FULL PEMBAHASAN MATA KULIAH STUDI ALQUR’AN

PEMBAHASAN MATA KULIAH STUDI ALQUR’AN

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarahkan kehidupannya. Secara garis besar al-Qur’an mengandung ajaran tentang aqidah, syariah, dan akhlak. Untuk dapat mengenal, memahami, dan menafsirkan  al-Qur’an tidak hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab, melainkan dibutuhkan berbagai macam ilmu guna untuk mengungkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Maka disinilah, studi qur’an sebagai pisau bedah untuk membedah isi al Qur’an yang selalu dibaca dan ditafsirkan para pelaku disiplin ilmu menurut tingkat budaya dan wewenang doktrinal. Dengan Ulumul Qur’an bisa diketahui rambu-rambu bagi para pengkaji dan penyelidik al Quran berkenaan dengan status linguistik, histories, antropologis, teologis, filosofis dan sebagainya.
A.     STUDI QUR’AN SEJARAH DAN PERKEMBANGANYA
Al-Qur’an  adalah sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuktentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum  min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), diperlukan pemahamanterhadap kandungan Al-Qur’andan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafalmaupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosakata dan sarat makna. Kendati Al-Qur’an berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Qur’an secara rinci. Bahkan, para sahabat mengalami kesulitan untuk memahami kandungan Al-Qur’an, kalau hanya mendengarkan dari Rasulullah SAW, karena untuk memahami Al-Qur’an tidak cukup dengan kemampuan dan menguasai bahasa Arab saja, tetapi lebih dari itu harus menguasai ilmu penunjang (ilmu alat).
Hasbi Ash-Shiddieqi menyatakan untuk dapat memahami Al-Qur’an dengan sempurna, bahkan untuk menerjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut ‘ulum Al-Qur’an.[1]
Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa ‘ulum Al-Qur’an atau kita sebut juga “Study Al-Qur’an” merupakan ilmu yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang untuk bisa mengkaji lebih dalam lagi mengenai ayat-ayat Al-Qur’an.
1.      Pengertian, objek, metode dan orientasi pijakan Studi Qur’an
a.      Pengertian
Secara etimologi, ‘ulum Al-Qur’an terdiri dua kata, yaitu ‘ulum dan Al-Qur’an. ‘Ulum adalah jamak dariAl-‘alim yang berarti ilmu, maka ‘ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al-Qur’an, secara harfiah, berasal dari kata qara’a yang berarti membaca atau mengumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama; membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Maka perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti yang terdapat di awal Surah Al-‘Alaq, bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam raya atau dimana saja, dengan tujuan agar si pembaca melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata ‘ulum Al-Qur’andapat diartikan kepada ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an.
Secara terminologi, Al-Qur’an berarti “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita secara mutawatir. Dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang yangmembacanya”.
Jadi, ‘ulumul Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash-Shabuni mendefinisikan ‘ulumul Qur’an itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab an-nuzul, Al-makki wa Al-madani, pengetahuan mengenai an-nasikh dan Al-mansukh, muhkam dan mutasyabihdan lain sebagainya segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Menurut Az-Zarqani, ‘ulumul Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nasikh dan mansukh, menolak syubhat darinya, dan lain-lain. Jadi, apa saja ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an adalah termasuk dalam perbincangan ‘ulumul Qur’an.[2]
b.      Objek Studi Qur’an
Diantara objek-objek kajian ‘Ulum al-Qur’an yang masyhur adalah sebagi berikut: [3]
1)      Ilmu Adab Tilawat al-Qur’an, yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan aturan-aturan dalam pembacaan al-Qur’an.
2)      Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan cara-cara membaca al-Qur’an, tempat memulai, atau tempat berhenti (Waqaf).
3)      Ilmu Asbab An-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turun ayat.
4)      Ilmu I’rab al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan harokat al-Qur’an dan kedudukan sebuah kata dalam kalimat.
5)      Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yangmansukh oleh sebagian Mufassir.
6)      Ilmu I’jaz Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan al-Qur’an sehingga dipandang sebagai suatu mukjizat dan dapat melemahkan penentang-penentangnya.
7)      Ilmu Aqsam Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an.
