Qur'an dari semua cabang ilmu agama, dan dapat pula
dilakukan melalui cabang ilmu agama, di samping juga dapat dilakukan melalui
cabang ilmu bahasa, seperti 'Ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma'ani al-Mufradat,
dan lain sebagainya. Selain itu, pembahasan atau kajian al-Qur'an pun dapat
dilakukan melalui pendekatan ilmu pengetahuan umum, antara lain: Filsafat, Ilmu
Jiwa, Astronomi, geologi, Biologi dan lain-lain.
Dalam
Ulum Al-Qur’an terdapat banyak cabang ilmu yang menjadi kajian, diantaranya
adalah :
· Ilmu
Asbab Al-Nuzul
· Ilmu
Al-makkiyah wa Al-Madaniyah
· Ilmu
Al-Qira’at
· Ilmu
Al-Munasabat
· Ilmu
An-Nasikh wa Al-Mansukh
· Ilmu
Rasm Al-Qur’an
· Ilmu
Al-muhkam wa Al-Mutasyabih
· Ilmu
Aqsam Al-Qur’an
3.
Studi
Qur’an pada masa nabi, sahabat dan tabi’in
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an di masa Rasulullah, Abu Bakar As-siddiq ra. dan Umar bin Khattab ra.
disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah, dari mulut ke mulut. Pada masa
pemerintah Utsman bin Affan ra, mulailah bangsa Arab bekerja sama dengan bangsa
Ajam. Utsman bin Affan ra menyuruh para sahabat dan para umat supaya berpegang
kepada mushaf Al-lmam dan dari mushaf itu diperbanyak yang dikirim ke kota-kota
besar serta membakar mushaf-mushaf yang lain yang tidak bersumber dari mushaf
Al-lmam itu. Tindakan Utsman ini merupakan awal berkembangnya ilmu yang
kemudian dinamakan ilmu Rasm al-Qur’an atau ilmu Rasm al-Utsmany.
Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ra, juga telah masyhur dalam sejarah Islam.
Dia menyuruh Abu Al-Aswad ad-Dualy (wafat tahun 69 H.), untuk membuat beberapa
kaidah untuk memelihara keselamatan bahasa Arab. Maka dengan demikian, kita
dapat menetapkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah orang pertama yang dianggap
meletakkan dasar-dasar ilmu al-Nahwu dan ilmu I’rab al-Qur’an, yaitu yang
sangat vital untuk dimiliki oleh setiap mufassir yang ingin menafsirkan
Al-Qur’an.[7]
Tokoh-tokoh
ilmu yang merintis jalan berkembangnya ilmu-ilmu Al-Qur’an ialah:
Dari
golongan sahabat, diantaranya : Khulafa’ Rasyidin (khalifah empat), Ibnu Abbas,
Ibnu Mas’ud, Zaid ibnTsabit, Ubay ibn Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ary, Abdullah ibn
Zubair.
Setelah
masa Sahabat berlalu dengan meninggalkan karya-karya besar yang tidak ternilaii
harganya maka golongan Tabi’in sebagai pewaris terdepan dari karya-karya
tersebut terus melanjutkan dan mengembangkan serta menyebarkan semua hasil
karya maupun warisan yang diperolehnya dari para pendahulunya.Para Ulama dari
golongan Tabi’in, disamping tetap berpegang kepada warisan ilmu dan atau
pendapat para sahabat yang menjadi guru mereka, juga bersungguh-sungguh untuk
melakukan ijtihad dalam rangka menyempurnakan karya-karyanya, dan menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari
golongan tabi’in diantaranya : Mujahid, Atha’ ibn Yasar, Ikrimah, Qatadah,
AlHasan al-Bishry, Said ibnjubair, Zaid ibn Aslam
4.
studi
Qur’an pada masa tabi’ al tabi’in sampai masa modern
Dari
golongan tabi’it-tabi’in ialah Malik ibn Anas. Beliau mengambil ilmu ini dari
Zaid ibn Aslam. Mereka adalah tokoh-tokoh yang meletakkan dasar ilmu-ilmu yang
kita namakan: Ilmu Tafsir, Ilmu Asbab an-Nuzul, Ilmu Al-Makky wa al-Madany,
Ilmu An-Nasikh wa al-Mansukh, Ummu al- ‘Ulum al-Qur’aniyah.
Di
dalam masa pentadwinan (kodifikasi) ilmu, tafsirlah yang mendapat prioritas
pertama, karena dia adalah Ummu al-'Ulum al-Qur’aniyah (induk ilmu-ilmu
Al-Qur’an).
Di
antara tokoh-tokoh ilmu yang memperhatikan ilmu Tafsir dan menyusunnya ialah:
Syubah ibn Al-Hajjaj (wafat tahun 160 H), Sufyan ibn Uyainah al-Kufy (wafat
tahun 198 H), Waki’ ibn Al-Jarrah al-Kufy (wafat tahun 197 H).
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Ketiga Hijriyah
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an yang selain dari ilmu Tafsir, disusun dalam abad ke-3 H. Dalam abad
ketiga lahir ilmu Asbab an-Nuzul, ilmu Nasikh wa al-Mansukh, ilmu Manuzzila bi
al-Makkah warna Nuzzila bi al-Madinah.
Di
antara yang menyusun ilmu-ilmu Al-Qur’an dalam abad ketiga Hijriyah ialah: Ali
ibn Al-Madiny (wafat tahun 234 H), Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam (wafat tahun
224 H), Muhammad ibn Ayyub adh-Dhirris (wafat tahun 294 H).
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Keempat Hijriyah
Di
dalam abad ini lahir ilmu Gharib al-Qur’an dan beberapa kitab dalam ‘Ulum
al-Qur’an. Di antara tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an dalam abad keempat Hijriyah
ialah : Abu Bakar Muhammad ibn Al-Qasim al-Anbary (wafat tahun 328 H), Abu
Hasan al-As/ary (wafat tahun 324 H),Abu Bakar as-Sijistany (wafat tahun 330 H).
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Kelima Hijriyah
Di
dalam abad kelima Hijriyah, disusun lagi beberapa kitab di dalam ‘Ulum al-Qira’at
dan lahir pula beberapa tokoh. Di antaranya ialah: Abu Amar ad-Dany (wafat
tahun 444 H), Ali ibn Ibrahim ibn Said al-Hufy (wafat tahun 430 H).
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
Di
antara tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an dalam abad keenam ialah: Abd al-Qasim Abd
ar-Rahman yang terkenal dengan nama As-Suhaily (wafat tahun 582 H), Ibnu
Al-Jauzy (wafat tahun 597 H).
Di
antara tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an dalam abad ketujuh ialah: Alamuddin
as-Sakhawy (wafat tahun 643 H), Ibnu Abd as-Salam(wafat tahun 660 H), Abu
Syamah Abd ar-Rahman ibn Ismail al-Maqdisy (wafat tahun 665 H).
Kemudian
tumbuh beberapa ilmu baru mengenai Al-Qur’an, di antaranya ialah:
a.
Ilmu Badai’ al-Qur’an, membahas tentang aneka macam badi’ yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara para penyusun ilmu ini ialah Ibnu Abil
Ishba'.
b.
Ilmu Hujaj al-Qur’an, dinamakan juga dengan ilmu Jadal al- Qur’an,
yang membahas hujjah-hujjah dan dalil-dalil yang dipergunakan Al-Qur’an dalam
menetapkan sesuatu. Di antara ulama yang menyusun ilmu ini ialah, Najmuddin
ath-Thufy (wafat tahun 716 H.).
c.
Aqsam al-Qur’an, membahas sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Di antara yang menyusun kitab ini ialah Ibnu Al-Qayyim (wafat tahun
752 H.).
Jalan
yang mereka tempuh dalam menyusun kitab ini ialah meneliti satu per satu
juz’iyah-juz’iyah Al-Qur’an. Oleh karena itu kita meringkas ilmu-ilmu ini dalam
suatu ilmu yang lengkap yang kita namakan 'Ulum al-Qur’an.
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an Abad Kedelapan dan Kesembilan Hijriyah
Di
antara para ulama yang menyusun kitab dalam ilmu-ilmu Al- Qur’an dalam abad
kedelapan ialah Badruddin az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H).
Dalam
abad kesembilan Hijriyah lahir banyak karya dalam bidang ini. Di antara yang
menulis kitab dalam bidang ini ialah: Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiyajy (wafat
tahun 873 H), Jalaluddin al-Bulqiny (wafat tahun 824 H), As-Sayuthy (wafat
tahun 911 H).
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an Abad Keempat Belas Hijriyah
Dalam
abad keempat belas ini, banyak ulama yang menulis kitab tentang ilmu-ilmu
Al-Qur’an, sejarahnya dan ilmu-ilmunya. Di antara ulama yang menulis dalam
bidang ini ialah: Asy-Syekh Thahir al-Jazairy, Jamaluddin al-Qasimy (wafat
tahun 1332 H), Muhammad Abd al-Azhim az-Zarqany.