8)      Ilmu Jadal Al-Qur’an, yaitu ilmu yang menerangkan macam-macam perdebatan yang telah dihadapkan Al-Qur’an kepada segenap Qaum Musyrikin dan kelompok lainnya.
Sesungguhnya masih banyak lagi objek-objek pembahasan ‘Ulum Al-Qur’an yang tidak kami cantumkan dalam makalah ini, karena objek kajian di atas banyak yang telah mewakili objek kajian yang lain.
c.       Metode Studi Qur’an
Quraish Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan metode penalaran.
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.
1)      Metode Tafsir Tahlily
Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsiran memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat.
Metode Tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlily, namun dengan corak yang berbeda.
2)      Metode Tafsir Ijmaly
Metode Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
3)      Metode Tafsir Muqaran
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para mufassir.
Objek kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu:
a)      Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain
b)      Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadits
c)      Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir yang lain.
4)      Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir Maudhu’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
Tafsir Maudhu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu:
a)      Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
b)      Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu’iy.
5)      Pendekatan dalam Studi / Penelitian Tafsir
Dalam rangka menjelaskan isi pesan kitab suci, tafsir menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan disiplin ilmu. Imam suprayayogo mengemukakan ada beberapa pendekatan dalam penelitian tafsir sebagai berikut yaitu:
a)      Pendekatan sastra bahasa.
b)      Pendekatan filosofis. Pendekatan teologis. Pendekatan ilmiah. Pendekatan fiqih atau hukum. Pendekatan tasawuf. Pendekatan sosiologi dan . pendekatan kultural.
Pendekatan ini digunakan agar penafsiran yang dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman dalam kebudayaannya dari ajaran agama atau Al-Qur’an.
Adapun metode penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup populer, yaitu tahlily, ijmaly, muqaron, dan maudhu’i.
Abuddin nata juga membahas tentang bagaimana memahami Al-Qur’an atau dengan kata lain mengenai cara-cara memahami al-qur’an. Dia mengemukakan dua bahasan yaitu:
a)      Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam ibadah dan muamalah. Konsep ma’qul dan ghairu ma’qul dalam ibadah dan muammalah. Dari segi penerapan hukum, sebagian besar kandungan nas Al-Qur’an dianggap zanni dan hanya sebagian kecil yang masih diterima sebagai qath’i.
b)      Pemahaman kontekstual.
Yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual adalah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan aspek sejarah ayat itu, sehingga nampak gagasan atau maksud yang sesungguhnya dari setiap yang digagaskan dalam Al-Qur’an.[4]
d.      Orientasi Pijakan Studi Qur’an
Allah tidak menjelaskan secara rinci tentang isi dalam al-Qur’an sehingga banyak lafadz al-Qur’an yang membutuhkan usaha penafsirannya, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Untuk itu diperlukan metode agar supaya kandungan atau isi dari al-Qur’an dapat dipahami dengan lebih tepat apa yang dimaksudkan, metode tersebut yaitu tafsir dan ta’wil al-Qur’an.
Menurut Badruddin al-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu yang dengannya dapat dipahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan dengannya dapat dijelaskan makna-maknanya serta dikeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.[5] Sedangakan yang dimaksud ta’wil menurut Ali al-Shabuniy yaitu memandang kuat sebagian dari makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari sekian banyak kemungkinan makna yang ada.[6]
Adapun perbedaan antara tafsir dan ta’wil yaitu :
No
Tafsir
No
Ta’wil
1
Pemakainnya banyak terdapat pada lafal-lafal dan mufradat
1
Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
2
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadist-hadist shahih
2
Kebanyakan diistimbathkan oleh ulama
3
Banyak berhubungan dengan riwayat
3
Lebih banyak berhubungan dengan nalar
4
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang)
4
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyibihat (samar, tidak jelas)
5
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki
5
Menerangkan hakikat yang dikehendaki

2.      Ruang lingkup pembahasan dan cabang-cabangnya
Ulum al-Qur'an adalah mencakup semua aspek pembahasan dan kajian yang ada hubungannya dengan al-Qur'an. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa 'ulum al-Qur'an cabang-cabang dan cakupannya luas. Sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan, bahwa tidak ada satu pun dari sekian banyak ilmu dan keahlian manusia yang tidak terkait dengan al-Qur'an.
Di antara ruang lingkup pembahasan ilmu-ilmu al-Qur'an yang sekian banyak itu dapat dikemukakan beberapa di antaranya yaitu: 'Ilmu Mawathin al-Nuzul, 'Ilmu Tawarikh al-Nuzul, 'Ilmu Asbab al-Nuzul, 'Ilmu Qira’at al-Qur'an, 'Ilmu Tajwid al-Qur'an, ‘Ilmu al- Wujuh wa al-Nazha'ir, 'Ilmu al-Muhkam wa al-Mutasyabih/Ilmu Jidal al-Qur'an, 'Ilmu Musykilat al-Qur'an, 'Ilmu I’rab al-Qur'an, 'Ilmu Bada’i' al-Qur'an, 'Ilmu Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, 'Ilmu I'jaz al- Qur'an, 'Ilmu Amtsal al-Qur'an, 'Ilmu Acjsam al-Qur’an, 'Ilmu Tafsir al-Qur’an, 'Ilmu Adab Titilawat al-Qur'an, dan lain-lain. Bahkan bila diperhatikan lebih jauh, ilmu-ilmu tersebut masih dapat dipilah- pilah lagi menjadi beberapa macam disiplin ilmu yang masing- masing mempunyai obyek kajian tersendiri.
Karena begitu luasnya runag lingkup kajian ilmu-ilmu al- Qur'an itu, sehingga Imam Badruddin al-Zarkasyi menandaskan: 
"bahwa ilmu-ilmu yang merupakan cabang dari 'ulum al-Qur'an itu tidak terhitung banyaknya ,..."  Apa yang dikemukakan oleh al Zarkasyi tersebut tampak wajar, sebab setiap orang berdasarkan kemampuan dan keahliannya sebenarnya dapat membahas al- Qur'an dari berbagai aspeknya. Misalnya, seseorang dapat membahas al-Qur'an dari semua cabang ilmu agama, dan dapat pula dilakukan melalui cabang ilmu agama, di samping juga dapat dilakukan melalui cabang ilmu bahasa, seperti 'Ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma'ani al-Mufradat, dan lain sebagainya. Selain itu, pembahasan atau kajian al-Qur'an pun dapat dilakukan melalui pendekatan ilmu pengetahuan umum, antara lain: Filsafat, Ilmu Jiwa, Astronomi, geologi, Biologi dan lain-lain.
Dalam Ulum Al-Qur’an terdapat banyak cabang ilmu yang menjadi kajian, diantaranya adalah :
·         Ilmu Asbab Al-Nuzul
·         Ilmu Al-makkiyah wa Al-Madaniyah
·         Ilmu Al-Qira’at
·         Ilmu Al-Munasabat
·         Ilmu An-Nasikh wa Al-Mansukh
·         Ilmu Rasm Al-Qur’an
·         Ilmu Al-muhkam wa Al-Mutasyabih
·         Ilmu Aqsam Al-Qur’an

3.      Studi Qur’an pada masa nabi, sahabat dan tabi’in
Ilmu-ilmu Al-Qur’an di masa Rasulullah, Abu Bakar As-siddiq ra. dan Umar bin Khattab ra. disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah, dari mulut ke mulut. Pada masa pemerintah Utsman bin Affan ra, mulailah bangsa Arab bekerja sama dengan bangsa Ajam. Utsman bin Affan ra menyuruh para sahabat dan para umat supaya berpegang kepada mushaf Al-lmam dan dari mushaf itu diperbanyak yang dikirim ke kota-kota besar serta membakar mushaf-mushaf yang lain yang tidak bersumber dari mushaf Al-lmam itu. Tindakan Utsman ini merupakan awal berkembangnya ilmu yang kemudian dinamakan ilmu Rasm al-Qur’an atau ilmu Rasm al-Utsmany.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ra, juga telah masyhur dalam sejarah Islam. Dia menyuruh Abu Al-Aswad ad-Dualy (wafat tahun 69 H.), untuk membuat beberapa kaidah untuk memelihara keselamatan bahasa Arab. Maka dengan demikian, kita dapat menetapkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah orang pertama yang dianggap meletakkan dasar-dasar ilmu al-Nahwu dan ilmu I’rab al-Qur’an, yaitu yang sangat vital untuk dimiliki oleh setiap mufassir yang ingin menafsirkan Al-Qur’an.[7]
Tokoh-tokoh ilmu yang merintis jalan berkembangnya ilmu-ilmu Al-Qur’an ialah:
Dari golongan sahabat, diantaranya : Khulafa’ Rasyidin (khalifah empat), Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid ibnTsabit, Ubay ibn Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ary, Abdullah ibn Zubair.