B.
Sejarah
Turun dan Penulisan Al-qur’an
Permulaan turun al-Qur’anul Karim
adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahiran Nabi SAW, yaitu pada saat
beliau sedang bertahannuts (beribadah) di Gua Hira.
Pada saat itu turun wahyu beberapa ayat al-Qur’anul Karim yang dibawa oleh
Jibril al-Amin. Jibril mendekap nabi lalu melepaskannya, hal ini dilakukan
sebanyak tiga kali, sambil mengatakan “iqra” pada setiap kalinya, dan
Rasul SAW menjawabnya “ma ana bi qaari”. Pada dekapan yang ketiga
kalinya Jibril membacakan:[8]
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusiadari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS.
Al-‘Alaq: 1-5)
Al-Qur’an tidak turun sekaligus.
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Hikmah
Al-Qur’an itu turunnya itu berangsur-angsur ialah supaya dapat dihafal oleh
para sahabat pada waktu itu. Maksud pertama ialah menukar akidah kepada akidah.
Keluar dari penyembahan terhadap berhala kepada yang benar, agama yang turun
dari langit. Dari angan-angan dan sangkaan-sangkaan belaka kepada suatu
kepastian. Dan dari tidak beriman kepada beriman.[9] Sedangkan
hikmah lain dibalik turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah:
- Untuk
menguatkan hati Nabi SAW. Firman-Nya:
“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak
turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu
dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”. (QS.
Al-Furqaan: 32)
- Untuk
menantang orang-orang kafir yang mengingkari Al-Qur’an karena menurut
mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur.
- Supaya
mudah dihafal dan dipahami.
- Supaya
orang-orang mukmin Antusias dalam
menerima Al-Qur’an dan giat mengamalkannya.
- Mengiringi
kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum. (makalah)
1. Pengertian Al-Qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
“bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja (قرأ
– يقرأ – قرأة – قرأنا) yang artinya membaca.[10] Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri
yakni:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam
dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan}
bacaannya”.(QS. Al-Qiyamah: 17-18)
Pengertian
Al-Qur’an Menurut Istilah (Terminologi)
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai
berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni
mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada
tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada
mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“
Dengan definisi tersebut di atas
sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain
Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap
sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Nama-nama
lain Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat
beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada
Al-Qur’an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang
mencantumkannya:
§ Al-Kitab:
QS. (2:2), QS. (44:2)[11]
§ Al-Furqan
(pembeda benar salah): QS. (25:1)
§ Adz-Dzikr
(pemberi peringatan): QS. (15:9)
§ Al-Mau’idhah
(pelajaran/nasihat): QS. (10:57)
§ Al-Hukm
(peraturan/hukum): QS. (13:37)
§ Al-Hikmah
(kebijaksanaan): QS. (17:39)
§ Asy-Syifa’
(obat/penyembuh): QS. (10:57), QS. (17:82)
§ Al-Huda
(petunjuk): QS. (72:13), QS. (9:33)
§ At-Tanzil
(yang diturunkan): QS. (26:192)
§ Ar-Rahmat
(karunia): QS. (27:77)
§ Ar-Ruh
(ruh): QS. (42:52)
§ Al-Bayan
(penerang): QS. (3:138)
§ Al-Kalam
(ucapan/firman): QS. (9:6)
§ Al-Busyra
(kabar gembira): QS. (16:102)
§ An-Nur
(cahaya): QS. (4:174)
§ Al-Basha’ir
(pedoman): QS. (45:20)
§ Al-Balagh
(penyampaian/kabar) QS. (14:52)
§ Al-Qaul
(perkataan/ucapan) QS. (28:51)
2. Hikmah diwahyukan Al-Qur’an Secara
Berangsur-angsur
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap
selama lebih dari 20 tahun. Mengapa Al-Qur’an tidak turun sekaligus, sebagaimana
yang ditanyakan oleh orang-orang Quraisy, yang dimuat dalam Al-Qur’an,
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali
turun saja?” (Q.S Al-Furqan : 32)
Ada beberapa hikmah mengapa Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur, diantaranya :
Menguatkan
Hati Rasulullah SAW
Rasulullah SAW berdakwah menghadapi
manusia yang enggan menerima dakwah. Kaumnya menentangnya dengan keras hati dan
kasar. Mereka juga melawan Rasul SAW dengan keburukan dan siksaan.
Al-Qur’an turun untuk meneguhkan hati
Rasulullah SAW dan mengasah tekad beliau. Menguatkan langkah beliau dalam
dakwah agar tidak memperhatikan kezhaliman-kezhaliman kaumnya, karena cahaya
kemenangan akan segera melenyapkannya.
Allah SWT menjelaskan keadaan para
nabi-Nya yang didustakan dan disakiti oleh kaumnya namun mereka tetap bersabar
hingga datang pertolongan Allah SWT. Karena kaum para nabi tersebut mendustakan
hanya karena sombong dan takabbur (bukan karena dakwah yang dibawa salah).
Rasulullah SAW kemudian menemukan hal
itu adalah Sunah Ilahiyah melalui kisah-kisah sejarah para nabi yang menghibur
hati karena perlawanan dan penentangan yang beliau terima.
قَدْ
نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ
وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ
مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ
نَصْرُنَا
“Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.[12] Dan
sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi
mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap
mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka” (Q.S Al-An’am 33-34)
Juga
ayat,
كَذَلِكَ
مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ
مَجْنُونٌ . أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang
kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia
adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. Apakah mereka saling berpesan
tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui
batas.” (Q.S Adz-Dzariat : 52-53)
Dan
juga,
فَإِنْ
كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ جَاءُوا بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ
“Jika
mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah
didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab
yang memberi penjelasan yang sempurna.”(Q.S Ali Imran : 184)
Al-Qur’an memerintahkan beliau untuk
bersabar sebagaimana rasul-rasul sebelum beliau,
فَاصْبِرْ
كَمَا صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Maka
bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar” (Q.S Al-Ahqaf : 35)
وَاصْبِرْ
لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ
تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan
Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri[13].”
(Q.S Ath-Thuur: 48).
Rasul SAW pun menjadi tenang dengan apa
yang menimpa beliau karena ada jaminan Allah SWT mengenai urusan para pendusta
tersebut.
وَاصْبِرْ
عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا, وَذَرْنِي
وَالْمُكَذِّبِينَ أُولِي النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيلًا
“Dan
bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara
yang baik. Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang
mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah
mereka barang sebentar” (Q.S Al-Muzzammil : 10-11)
وَكُلًّا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan
semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu” (Q.S Huud : 120)
Setiap kali bertambah kuat rasa sakit
Rasulullah SAW karena kedustaan kaumnya, dan kesedihan karena mereka menyakiti
beliau maka Al-Qur’an turun untuk memberi dukungan dan hiburan bagi beliau,
mengancam para pendusta tersebut karena Allah SWT mengetahui keadaan-keadaan
mereka, dan akan membalas mereka.
فَلَا يَحْزُنْكَ
قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
“Maka
janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang
mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan” (Q.S Yasin : 76)
Sesungguhnya Allah SWT memberi kabar
gembira bahwa Allah SWT akan menjaga beliau dan memberi kemenangan dalam dakwah
Islam,
إِنَّا
لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ
يَقُومُ الْأَشْهَادُ
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami
dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya
saksi-saksi (hari kiamat)” (Q.S Ghafir/Al-Mu’min : 51)
كَتَبَ
اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Allah
telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.S Al-Mujadalah : 21)
Demikianlah, wahyu yang turun
berangsur-angsur lebih menguatkan hati juga lebih kuat pertolongannya bagi yang
menerima. Demikian pula hal ini menyebabkan seringnya Malaikat Jibril datang
kepada Rasulullah SAW untuk memperbarui tanggung jawab dari risalah yang beliau
emban.
Seandainya Al-Qur’an diturunkan
sekaligus maka nasehatnya akan terasa namun berikutnya akan terlupakan dan
dilupakan. Jika diturunkan kedua kali maka akan bertambah pengaruhnya. Hikmah
inilah yang kita rasakan dalam kisah ingkarnya Umar radhiyallahu ‘anhu akan
wafatnya Rasul SAW. Ketika beliau diberitakan wafat, Umar radhiyallahu ‘anhu
mengingkarinya, dan mengancam siapa saja yang mengatakan Rasul SAW telah
meninggal. Hingga datang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau membacakan ayat
Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Rasul SAW akan meninggan, seakan-akan ayat
tersebut diturunkan hari itu.