Setelah masa Sahabat berlalu dengan meninggalkan karya-karya besar yang tidak ternilaii harganya maka golongan Tabi’in sebagai pewaris terdepan dari  karya-karya tersebut terus melanjutkan dan mengembangkan serta menyebarkan semua hasil karya maupun warisan yang diperolehnya dari para pendahulunya.Para Ulama dari golongan Tabi’in, disamping tetap berpegang kepada warisan ilmu dan atau pendapat para sahabat yang menjadi guru mereka, juga bersungguh-sungguh untuk melakukan ijtihad dalam rangka menyempurnakan karya-karyanya, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari golongan tabi’in diantaranya : Mujahid, Atha’ ibn Yasar, Ikrimah, Qatadah, AlHasan al-Bishry, Said ibnjubair, Zaid ibn Aslam
4.      studi Qur’an pada masa tabi’ al tabi’in sampai masa modern
Dari golongan tabi’it-tabi’in ialah Malik ibn Anas. Beliau mengambil ilmu ini dari Zaid ibn Aslam. Mereka adalah tokoh-tokoh yang meletakkan dasar ilmu-ilmu yang kita namakan: Ilmu Tafsir, Ilmu Asbab an-Nuzul, Ilmu Al-Makky wa al-Madany, Ilmu An-Nasikh wa al-Mansukh, Ummu al- ‘Ulum al-Qur’aniyah.
Di dalam masa pentadwinan (kodifikasi) ilmu, tafsirlah yang mendapat prioritas pertama, karena dia adalah Ummu al-'Ulum al-Qur’aniyah (induk ilmu-ilmu Al-Qur’an).
Di antara tokoh-tokoh ilmu yang memperhatikan ilmu Tafsir dan menyusunnya ialah: Syubah ibn Al-Hajjaj (wafat tahun 160 H), Sufyan ibn Uyainah al-Kufy (wafat tahun 198 H), Waki’ ibn Al-Jarrah al-Kufy (wafat tahun 197 H).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Ketiga Hijriyah
Ilmu-ilmu Al-Qur’an yang selain dari ilmu Tafsir, disusun dalam abad ke-3 H. Dalam abad ketiga lahir ilmu Asbab an-Nuzul, ilmu Nasikh wa al-Mansukh, ilmu Manuzzila bi al-Makkah warna Nuzzila bi al-Madinah.
Di antara yang menyusun ilmu-ilmu Al-Qur’an dalam abad ketiga Hijriyah ialah: Ali ibn Al-Madiny (wafat tahun 234 H), Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam (wafat tahun 224 H), Muhammad ibn Ayyub adh-Dhirris (wafat tahun 294 H).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Keempat Hijriyah
Di dalam abad ini lahir ilmu Gharib al-Qur’an dan beberapa kitab dalam ‘Ulum al-Qur’an. Di antara tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an dalam abad keempat Hijriyah ialah : Abu Bakar Muhammad ibn Al-Qasim al-Anbary (wafat tahun 328 H), Abu Hasan al-As/ary (wafat tahun 324 H),Abu Bakar as-Sijistany (wafat tahun 330 H).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Kelima Hijriyah
Di dalam abad kelima Hijriyah, disusun lagi beberapa kitab di dalam ‘Ulum al-Qira’at dan lahir pula beberapa tokoh. Di antaranya ialah: Abu Amar ad-Dany (wafat tahun 444 H), Ali ibn Ibrahim ibn Said al-Hufy (wafat tahun 430 H).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an yang Tumbuh dalam Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
Di antara tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an dalam abad keenam ialah: Abd al-Qasim Abd ar-Rahman yang terkenal dengan nama As-Suhaily (wafat tahun 582 H), Ibnu Al-Jauzy (wafat tahun 597 H).
Di antara tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an dalam abad ketujuh ialah: Alamuddin as-Sakhawy (wafat tahun 643 H), Ibnu Abd as-Salam(wafat tahun 660 H), Abu Syamah Abd ar-Rahman ibn Ismail al-Maqdisy (wafat tahun 665 H).
Kemudian tumbuh beberapa ilmu baru mengenai Al-Qur’an, di antaranya ialah: 
a.       Ilmu Badai’ al-Qur’an, membahas tentang aneka macam badi’ yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara para penyusun ilmu ini ialah Ibnu Abil Ishba'.
b.      Ilmu Hujaj al-Qur’an, dinamakan juga dengan ilmu Jadal al- Qur’an, yang membahas hujjah-hujjah dan dalil-dalil yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menetapkan sesuatu. Di antara ulama yang menyusun ilmu ini ialah, Najmuddin ath-Thufy (wafat tahun 716 H.).
c.       Aqsam al-Qur’an, membahas sumpah-sumpah Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara yang menyusun kitab ini ialah Ibnu Al-Qayyim (wafat tahun 752 H.).
Jalan yang mereka tempuh dalam menyusun kitab ini ialah meneliti satu per satu juz’iyah-juz’iyah Al-Qur’an. Oleh karena itu kita meringkas ilmu-ilmu ini dalam suatu ilmu yang lengkap yang kita namakan 'Ulum al-Qur’an.
Ilmu-ilmu Al-Qur’an Abad Kedelapan dan Kesembilan Hijriyah
Di antara para ulama yang menyusun kitab dalam ilmu-ilmu Al- Qur’an dalam abad kedelapan ialah Badruddin az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H).
Dalam abad kesembilan Hijriyah lahir banyak karya dalam bidang ini. Di antara yang menulis kitab dalam bidang ini ialah: Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiyajy (wafat tahun 873 H), Jalaluddin al-Bulqiny (wafat tahun 824 H), As-Sayuthy (wafat tahun 911 H).
Ilmu-ilmu Al-Qur’an Abad Keempat Belas Hijriyah
Dalam abad keempat belas ini, banyak ulama yang menulis kitab tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarahnya dan ilmu-ilmunya. Di antara ulama yang menulis dalam bidang ini ialah: Asy-Syekh Thahir al-Jazairy, Jamaluddin al-Qasimy (wafat tahun 1332 H), Muhammad Abd al-Azhim az-Zarqany.

B.    Sejarah Turun dan Penulisan Al-qur’an
Permulaan turun al-Qur’anul Karim adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahiran Nabi SAW, yaitu pada saat beliau sedang bertahannuts (beribadah) di Gua Hira. Pada saat itu turun wahyu beberapa ayat al-Qur’anul Karim yang dibawa oleh Jibril al-Amin. Jibril mendekap nabi lalu melepaskannya, hal ini dilakukan sebanyak tiga kali, sambil mengatakan “iqra” pada setiap kalinya, dan Rasul SAW menjawabnya “ma ana bi qaari”. Pada dekapan yang ketiga kalinya Jibril membacakan:[8]
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusiadari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)  
Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Hikmah Al-Qur’an itu turunnya itu berangsur-angsur ialah supaya dapat dihafal oleh para sahabat pada waktu itu. Maksud pertama ialah menukar akidah kepada akidah. Keluar dari penyembahan terhadap berhala kepada yang benar, agama yang turun dari langit. Dari angan-angan dan sangkaan-sangkaan belaka kepada suatu kepastian. Dan dari tidak beriman kepada beriman.[9] Sedangkan hikmah lain dibalik turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah:
  1. Untuk menguatkan hati Nabi SAW. Firman-Nya:
“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”. (QS. Al-Furqaan: 32) 
  1. Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Al-Qur’an karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur.