Inilah hikmah yang agung yang sangat
berpengaruh bagi kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat.
كَذَلِكَ
لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
“Demikianlah supaya
Kami perkuat hatimu dengannya” (Q.S Al-Furqan :32)
Sebagai
Jawaban Atas Pertanyaan Umat, Tantangan Kaum Musyrik dan Mukjizat Kenabian
Rasulullah SAW
Selain melakukan penentangan yang luar
biasa, orang-orang musyrik juga bertanya untuk menguji Rasulullah SAW tentang
kenabian beliau, mereka mengajukan pada Rasul setiap apa pun yang aneh dari
pikiran-pikiran kacau mereka, karena itu banyak sekali ayat Al-Qur’an yang
hadir dalam bentuk (shigat) pertanyaan, seperti
mengenai hari kiamat :
يَسْأَلونَكَ
عَنِ السَّاعَةِ
“Mereka
bertanya padamu mengenai hari kiamat” (Q.S Al-A’raf : 187)
Atau
bertanya mengenai roh,
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ
إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
“Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit.” (Q.S Al-Israa : 85)
Bahkan
mereka minta dipercepat adzab,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ
بِالْعَذَابِ
“Dan
mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan” (Q.S Al-Hajj : 47)
Maka
turun Al-Qur’an untuk menjelaskan kebenaran sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya,
وَلا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya[14]]” (Q.S Al-Furqan : 33)
Allah menurunkan Al-Qur’an
berangsur-angsur agar memberi hujjah bagi Rasulullah SAW karena syubhat yang
datang kepada beliau tidak datang dalam satu waktu, tapi dalam waktu yang
berbeda-beda. Kemudian ketika mereka takjub dengan hujjah-hujjah Al-Qur’an,
Allah SWT menantang mereka untuk mendatangkan yang semisal dengan Al-Qur’an.
Demikian hikmah ini apa yang disebutkan diriwayat hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu mengenai turunnya Al-Qur’an’
فكان
المشركون إذا أحدثوا شيئًا أحدث الله لهم جوابًا
“Jika
orang-orang musyrik menceritakan sesuatu, Allah SWT menceritakan bagi mereka
sebagai jawaban” (Hadits Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)
Sebagai
Cermin Bagi Orang-Orang Mukmin Atas Kesalahan Mereka, Sehingga Mereka Tidak
Mengulanginya
Sebagai seorang manusia, para shahabat
Rasul juga orang yang tidak luput dari kesalahan. Al-Qur’an menyebutkan
kesalahan mereka agar menjadi nasehat dan pengingat bagi mereka sehingga tidak
melakukan kesalahan yang sama.
أَوَلَمَّا
أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ
هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya
(kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Q.S Ali
Imran : 165)
Contoh lainnya ketika ada salah seorang
mukmin yang memberitahukan pada orang-orang musyrik tentang rencana yang akan
dilakukan oleh Rasulullah SAW pada waktu Fathu Makkah, maka turunlah ayat :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ
إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan
kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang” (Q.S
Al-Mumtahanah : 1)
Agar Mudah
Menghafal dan Memahaminya
Al-Qur’an turun pada umat yang ummi yang
tidak mengenal membaca dan menulis, kekuatan mereka ada pada hafalan,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Q.S Al-Jumuah : 2)
Karena itu tidaklah mudahlah bagi umat
yang ummi untuk menghafal Al-Qur’an yang turun sekaligus, apalagi jika ingin
memahami makna-maknanya, mentadabbur ayat-ayatnya, maka ketika Al-Qur’an turun
bertahap, itu adalah pertolongan yang sangat baik untuk menghafalnya dan
memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun ayat maka para shahabat menghafalnya,
mentadabbur makna-maknanya, memahami hukum-hukumnya,
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian” (Q.S Al-Israa : 106)
Manhaj pengajaran ini senantiasa
berlangsung hingga masa Tabi’in. Abu Nadhrah rahimahullah berkata,
“كان
أبو سعيد الخدري يعلمنا القرآن خمس آيات بالغداة، وخمس آيات بالعَشي، ويخبر أن
جبريل نزل بالقرآن خمس آيات خمس آيات”
“Abu
Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kami 5 ayat Al-Qur’an pada waktu
pagi, 5 ayat pada waktu malam, beliau mengatakan bahwa Jibril ‘alayhissalam
turun membawa 5 ayat 5 ayat (HR Ibnu ‘Asakir).
وعن
خالد بن دينار قال: “قال لنا أبو العالية: تعلموا القرآن خمس آيات خمس آيات، فإن
النبي -صلى الله عليه وسلم- كان يأخذه من جبريل خمسًا خمسًا
“Dari
Khalid bin Dinar dia berkata “Abu ‘Aliyah berkata pada kami,
pelajarilah Al-Qur’an 5 ayat 5 ayat karena Nabi SAW mempelajarinya dari
Jibril ‘alayhissalam 5 ayat 5 ayat” (HR Al-Bayhaqi)
وعن
عمر قال: “تعلموا القرآن خمس آيات خمس آيات، فإن جبريل كان ينزل بالقرآن على النبي
-صلى الله عليه وسلم- خمسًا خمسًا”
“Dari
‘Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Pelajarilah Al-Qur’an 5 ayat 5 ayat,
karena Jibril ‘alayhissalam turun dengan Al-Qur’an kepada Nabi SAW 5 ayat 5
ayat” (HR Al-Bayhaqi)
Sebagai
Bentuk Dalam Tahapan Mendidik Umat Dan Pensyariatan Hukum
Masyarakat Quraisy yang sudah lama
menjalankan kehidupan yang rusak, karena mengikuti ajaran nenek moyangnya dan
akan langsung memberikan perlawanan dan penentangan terhadap setiap ajaran baru
yang datang. Mereka akan sulit jika harus meninggalkan ajaran tersebut
sekaligus. Pun akan merasa sangat berat menjalankan aturan-aturan baru yang
bertentangan dengan kebiasaan mereka. Karenanya Al-Qur’an datang memberi
arahan-arahan pada mereka, memberi mereka obat yang ampuh dari kerusakan dan
keburukan mereka secara bertahap, setiap kali terjadi satu kejadian maka
Al-Qur’an turun membawa hukum, ditampakkan bagi mereka cahaya kebaikan, dan
mengarahkan mereka kepada petunjuk, serta meletakkan bagi mereka pondasi
kemasyarakatan yang sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah SWT.
Al-Qur’an Al-Karim memulainya dengan
meletakkan pokok-pokok keimanan kepada Allah SWT, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan, hisab dihari kiamat,
balasan di akhirat berupa surga dan neraka. Al-Qur’an menjelaskan semua itu
dengan hujjah dan argumen-argumen hingga mencabut dari jiwa-jiwa kaum musyrikin
keyakinan terhadap berhala dan menanamkan aqidah Islam dalam dada mereka.
Perkara ini perkara yang sangat penting bagi kaum muslimin.
Islam memerintahkan kepada akhlak yang
mulia yang mensucikan jiwa, meluruskan akhlak yang keliru, melarang dari
perbuatan keji dan mungkar, mencabut akar-akar kerusakan dan keburukan,
menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram serta menambatkan pondasi-pondasi
agama dalam makanan, minuman, harta dan kehormatan manusia.
Kemudian secara bertahap melakukan
pensyariatan kepada umat sebagai obat bagi penyakit-penyakit masyarakat yang
telah berakar dalam jiwa-jiwa. Pensyariatan tersebut berupa kewajiban-kewajiban
agama yang menjadikan hati mereka diisi dengan keimanan, ikhlas karena Allah
SWT, menyembah hanya kepada-Nya semata dan tidak mensekutukan-Nya.
Hikmah pensyariatan ini bisa dilihat
dari susunan ayat Makkiyah dan Madaniyah. Di Mekkah turunnya ayat-ayat mengenai
pokok-pokok keimanan dan tauhid. Kemudian disyariatkan shalat saat Rasulullah
isra mi’raj. Disyariatkan juga pondasi zakat sebagai perbandingan dari riba.
فَآتِ
ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ
لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ, وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُوا عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ
هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Maka
berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada
fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang
beruntung. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
(Q.S Ar-Ruum : 38-39)
Kemudian
menjelaskan apa yang halal dan apa yang haram,
قُلْ
تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ
شيئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ
بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ, وَلا تَقْرَبُوا
مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ
اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Katakanlah:
“Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan
sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (Q.S Al-An’am :
151-152)
Pondasi muamalah-muamalah ayat Madaniyah
turunnya di Mekah, akan tetapi perincian hukum-hukumnya turun di Madinah
misalnya pada pengharaman riba. Asas-asas hubungan keluarga turun di Mekah,
sedang penjelasan hak-hak setiap pasangan, kewajiban-kewajiban kehidupan
berumah tangga, apa yang menguatkan hubungan tersebut sehingga hubungannya
langgeng atau bercerai dengan talaq, atau berakhir karena kematian, juga
mengenai waris, penjelasan-penjelasan hal ini datang di Madinah. Zina diharamkan
di Mekah,
وَلا
تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Jangan
kalian mendekati zina, sesunguhnya ia adalah perbuatan keji dn seburuk-buruk
jalan” (Q.S Al-Israa : 32)
Namun hukuman bagi pelakunya turun di
Madinah. Pokok haramnya menumpahkan darah manusia turun di Mekah,
وَلا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“Jangan
membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan (jalan) yang benar)” (Q.S Al-Isra : 33)
Namun perincian hukumannya dalam hal
menyerang jiwa turun di Madinah.