  2. Supaya mudah dihafal dan dipahami.
  3. Supaya orang-orang mukmin Antusias dalam menerima Al-Qur’an dan giat mengamalkannya.
  4. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum. (makalah)
1.      Pengertian Al-Qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja (قرأيقرأقرأةقرأنا) yang artinya membaca.[10] Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni: 
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(QS. Al-Qiyamah: 17-18) 
Pengertian Al-Qur’an Menurut Istilah (Terminologi)
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: 
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”. 
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: 
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an. 
Nama-nama lain Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
§  Al-Kitab: QS. (2:2), QS. (44:2)[11]
§  Al-Furqan (pembeda benar salah): QS. (25:1)
§  Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS. (15:9)
§  Al-Mau’idhah (pelajaran/nasihat): QS. (10:57)
§  Al-Hukm (peraturan/hukum): QS. (13:37)
§  Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS. (17:39)
§  Asy-Syifa’ (obat/penyembuh): QS. (10:57), QS. (17:82)
§  Al-Huda (petunjuk): QS. (72:13), QS. (9:33)
§  At-Tanzil (yang diturunkan): QS. (26:192)
§  Ar-Rahmat (karunia): QS. (27:77)
§  Ar-Ruh (ruh): QS. (42:52)
§  Al-Bayan (penerang): QS. (3:138)
§  Al-Kalam (ucapan/firman): QS. (9:6)
§  Al-Busyra (kabar gembira): QS. (16:102)
§  An-Nur (cahaya): QS. (4:174)
§  Al-Basha’ir (pedoman): QS. (45:20)
§  Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS. (14:52)
§  Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS. (28:51)
2.      Hikmah diwahyukan Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama lebih dari 20 tahun. Mengapa Al-Qur’an tidak turun sekaligus, sebagaimana yang ditanyakan oleh orang-orang Quraisy, yang dimuat dalam Al-Qur’an,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” (Q.S Al-Furqan : 32)
Ada beberapa hikmah mengapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, diantaranya :
Menguatkan Hati Rasulullah SAW
Rasulullah SAW berdakwah menghadapi manusia yang enggan menerima dakwah. Kaumnya menentangnya dengan keras hati dan kasar. Mereka juga melawan Rasul SAW dengan keburukan dan siksaan.
Al-Qur’an turun untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW dan mengasah tekad beliau. Menguatkan langkah beliau dalam dakwah agar tidak memperhatikan kezhaliman-kezhaliman kaumnya, karena cahaya kemenangan akan segera melenyapkannya.
Allah SWT menjelaskan keadaan para nabi-Nya yang didustakan dan disakiti oleh kaumnya namun mereka tetap bersabar hingga datang pertolongan Allah SWT. Karena kaum para nabi tersebut mendustakan hanya karena sombong dan takabbur (bukan karena dakwah yang dibawa salah).
Rasulullah SAW kemudian menemukan hal itu adalah Sunah Ilahiyah melalui kisah-kisah sejarah para nabi yang menghibur hati karena perlawanan dan penentangan yang beliau terima.
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.[12] Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka” (Q.S Al-An’am 33-34)
Juga ayat,
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ . أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Q.S Adz-Dzariat : 52-53)
Dan juga,
فَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ جَاءُوا بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”(Q.S Ali Imran : 184)
Al-Qur’an memerintahkan beliau untuk bersabar sebagaimana rasul-rasul sebelum beliau,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar” (Q.S Al-Ahqaf : 35)
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri[13].” (Q.S Ath-Thuur: 48).
Rasul SAW pun menjadi tenang dengan apa yang menimpa beliau karena ada jaminan Allah SWT mengenai urusan para pendusta tersebut.
وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا, وَذَرْنِي وَالْمُكَذِّبِينَ أُولِي النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيلًا
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar” (Q.S Al-Muzzammil : 10-11)
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu” (Q.S Huud : 120)
Setiap kali bertambah kuat rasa sakit Rasulullah SAW karena kedustaan kaumnya, dan kesedihan karena mereka menyakiti beliau maka Al-Qur’an turun untuk memberi dukungan dan hiburan bagi beliau, mengancam para pendusta tersebut karena Allah SWT mengetahui keadaan-keadaan mereka, dan akan membalas mereka.