Contoh lebih rinci mengenai proses
pensyariatan secara bertahap adalah pengharaman riba. Awalnya Allah SWT
menurunkan ayat,
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)” (Q.S Ar-Ruum : 39)
Kemudian
proses pengharaman berlanjut ke tahapan berikutnya,
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S Ali Imran : 130)
Setelah itu baru Allah SWT menegaskan
keharaman riba hingga akhirnya para sahabat meninggalkan riba dengan penuh
keridhaan,
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S
Al-Baqarah 275).
Dalam kasus pengharaman khamar, proses
pensyariatan secara bertahap menjadi solusi mujarab atas tradisi akut yang
sangat sulit ditinggalkan, mula-mula Allah SWT menurunkan ayat,
وَمِنْ
ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا
حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan
dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang
baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (Q.S An
Nahl : 67)
Ayat tersebut mengungkapkan pujian atas
nikmat-nikmat Allah SWT. Yang dimaksud dengan memabukkan adalah apa yang
memabukkan dari jenis khamar, sedangkan yang dimaksud rezki adalah apa yang
dimakan dari dua jenis pohon ini seperti kurma (tamar) dan kismis (zabiib), keduanya adalah rezeki yang baik disebutkan
dengan pujian dan sanjungan tanpa sifat memabukkan.
Kemudian
turun ayat,
(يَسْأَلونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا)
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Q.S Al-Baqarah 219)
Ayat ini mengindikasikan antara manfa’at
khamar, dengan memperoleh kegembiraan dan kesenangan saat meminumnya atau
keuntungan jika menjual, dan bahayanya yaitu bahaya yang timbul di badan,
kerusakan di akal, ataupun membuang-buang uang, bahkan penyebab timbulnya
kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah SWT. Ayat tersebut menguatkan
kemudharatannya daripada manfaatnya.
Kemudian
turun ayat,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (Q.S An Nisa : 43)
Ayat ini melarang untuk meminum khamar
di waktu-waktu mendekati shalat dalam keadaan mabuk hingga hilang pengaruh
mabuk dan mereka mengetahui apa yang dikatakan/diucapkan ketika shalat.
Kemudian
turun ayat,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S
Al-Maidah 90)
Ini
adalah ayat yang tegas mengharamkan khamar di setiap waktu.
إِنَّمَا
يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (Q.S Al-Maidah :91)
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
“Dan
taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.S
Al-Maidah :92)
Ayat terakhir ini menjadi pelarangan
daripada khamar secara tegas di seluruh waktu, setelah jiwa terlatih dari
pelarangan sebagian waktu. Demikianlah tradisi itu akhirnya bisa dihilangkan
oleh Islam dengan tuntas.
Hikmah pensyariatan secara bertahap ini
juga apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
ما
رُوِي عن عائشة -رضي الله عنها- قالت: إنما نزل أول ما نزل منه سورة من المُفصَّل
فيها ذكر الجنة والنار، حتى إذا ثاب الناس إلى الإسلام نزل الحلال والحرام، ولو
نزل أول شيء: “لا تشربوا الخمر” لقالوا: لا ندع الخمر أبدًا، ولو نزل: “لا تزنوا”
لقالوا: “لا ندع الزنا أبدًا
“Sesungguhnya
diturunkan yang pertama kali surat yang merincikan didalamnya penyebutan surga
dan neraka, hingga banyak manusia masuk ke dalam Islam turun ayat
mengenai halal dan haram. Jikalau turun ayat (yang melarang secara lansung)
“Janganlah kalian meminum khamar” niscaya mereka akan berkata “Kami tidak akan
meninggalkan khamar selamanya”, jikalau turun ayat (larangan) “Jangan kalian
berzina” maka mereka akan mengatakan kami tidak akan meninggalkan zina
selamanya” (HR Bukhari)
Bukti
Yang Nyata Bahwa Al-Qur’an Adalah Firman Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Sempurna
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur
kepada Rasulullah SAW selama lebih dari 20 tahun, yang ayatnya turun
sedikit-sedikit di masa yang berbeda-beda, yang manusia membacanya dan
menemukan ayat-ayatnya dengan susunan yang tepat, makna-maknanya bersambung,
gaya bahasa yang sempurna, ayat dan surahnya berhubungan, seakan-akan ia sebuah
naskah yang sangat langka, yang tidak pernah dijumpai sebelumnya yang semisal
dari perkataan manusia,
كِتَابٌ
أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Suatu
kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci,
yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu” (Q.S Huud : 1)
Kalau seandainya Al-Qur’an yang turun
dengan masa yang sangat lama merupakan perkataan manusia maka ketika menghadapi
banyak kejadian, berbagai situasi, masalah yang beragam pasti akan terjadi
ketidakteraturan dan kekacauan, sulit ditemukan kesesuaian dan keserasian.
وَلَوْ
كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
“Kalau
kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S An-Nisa : 82)
قُلْ
لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا
الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah:
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran
ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Q.S Al-Israa : 88)[15]
3. Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’
Al-Qur’an)
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an
(jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian
berikut:
Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya
dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinyahuffazuhu (penghafal-penghafalnya,
orang yang menghafalkannya dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam
firman Allah kepada Nabi, agar Nabi senantiasa menggerakkan kedua bibir dan
lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril
selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:
لَا
تُحَرِّك بِهِ لِسَانَكَ لِتَعجَلَ بِهِ, إِنَّ عَلَينَا جَمعَهُ
وَقُرأَنَهُ, فَإِذَا قَرَأنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرءَانَهُ, ثُمَّ إِنَّ
عَلَينَا بَيَانَهُ. (القيامة:١٩-١٦)
Artinya:“Janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
penjelasannya.” (al-Qiyamah [75]:16-19)[16]
Ibnu abbas mengatakan: “Rasulullah
sangat ingin segera mengusai Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan
kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin
segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya; maksudnya, Kami yang mengumpulkannya didadamu,
kemudian kami membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya;
maksudnya, apabila Kami telah menurunkannya kepadamu, maka ikutilah
bacaannya itu; maksudnya, dengarkan dan perhatikanlah ia. Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya; yakni,
menjelaskannya dengan lidahmu. Dalam lafal dikatakan: Atas tanggungan kamilah
membacakannya. Maka setelah ayat ini turun bila Jibril datang, Rasulullah diam.
Dalam lafal lain: ia mendengarkan. Dan bila Jibril telah pergi, barulah ia
membacannya sebagaimana diperintahkan Allah.”
Pengumpulan
dalam arti kitabatahu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya)
baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan
ayat-ayat semata dan tiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah,
ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang
lain.[17]
b.
Proses Pengumpulan Al-Qur’an
Al-Qur’an dikumpulkan pada dua masa,
masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyiddin yang
masing-masing tahap pengumpulan ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Perlu
kami jelaskan tahap pengumpulan tersebut secara terperinci, agar jelas bagi
kita, betapa sempurnanya penjagaan dan perhatian terhadap Al-Qur’an, baik
penulisan dan pembukuannya sebagai Kitab Allah yang suci dan mukjizat Nabi
Muhammad SAW yang abadi, yang tidak dimiliki oleh kitab samawi lainnya.
Masa Rasulullah
Al-Qur’an sudah mulai dikumpulkan pada
masa Rasulullah, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Kedatangan wahyu memang
sesuatu yang sangat dirinduan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi
Muhammad terhadap kedatangan wahyu diekspresikan dalam bentuk hafalan dan
tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi ditempuh dengan dua
cara:
Pengumpulan Al-Qur’an Dalam Dada
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
yang ummiy. Otomatis, maka hikmah Nabi hanya tercurahkan untuk
menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat di hafal sebagaimana diturunkan
kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal
dan melahirkannya (membacakannya).
Usaha keras Nabi SAW untuk menghafal
Al-Qur’an terbukti setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat sebagai
ibadah membaca dan merenungkan maknanya. Sehingga telapak beliau yang mulai itu
pecah-pecah lantaran banyak berdiri menjalankan perintah Allah:
يٰأَيُّهَا
ٱلمُزَّمِّلُ, قُمِ
ٱلَّيلَ إِلَّا قَلِيلاً, نِصفَهُ أَوِ ٱنقُص مِنهُ قَلِيلًا,
أَو زِدْ عَلَيهِ وَرَتِّلِ ٱلقُرأَنَ تَرتِيلًا (المزمل:٤-١)
Artinya:
“Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam
hari, kecuali sedikit (daripadanya). (yaitu) Seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu
dengan perlahan-lahan (al-muzzammil;1-4)
Maka tidak heran jika Rasulullah SAW
menjadi sayyidul huffaz. Hatinya yang mulia itu penuh dengan
Al-Qur’an. Beliau menjadi tempat bertanya bagi setiap kaum muslimin yang
kesulitan tentang al-Qur’an.[18]
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Tulisan
Keistimewaan kedua untuk Al-Qur’an
adalah pengumpulan dan penulisannya pada lembaran-lembaran. Rasulullah SAW
mempunyai beberapa penulis wahyu. Manakala turun ayat, segera beliau
memerintahkan mereka untuk menulisnya, untuk lebih berhati-hati dalam pembukuan
pengukuhan serta pemeliharaan terhadap kitab Allah. Dengan demikian, jelaslah
bahwa penulisan itu cocok dengan apa yang telah ditanamkan Allah ke dada
mereka.
Para penulis adalah orang-orang pilihan
diantara sahabat. Rasulullah SAW memilih mereka yang telah terbukti ketakwaanya
demi usaha yang demikian penting dan agung. Diantara mereka adalah Zaid bin
Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khulafaur
Rasyiddin, dan yang lain dari golongan sahabat.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan dari sahaba Anas r.a. dia berkata: “Ada empat orang yang
mengumpulkan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW. Mereka dari sahabat Anshar.
Yakni Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Yazid”.
Ditanyakan kepada Anas: Siapa Abu Yazid itu? Ia menjawab: “Salah seorang
pamanku”. Mereka adalah para penulis wahyu yang termasyhur. Namun demikian, masih
banyak lagi para sahabat yang menuliska Al-Qur’an. Bahkan, banyak lagi mereka
mempunyai mushaf khusus berisikan apa yang didengar atau dihafal dari
Rasulullah SAW. Seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf Aisyah dan lain
sebagainya. Yang mana cara penulisan Al-Qur’an pada saat itu menggunakan
pelepah kurma, pohon, daun, kulit, tulang unta dan lain-lain. Demikian itu
karena alat tulis sulit didapat di negeri Arab.[19]
Masa khalafaur Rasyiddin
Pada
Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah
ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-suratdan
ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali
menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar. Usaha pengumpulan tulisan
Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12
Hijriah. Peperangan yang bertutjuan menumpas habis para pemurtad yang juga para
pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang sahabat
penghapal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghapal
Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut terancam, ‘Umar datang
menemui khalifah pertama, Abu Bakar agar segera menginstruksikan pengumpulan
Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hapalan maupun
tulisan.
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin
Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada ‘Umar karena usul
penulisan datang darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum
dilakukan Rasulullah?” ‘Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini sesuatu yang
baik.” Dan ketika ‘Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah
melegakan hati Zaid bin Tsabit tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
Kemudian Abu Bakar berkata kepada Zaid, “kau adalah seorang lelaki yang masih
muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu kau menulis wahyu
untuk Rasulullah. (Sekarang), lacaklah Al-Qur’an.”
Bagi Zaid, tugas yang dipercayakan Abu
Bakar kepadanya bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang
terlontar dari mulutnya dihadapan Abu Bakar dan ‘Umar pada waktu itu, “Demi
Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu
tidak lebih berat dari pada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menhimpun
Al-Qur’an.”
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf
Al-Qur’an itu masih disimpan ‘Umar dan ketika ‘Umar wafat, mushaf itu disimpan
Hafsah, bukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah yang menggantikan ‘Umar.
Timbul pertanyaan, mengapa mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah setelah
‘Umar? Pertanyaan itu logis. Hanya ‘Umar mempunyai pertimbangan lain, yaitu
bahwa sebelum wafat, ‘Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk
bermusyawarah memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah.
Kalau ‘Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang diantara
enam sahabat itu, ia khawatir hal tersebut diinterpretasikan sebagai dukungan
kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal ‘Umar ingin memberikan kebebasan
sepenuhnya ke[ada enam sahabat itu untuk memilih diantara mereka yang layak
menjadi khalifah. Yang sangat bernilai. Ia menyarahkan mushaf itu kepada Hafsah
yang lebih layak memegang mushaf. Terlebih lagi, ia adalah istri Nabi dan sudah
menghapal Al-Qur’an secara keseluruhannya.[20]
Pada
Masa ‘Usman bin ‘affan
Faktor pengumpulan Al-Qur’an pada masa
‘Usman berbeda dengan faktor penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-shiddiq.
Pada masa ‘Usman pemuka-pemuka Islam
semakin meluas perpecahan antara kaum muslimin terjadi di berbagai pelosok dan
perbatasan negara. Dan setiap negara Islam terkenal dengan qira’ah sahabat yang
mengajari mereka.
Pada masa pemerintahan ‘Utsman, seorang
mu’allim mengajarkan qira,ah versi si Fulan, dan seorang mu’allim juga
mengajarkan versi si Fulan. Setelah murid-muridnya pada bertemu terjadilah
perselisihan pendapat, bahkan para mu’allim pun ikut pula melibatkan diri,
sehingga antara mereka saling mengkafirkan.
Setelah peristiwa ini sampai ke telinga
‘Utsman ia langsung berpidato: “Kalian yang berada dihadapanku berpecah belah, apalagi
mereka yang jauh berada di perbatasan negara sana, mereka lebih lagi.”
Karena beberapa faktor dan peristiwa
inilah ‘Utsman berpendapat dengan cermat, dan menyatakan kebenaran
pandangannya. Ia hendak memperbaiki kerusakan ini sebelum menjalar kepada para
tokoh, dan membasmi penyakit itu sebelum kehilangn obat.
Maka ia memulai langkahnya dengan
mengumpulkan pembesar-pembesar sahabat, para intelek dan pengamat diantara
mereka. Mereka diberi kabar gembira dengan pembasmian fitnah yang sudah mulai
bersemi dan perpecahan yang telah terjadi. Setelah itu mereka sepakat
agar Amirul Mu’minin menaskahkan masahif yang banyak dan
mengirimkannya ke berbagai negara atau kota. Dan hendaknya Amirul
Mu’mininmemerintahkan kepada semua orang agar mereka membakar semua mushahif
kecuali mushhaf yang dikirim olehnya, sehingga akan tertutup semua jalan
pertikaian dan perselisihan dalam segi-segi qira’ah.
Setelah itu ‘Utsman menginstruksikan
pelestarian deklarasi yang mulai itu, diajukan kepada empat orang sahabat
teladan sebagai tsiqatul huffadh. Mereka itu ialah Za’id bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Hisyam.
Mereka semuanya dari bangsa Quraisy muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit, ia dari
golongan Anshar.
Peristiwa ini terjadi pada tahun dua
puluh empat Hijriah. Dan ‘Utsman berkata kepada mereka: Apabila kalian
berselisih paham dalam segi-segi qira’ah, maka tulislah dengan dengan Quraisy,
sebab Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.[6]
c.
Penyempurnaan Mushaf Al-Qur’an
Mushaf yang ditulis atas perintah
‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan
salah satu qira’at yang tujuh.setelah banyak orang non Arab memeluk Islam,
mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu.
Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan karena itu pula
penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam
hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Zaid (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
(w. 95 H.) Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari persia untuk
meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang.
Misalnya, tulisan (قٰلَتْ) dan (كٰنَتْ) diganti dengan قَالَتْ dan كَانَتْ.
Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘Utsmani pada sebelas
tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.[7]
Penyempurnaan penulisan Al-Qur’an terus
dilakukan secara berangsur-angsur disetiap generasi yang kemudian mencapai
puncaknya
4. Rasm Al-Qur’an
Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari
tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik
dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.
Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-UtsmaniPara ulama menetapkan
Rasm Al-Quran terbagi atas enam yaitu :
1.
Al-Hadzf (Membuang atau menghilangkan
atau menjadikan huruf)
2.
Al-Jiyadah (Penambahan)
3.
Al-Hamzah
4.
Badal atau Pergantian
5.
Washal dan fashl ( Penyambungan dan
pemisahan)
6.
Kata yang dapat dibaca dua bunyi,
penulisan kata tersebut disunatkan dengan salah satu bunyinya
Pendapat Para Ulama:
1.
Rasm Usmani bersifat tauqifi atau bukan
merupakan Produk budaya manusia yang wajib di ikuti siapa saja ketika menulis
Al-Quran.