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
“Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan” (Q.S Yasin : 76)
Sesungguhnya Allah SWT memberi kabar gembira bahwa Allah SWT akan menjaga beliau dan memberi kemenangan dalam dakwah Islam,
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)” (Q.S Ghafir/Al-Mu’min : 51)
كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.S Al-Mujadalah : 21)
Demikianlah, wahyu yang turun berangsur-angsur lebih menguatkan hati juga lebih kuat pertolongannya bagi yang menerima. Demikian pula hal ini menyebabkan seringnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah SAW untuk memperbarui tanggung jawab dari risalah yang beliau emban.
Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus maka nasehatnya akan terasa namun berikutnya akan terlupakan dan dilupakan. Jika diturunkan kedua kali maka akan bertambah pengaruhnya. Hikmah inilah yang kita rasakan dalam kisah ingkarnya Umar radhiyallahu ‘anhu akan wafatnya Rasul SAW. Ketika beliau diberitakan wafat, Umar radhiyallahu ‘anhu mengingkarinya, dan mengancam siapa saja yang mengatakan Rasul SAW telah meninggal. Hingga datang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau membacakan ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Rasul SAW akan meninggan, seakan-akan ayat tersebut diturunkan hari itu.
Inilah hikmah yang agung yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat.
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
“Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya” (Q.S Al-Furqan :32)
Sebagai Jawaban Atas Pertanyaan Umat, Tantangan Kaum Musyrik dan Mukjizat Kenabian Rasulullah SAW
Selain melakukan penentangan yang luar biasa, orang-orang musyrik juga bertanya untuk menguji Rasulullah SAW tentang kenabian beliau, mereka mengajukan pada Rasul setiap apa pun yang aneh dari pikiran-pikiran kacau mereka, karena itu banyak sekali ayat Al-Qur’an yang hadir dalam bentuk (shigat) pertanyaan, seperti mengenai hari kiamat :
يَسْأَلونَكَ عَنِ السَّاعَةِ
“Mereka bertanya padamu mengenai hari kiamat” (Q.S Al-A’raf : 187)
Atau bertanya mengenai roh,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S Al-Israa : 85)
Bahkan mereka minta dipercepat adzab,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan” (Q.S Al-Hajj : 47)
Maka turun Al-Qur’an untuk menjelaskan kebenaran sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya[14]]” (Q.S Al-Furqan : 33)
Allah menurunkan Al-Qur’an berangsur-angsur agar memberi hujjah bagi Rasulullah SAW karena syubhat yang datang kepada beliau tidak datang dalam satu waktu, tapi dalam waktu yang berbeda-beda. Kemudian ketika mereka takjub dengan hujjah-hujjah Al-Qur’an, Allah SWT menantang mereka untuk mendatangkan yang semisal dengan Al-Qur’an. Demikian hikmah ini apa yang disebutkan diriwayat hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengenai turunnya Al-Qur’an’
فكان المشركون إذا أحدثوا شيئًا أحدث الله لهم جوابًا
“Jika orang-orang musyrik menceritakan sesuatu, Allah SWT menceritakan bagi mereka sebagai jawaban” (Hadits Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)
Sebagai Cermin Bagi Orang-Orang Mukmin Atas Kesalahan Mereka, Sehingga Mereka Tidak Mengulanginya
Sebagai seorang manusia, para shahabat Rasul juga orang yang tidak luput dari kesalahan. Al-Qur’an menyebutkan kesalahan mereka agar menjadi nasehat dan pengingat bagi mereka sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama.