2.
Menurut Al-Quran: Tidak ada satu riwayat
pun dari Nabi yang dapat di jadikan alasan untuk menjadikan Rasm Usmani sebagai
Tauqifi.
3.
Subhi shalih: Ia mengatakan ketika
logisan Rasm Usmani apabila disebut tauqifi karena rasm Usmani baru lahir pada
masa Usman.
4.
Rasm Usmani adalah kesepakatan cara baca
penulisab yang disetujui Usman dan diterima umat, sehinmgga wajib di ikuti dan
di taati siapa pun ketika menulis Al-Quran.
5.
Tidak ada halangan untuk menyalahkan nya
tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis
Al-Quran.
Kaitan Rasm Al-Qur’an
dengan Qira’at adalah keberadaan Rasm Usmani yang telah berharakat dan bentuk
itu ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai Qiraat
terbukti dengan keragaman cara membacan Al-Quran seperti qiraat tujuh, sepuluh
dan qiraat empat belas.
C.
ASBAB
AN-NUZUL
Al-qur’an yang terdiri
dari beberapa surat dan ayat-ayat diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada
manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas
kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada allah dan risalahnya. Juga
memberitahukan hal-hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta
berita-beritayang akan datang.[21]
Sebagian besar
ayat-ayat dalam al-qur’an pada mulanya diturunkan untuktujuan umum ini. Tetapi
kehidupan para sahabat bersama rasulullahtelah menyaksikan banyakperistiwa
sejarah,bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan
penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian bertanya kepada
Rasululah untuk mengenai hukum hal itu. Maka ayat Al-Qur’an turun untuk
peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul disampaikan kepada
nabi.[22]
Secara umum, ayat-ayat
dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan pada dua bagiandilihat dari segi sebab
diturunkannya. Sekelompok ayat diturunkan tanpa dihubungkan dengan satui sebab
secara khusus. Sekelompok ayat lainnya diturunkan atau disangkut-pautkan dengan
suatu sebab khusus. Kelompok yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya, tetapi
mempunyai pembahasan khususdalam ‘Ulum Al-Qur’an.
Pembahasan tentang
asbab an-nuzul meliputi antara lain; pengertian sabab an-nuzul, fungsi riwayat
sabab an-nuzul, kualifikasi riwayat/hadith yang meriwayatkannya,jenis-jenis
sabab an-nuzul dan kaidah-kaidah sabab an-nuzul yang berfokus pada hubungan
antara riwayat dan bentuk redaksiyang digunakan ayat-ayatber-sabab an-nuzul.
1. Pengertian Asbab An-Nuzul
Ungkapan
asbab an-nuzul merupakan bentukidhafah dari kata“asbab” dan
“nuzul”, Secara etimologi, asbab an-nuzul adalahsebab-sebab
yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena
yang melatarbelakangi terjadinya sesuatudapat disebut asbab an-nuzul, dalam
pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan
untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya
Al-Quran, seperti halnya asbab al-wurud secara khusus
digunakan bagi sebab terjadinya hadist.
Banyak
pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:
a.
Menurut Az-zarqoni:
“asbab
an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan
turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat
peristiwa itu terjadi”.
b.
Ash-shabuni:
“asbab
an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu ayat
atau beberapa ayat mulai yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian
tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang
berkaitan dengan urusan agama”.
c.
Subhi shalih:
“asbab
an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat
al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya
atau penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
d.
Mana’ Al-Qaththan:
“asbab
an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al-qur’an,
berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa kejadian atau
pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.
Kendatipun
redaksi pendifinisian di atas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan
bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat al-qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan,
dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut. Asbab
an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk memberikan
keterangan terhadap turunnya ayat Al-qur’an dan memberinya konteks dalam
memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya melingkupi
peristiwa pada masa al-qur’an masih turun (ashr at-tanzil).[23]
Bentuk-bentuk
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al-qur’an itu sangat beragam,
diantaranya berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi diantara
suku Aus dan suku khazraj ; kesalahan besar,
seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk; dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi,
baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan rerjadi.
Persoalan
mengenai apakah seluruh ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul atau
tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para ulama. Sebagian
ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat al-qur’an memiliki asbab
an-nuzul. Oleh sebab itu, ada ayat al-qur’an yang diturunkan tanpa ada yang
melatarbelakanginya (ibtida’), dan sebagian lainnuya diturunkan dengan
di latarbelakamgi oleh sesuatu peristiwa (ghair ibtida’).
Pendapat
tersebut hampir menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi sebagian
berpendapat bahwa kesejarahan arabia pra-qur’an pada masa turunnya al-qur’an
merupakan latar belakang makro al-qur’an, sedangkan riwayat-riwayat asbab
an-nuzul merupakan latarbelakang mikronya.pendapat ini berarti mengaggap bahwa
semua ayat al-qur’an memiliki sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
2.
Urgensi
dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
Asbab
an-nuzul mempunyai arti penting dalan menafsirkan al-qur’an. Seseorang tidak
akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbab an-nuzul
suatu ayat. Al-Wahidi (W.468H/1075M.)seorang ulama klasik dalam bidang ini
mengemukakan; “pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin,
jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan
dengan turunnya suatu ayat. Sementara ibnu daqiq al-id menyatakan bahwa
penjelasan asbab an-nuzul
Merupakan
salah satu jalan yang baik dalam rangka memahami al-qur’an. Pendapat senada di
ungkapkan oieh ibnu taimiyah bahwa mengetahui asbab an-nuzul akan menolomg
seorang dalam upaya memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan
melahirkan pengetahuan tentang akibat.
Pemahaman
asbab an-nuzul akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini
sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang
berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika
mengabaikan riwayat asbab an-nuzul.
Muhammad
chirzin dalam bukunya: al-qur’an dan ulum al-qur’an menjelaskan, dengan ilmu
asbab an-nuzul. Pertama, seorang dapat mengetahui hikmah di balik syariat yang
di turunkan melalui sebab tertentu.Kedua, seorang dapat mengetahui pelaku atau
orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat.Ketiga,
seorang dapat dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umumdan
dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan. Keempat, seorang dapat
menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah dan
selalu bersama para hambaNya.
Study
tentang asbab an-nuzul akan selalu menemukan relevansinya sepanjang peradaban
perjalanan manusia, mangingat asbab an-nuzul manjadi tolak ukur dalam upaya
kontekstualisasi teks-teks al-qur’an pada setiap ruang dan waktu serta
psiko-sosio-historis yang menyertai derap langkah kehidupan manusia.
Lebih
lanjut sebagaimana dijelaskan oleh manna khalil al-qattan dalam bukunya
mabahith fi ulum al-qur’an diantara faedah ilmu asbab an-nuzul dalam dunia
pendidikan, para pendidik megalami banyak kesulitan dalam penggunaan media
pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka
siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya
terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran.
Asbab
an-nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa
pertanyaan yang di sampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui hukum suatu
masalah, sehingga al-qur’an pun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan
tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat suatu pengantar dengan
sesuatu yang baru dan di pilihnya; sebab bila ia menyampaikan sebab asbab
an-nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, minat
menarik memusatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk
menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan
memperhatikannya.
Mereka
segera dapat memahamai pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbab
an-nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Dengan
demikian jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang rahasia
perundangan dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya, yang kesemua ini
memberi petunjuk kepada manusia kejakan kehidupan lurus, jalan menuju kekuatan
kemuliaan dan kebahagiaan.
Para
pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran di bangku-bangku sekolah atau
punpendidikan umum,dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan perlu memanfaatkan
konteks asbab an-nuzul untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang
temgah belajar dan masyarakat umum yang di bimbing. Cara demikian merupakan
cara paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan
tersebut dengan menggunakan metode pemberian pengertian yang paling menarik.
Dalam
kaitannya dengan kajian ilmu shari’ah dapat ditegaskan bahwa pengetahuan
tentang asbab an-nuzul berfungsi antara lain;
Mengetahui hikmah dan
rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ tehadap kepentingan
umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara cermat,
proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti pelanggaran
minuman keras,misaalnya ayat-ayat al-qur’an turun dalam empat kali tahapan
yaitu: Q.S.an-nahl: 67,Q.S al-baqarah:219, Q.S an-nisa’:43 danQ.S
al-maidah:90-91
Mengetahui asbab an-nuzul
membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya. Urwah ibnu
zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardu sa’i antara sofa dan
marwa Q.S. al-baqarah : 158
“sesungguhnya sofa dan
marwa adalah sebagian dari shiar-shiar. Barang siapa yang beribadah haji ke
baitullah ataupun umroh, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara
keduanya .dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan
hati, sesungguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui”.
Urwah
bin zubair kesulitan memahami”tidak ada dosa” di dalam ayat ini lalu ia
menanyakan kepada aisyah perihal ayat tersebut, lalu aisyah menjelaskan bahwa
peniadaan dosa di situ bukan peniadaan hukum fardhu peniadaan di situ
dimaksudkan sebagai penolak keyakinan yang telah mengakar di hati muslimin pada
saat itu, bahwa melakukan sa’i antara sofa dan marwah termasuk perbuatan
jahiliyah.
Keyakinan
ini didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra islam di bukit safa terdapat
sebuah patung yang di sebut”isaf” dan di bukit marwah ada patung yang di
sebut”na’ilah”. Jika melakukan sa’i di antara bukit itu orang jahiliyah
sebelumnya mengusap kedua patung tersebut. Ketika islam datang, patung-patung
tersebut itu di hancurkan, dan sebagian ummat islam enggan melakukan sa’I di
tempat itu, maka turunlah ayat ini; Q.S al-baqarah :158.
Pengetahuan
asbab an-nuzul dapat menghususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama
ulama yang menganut kaidah (khusus as-sabab) sebab khusus. Sebagai contoh
turunnya ayat-ayat dhihar pada permulaan surat al-mujadalah, yaitu dalam kasus
aus ibnu as-samit yang mendzihar istrinya, khaulah binti hakam ibnu tha’labah.
Hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ini khusus bagi keduanya dan tidak
berlaku bagi orang lain.
Yang
paling penting ialah asbab an-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat
berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu di
terapkan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat di pahami melalui asbab
an-nuzul.
Pengetahuan
tentang asbab an-nuzul akan mempermudah orang yang menghafal ayat-ayat
al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang mendengarnya
jika mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab dan musabab
(akibat), hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya,
semua ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya
dalam ingatan.[24]
3.
Cara
Mengetahui Asbab An-Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah
riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan
pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka nal
itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’
(disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat
mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau
mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya
dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat
berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan
yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah
mengenai satu ayat Qur’an, dijawabnya: ”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah
yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan
telah meninggal.”
Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk
tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat
dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui
benar-benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam
asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti
musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat
bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka
ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran
kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang
mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair
serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang
shahih adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan
para ahli hadits. Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat
dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang
tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif (lemah).
Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat
cara yaitu:
1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih
(jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian),
ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan
mengandung makna lain.
2). Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu
(sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka
atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya
suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang
Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya. Maka turun surat
Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat
kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya,
dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3). Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya.
Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan
tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
4). Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara
tegas.
Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini
dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan
sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat
sebagai asbab an-nuzul, ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan
sebagai sebab turunnya ayat. Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari
al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para sahabat dan tabi’in telah
diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang ini” maksudnya
adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu, bukan untuk
menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk menentukan salah
satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah konteks
pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau
bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang
persoalan yang sama, salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat,
sedangkan yang lain tidak demikian, maka redaksi yang pertama diambil sebagai
sebabnya dan redaksi yang lain dianggap sebagai penjelasan hukum yang
terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang
berlainan, maka yang mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari
yang lain. Jika kedua sanadnya sederajat, maka dikuatkan riwayat yang
peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika tidak mungkin dilakukan tarjih
(dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam ayat yang memiliki
beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.[25]
4.
Macam-macam
Asbab An-Nuzul
Dari segi jumlah sebab
dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat dibagi kepada;
a. Ta’addud Al-Asbab
Wa Al-Nazil Wahid
Beberapa
sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat/ wahyu. Terkadang wahyu
turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab,[26] misalnya
turunnya Q.S. Al-Ikhlas: 1-4
“Katakanlah:”Dia-lah
Allah, yang maha Esa. Allah adalah tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Tiada berada beranak dan tiada pula di peranakkan. Dan tiada
seoarangpun yang setara dengan dengan dia.
Ayat-ayat
yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan terhadap orang-orang
musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang ditemui
di madinah setelah hijrah.
Contoh yang lain:
“peliharalah semua
shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah(dalam
shalatmu) dengan khusyu’.
Ayat di atas menurut
riwayat diturunkan berkaitan dengan beberapa sebab berikut;
Dalam sustu riwayat
dikemukakan bahwa nabi SAW. Shalat dzuhur di waktu hari yang sangat panas.
Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para sahabat. Maka turunnlah
ayat tersebut di atas. (HR. Ahmad, bukhari, abu daud).
Dalam riwayat lain
dikemukakan bahwa nabi SAW. Shalat dzuhur di waktu yang sangat panas. Di
belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua saf saja yang mengikutinya.
Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, adapula yang sedang sibuk
berdagang. Maka turunlah ayat tersebut diatas (HR.ahmad, an-nasa’i, ibnu jarir)
Dalam riwayat lain
dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada orang-orang yang suka bercakap-cakap
dengan kawan yang ada di sampingnya saat meraka shalat. Maka turunlah ayat
tersebut yang memerintahkan supaya diam pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari
muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i dan ibnu majah).
Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa ada orang-orang yang bercakap-cakap di waktu shalat, dan ada
pula yang menyuruh temannya menyelesaikan dulu keperluannya(di waktu sedang
shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang memerintahkan supaya khusyuk ketika
shalat.
b. Ta’adud
an-nazil wa al-asbab wahid
Satu sebab yang
mekatarbelakangi turunnya beberapa ayat.
Contoh: Q.S. Ad-dukhan
: 10,15 dan16;
“maka tunggulah hari
ketika langit membawa kabut yang nyata, ”
“sesungguhnya (kalau)
kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali
(ingkar)”.
“(ingatlah) hari (ketika)
kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya kami memberi
balasan”.
Asbab
an-nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah; dalam suatu riwayat dikemukakan,
ketika kaum Quraisy durhaka kepada nabi SAW. Beliau berdo’a supaya mereka
mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada zaman
nabi yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan, sampai-sampai merekapun makan
tulang, sehingga turunlah(Q.S. ad-dukhan :10). Kemudian mereka menghadap nabi
saw untuk meminta bantuan. Maka rasulullah saw berdo’a agar di turunkan hujan.
Akhirnya hujanpun turun, maka turunnlah ayat selanjutnya (Q.S. ad-dukhan:
15).namun setelah mereka memperoleh kemewahan merekapun kembali kepada keadaan
semula (sesat dan durhaka) maka turunlah ayat ini (Q.S. ad-dukhan :16) dalam
riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu perang
badar.
D. Nuzulul Qur’an
1.
Pengertian
Nuzulul Qur’an
Secara etimologis Nuzulul Qur’an terdapat dua kata yaitu kata
Nuzul dan Al-Qur’an. Pada dasarnya ”Nuzul”itu mempunyai arti turunnya suatu benda dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah. Nuzul juga secara etimologi dapat berarti singgah
atau tiba ditempat tertentu. Makna nuzul dalam pengertian yang disebut terakhir
ini dalam kebiasaan orang arab menurut Abdul Azhim Az-Zarqoni sebagai makna
hakiki. Sehingga, kata singgah, mampir, atau tiba umpamanya sering diungkapkan
oleh orang arab dalam formulasi seperti seorang penguasa singgah atau tiba
disuatu tempat.[27]
Kata Nuzul memiliki beberapa pengertian antara lain:
a.
Menurut Ibn Faris, kata
Nuzul berarti hubuth syay wa wuqu’uh, “turun dan jatuhnya sesuatu.”[28]
b.
Sedang menurut al-Raghib al-Isfahaniy,
kata Nuzul berarti, “meluncur atau turun dari atas ke bawah.”[29]
c.
Menurut al-Zarqoni, kata
Nuzul di ungkapkan dalam penuturanya yang lain untuk pengertian perpindahannya
sesuatu dari atas ke bawah.[30]
d.
Imam Fairuz Zabadi dalam
kamusnya Al-Muhith Al-Hulul Fil Makan. Kata Nuzul itu mampunyai arti : “Bertempat di suatu tempat”. Contohnya antara lain
firman Allah SWT.
وَقُل
رَّبِّ أَنزِلۡنِى مُنزَلاً۬ مُّبَارَكً۬ا وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡمُنزِلِينَ
Artinya: Berdo’alah Ya Tuhanku,
tempatkanlah aku pada tempat yang di berkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang
memberi tempat (Q.S. Al- Mukminum : 29)
e.
Imam Az-Zamakhsyari dalam
tafsirnya Al- Kasysyaf. Kata Nuzul itu berati Al- Ijtima (kumpul).
Di dalam hubungannya
dengan pembahasan Nuzulul Qur’an ini, kata MF. Zenrif di dalam bukunya yang
berjudul sintesis paradigma studi al-Qur’an, ada juga pendapat yang memberikan
alternatif dari problem teologis dengan memberikan pengertian majaziy dari kata
nuzul. Dalam hal ini nuzul diartikan penampakan al-Qur’an ke pentas bumi pada
waktu dan tempat tertentu. Memang menurut pandangan ini al-Qur’an bersifat
Qodim, dalam pengertian sudah ada sebelum adanya tempat dan waktu, akan tetapi
keberadaanya ketika itu belum diketahui atau hadir di pentas bumi. Ketika
al-Qur’an pertama kali diterima Nabi saw, ketika itu pula al-Qur’an menampakan
diri. Oleh karenanya, inna anzalnahu fi lailat al-qodr mempunyai pengertian: “sesungguhnya kami memulai memperkenalkan kehadiran al-Qur’an pada
malam al-Qodr”[31]
2.
Tahap-tahap
turunya al qur’an
a.
Tahap pertama ( At-Tanazzulul
Awwalu ), Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh
Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara
pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22. Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang
mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai
sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah
merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu
mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan
secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua
argumentasi.
Pertama:
Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan
arti berangsur-angsur. Kedua: karena
rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok
untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada
tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak
berangsur-angsur.
b.
Tahap kedua (At-Tanazzulu
Ats-Tsani), Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah
di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh
Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit
terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat
Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat
Ad-Dukhan ayat 1-6 :
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al
Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi
Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari
Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS
Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn
Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan
di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril
menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan
Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara
sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan
sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
c.
Tahap ketiga (At-Tanazzulu
Ats-tsaalistu)
Al-Qur’an turun dari
Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah
wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu
keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga
Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS
Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut: Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir,
mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah
supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya
kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
Menurut As-Suyûthi
berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim,
al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan, bahwa al-Qur’an telah diturunkan
melalui dua tahap[2]:
1)
Dari Lawh al-Mahfûdl ke Bayt al-‘Izzah
(langit dunia yang paling rendah) secara keseluruhan dan turun sekaligus, yang
terjadi pada malam Qadar (Laylah al-Qadar).
2)
Dari Bayt al-‘Izzah ke dalam hati
Rasulullah saw. Secara bertahap selama 23 tahun kenabian Muhammad saw. Adapun
yang pertama kali diturunkan terjadi di bulan Ramadhan, melalui malaikat Jibril
as.[32]
3.
Waktu
turunnya al Qur’an dan periodesasi
Al-Quran
Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT.
dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode
penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah,
selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan
pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di
dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan
akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah
umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau
tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu
persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain
yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur
hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras,
perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa
ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu
kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa
ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan
masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah
filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan
kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab
ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya
Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran
akan lebih jelas.
Para ulama ‘Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran
dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah.
Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan
ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi,
di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun
pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah
kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat
Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok
Al-Quran.
Periode Pertama
Diketahui bahwa Muhammad s.a.w, pada awal turunnya wahyu
pertama (iqra’), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau
baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang
diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk
menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai
yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam
tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk
kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut,
bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu.
Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap
menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan
perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan
untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari
kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau
lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan
menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan
kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat
sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka
(keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian
kerjakan (QS 26:214-216).
Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi
suksesnya dakwah.
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al
Allah, misalnya surah Al-A’la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah
Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah “sebanding dengan sepertiga
Al-Quran”, karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula
persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah,
serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat
jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu
surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang
menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan
agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah
menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu.
Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
a.
Segolongan kecil dari mereka menerima
dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
b.
Sebagian besar dari masyarakat tersebut
menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka
mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau
karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang
digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan
nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami.”
c.
Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui
perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung
selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan
jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem
untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang
mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke
Habsyah dan para akhirnya mereka semua –termasuk Rasulullah saw.– berhijrah ke
Madinah.
Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih
berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai
dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu
(agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan
cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas
terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila
mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: “Aku pertakuti kamu sekalian
dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud” (QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi
mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang
dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan
perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: “Siapakah yang
dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?” Katakanlah,
wahai Muhammad: “Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada
mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu,
wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian
membakar.” Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan
yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui.
Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan:
“Jadilah!”Maka jadilah ia (QS 36:78-82).
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam
membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: “Siapakah
di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan
kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan
Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup
setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit
dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan
dengannya.”
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup
memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi
mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat
mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup
bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama
Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di
mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti:
Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai
kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab,
orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan
cara yang berbeda-beda.
Dengan
satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini,
Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan
yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang
memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih
berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman.
Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta
menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta
memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya
pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya,
seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian,
berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh
karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan.
Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut,
serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya
hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping
itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan
suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari,
seperti:Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah
selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada
penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat
peringatan (QS 24:27).
Semua
ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai
Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil
memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam
bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut).
Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang
korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian
merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang)
selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka
juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami
perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang
beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada
mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain
ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga
ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan
sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab
ialah: Katakanlah (Muhammad): “Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan
Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita
tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa
pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah.” Maka
bila mereka berpaling katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang
Muslim” (QS 3:64).[33]
Pembahasan
Selanjutnya (On Going)
[1] Said
Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 4
[2] Kadar
M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 2
[3] Dr.
Rosihon Anwar, Ulumu Qur’an,(Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011), hal. 16
[4]
https://zulfikarnasution.wordpress.com/2011/11/10/metodologi-studi-al-qur%E2%80%99an-tafsir/
[5] Badruddin al-Zarkasyi, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dr. Usman,
M. Ag, 2009),hal. 313
[6] Ali al-Shabuniy, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : Dr. Usman,
M.Ag, 2009),hal. 318
[7] Muhammad Bakar Isma’il,Ulumul
Qur’an,(Yogyakarta:Dr.Usman,M.Ag,2009,hal 18
[8] Moch.
Chudlori Umar dan Moh. Matsna, Terjemahan At-Tibyan (Pengantar Studi
Al-Qur’an), (Bandung: PT Al-Ma’arif), 1996, hal. 26
[9] Halimuddin, Sejarah
Al-Qur’an (Terjemahan Tarikh Al-Qur’an), (Jakarta: PT Rineka Cipta), 1992,
hal. 52
[10] Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press), 2011, hal. 1
[11] Saad
Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta Utara: PT
RajaGrafindo Persada), 1995, hal. 68
[12] Dalam
ayat ini Allah menghibur Nabi Muhammad s.a.w. dengan menyatakan bahwa
orang-orang musyrikin yang mendustakan Nabi, pada hakekatnya adalah mendustakan
Allah sendiri, karena Nabi itu diutus untuk menyampaikan ayat-ayat Allah Ta’ala
[13] Maksudnya
hendaklah bertasbih ketika kamu bangun dari tidur atau bangun meninggalkan
majlis, atau ketika berdiri hendak shalat.
[14] Maksudnya:
setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang
aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan
nyata.
[15] abahaisya.wordpress.com
[16] Manna’
Khalil al-Qattan, Mudzakir (penerj), Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hal. 178
[17] Manna’
Khalil al-Qattan, Mudzakir (penerj), Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hal. 179
[18] Syekh
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar
Ulumul Quran Praktis, (Jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 73
[19] Syekh
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar
Ulumul Quran Praktis, (Jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 79
[20] Rosihon
Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung; Pustaka Setia, 2013), hal. 39
[21] Manna’ Khlil al-Qattan, Mabahith
Fi ‘Ulumi al-Qur’an, Alih Bahasa oleh Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an (Bogor: Litera Antar Nusa. Halim Jaya, 2007), 106
[22] Abid Rohman. M. Fil. I, Studi
al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press), 166
[23] Rosihon Anwar, Ulumul
Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 61
[24]
http://blogushuluddin.blogspot.co.id
[25] sofyansauri.web.id
[26] Prof, DR. Muhammad Ali
Ash-shaabuuniy, At-Tibyaan Fii Uluumil Qur’an, Alih Bahasa oleh
Drs, H. Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), hal. 52
[27] Muhammad
abd azhim az-zarqoni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumil
Quran, hal. 41
[28] Abi
al-Hussein Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya, Maqoyis al-Lughoh (Beirut: Dar
al-‘Ilm Li al-Malayyin, t.t.), hlm.342
[29] Al-Raghib
sal-Isfahaniy, al-Mufradat fi aAlfadz Alqur’an
al-Karim (Beirut: Darul-Fikr, 1982), hlm.824
[30] Muhammad
‘Abd al-‘Azrqoni, Mahahil Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, jilid I (Beirut:
Darul-Fikr, 1988), hlm. 41
[32] alquranexplorer.blogspot.co.id
[33] tafsiralquran2.wordpress.com
0 Response to "FULL PEMBAHASAN MATA KULIAH STUDI ALQUR’AN"
Post a Comment