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Q.S Ali Imran : 165)
Contoh lainnya ketika ada salah seorang mukmin yang memberitahukan pada orang-orang musyrik tentang rencana yang akan dilakukan oleh Rasulullah SAW pada waktu Fathu Makkah, maka turunlah ayat :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang” (Q.S Al-Mumtahanah : 1)
Agar Mudah Menghafal dan Memahaminya
Al-Qur’an turun pada umat yang ummi yang tidak mengenal membaca dan menulis, kekuatan mereka ada pada hafalan,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Q.S Al-Jumuah : 2)
Karena itu tidaklah mudahlah bagi umat yang ummi untuk menghafal Al-Qur’an yang turun sekaligus, apalagi jika ingin memahami makna-maknanya, mentadabbur ayat-ayatnya, maka ketika Al-Qur’an turun bertahap, itu adalah pertolongan yang sangat baik untuk menghafalnya dan memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun ayat maka para shahabat menghafalnya, mentadabbur makna-maknanya, memahami hukum-hukumnya,
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian” (Q.S Al-Israa : 106)
Manhaj pengajaran ini senantiasa berlangsung hingga masa Tabi’in. Abu Nadhrah rahimahullah berkata,
“كان أبو سعيد الخدري يعلمنا القرآن خمس آيات بالغداة، وخمس آيات بالعَشي، ويخبر أن جبريل نزل بالقرآن خمس آيات خمس آيات”
“Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kami 5 ayat Al-Qur’an pada waktu pagi, 5 ayat pada waktu malam, beliau mengatakan bahwa Jibril ‘alayhissalam turun membawa 5 ayat 5 ayat (HR Ibnu ‘Asakir).
وعن خالد بن دينار قال: “قال لنا أبو العالية: تعلموا القرآن خمس آيات خمس آيات، فإن النبي -صلى الله عليه وسلم- كان يأخذه من جبريل خمسًا خمسًا
“Dari Khalid bin Dinar dia berkata “Abu ‘Aliyah berkata pada kami, pelajarilah Al-Qur’an 5 ayat 5 ayat karena Nabi SAW mempelajarinya dari Jibril ‘alayhissalam 5 ayat 5 ayat” (HR Al-Bayhaqi)
وعن عمر قال: “تعلموا القرآن خمس آيات خمس آيات، فإن جبريل كان ينزل بالقرآن على النبي -صلى الله عليه وسلم- خمسًا خمسًا”
“Dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Pelajarilah Al-Qur’an 5 ayat 5 ayat, karena Jibril ‘alayhissalam turun dengan Al-Qur’an kepada Nabi SAW 5 ayat 5 ayat” (HR Al-Bayhaqi)
Sebagai Bentuk Dalam Tahapan Mendidik Umat Dan Pensyariatan Hukum
Masyarakat Quraisy yang sudah lama menjalankan kehidupan yang rusak, karena mengikuti ajaran nenek moyangnya dan akan langsung memberikan perlawanan dan penentangan terhadap setiap ajaran baru yang datang. Mereka akan sulit jika harus meninggalkan ajaran tersebut sekaligus. Pun akan merasa sangat berat menjalankan aturan-aturan baru yang bertentangan dengan kebiasaan mereka. Karenanya Al-Qur’an datang memberi arahan-arahan pada mereka, memberi mereka obat yang ampuh dari kerusakan dan keburukan mereka secara bertahap, setiap kali terjadi satu kejadian maka Al-Qur’an turun membawa hukum, ditampakkan bagi mereka cahaya kebaikan, dan mengarahkan mereka kepada petunjuk, serta meletakkan bagi mereka pondasi kemasyarakatan yang sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah SWT.
Al-Qur’an Al-Karim memulainya dengan meletakkan pokok-pokok keimanan kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan, hisab dihari kiamat, balasan di akhirat berupa surga dan neraka. Al-Qur’an menjelaskan semua itu dengan hujjah dan argumen-argumen hingga mencabut dari jiwa-jiwa kaum musyrikin keyakinan terhadap berhala dan menanamkan aqidah Islam dalam dada mereka. Perkara ini perkara yang sangat penting bagi kaum muslimin.
Islam memerintahkan kepada akhlak yang mulia yang mensucikan jiwa, meluruskan akhlak yang keliru, melarang dari perbuatan keji dan mungkar, mencabut akar-akar kerusakan dan keburukan, menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram serta menambatkan pondasi-pondasi agama dalam makanan, minuman, harta dan kehormatan manusia.
Kemudian secara bertahap melakukan pensyariatan kepada umat sebagai obat bagi penyakit-penyakit masyarakat yang telah berakar dalam jiwa-jiwa. Pensyariatan tersebut berupa kewajiban-kewajiban agama yang menjadikan hati mereka diisi dengan keimanan, ikhlas karena Allah SWT, menyembah hanya kepada-Nya semata dan tidak mensekutukan-Nya.
Hikmah pensyariatan ini bisa dilihat dari susunan ayat Makkiyah dan Madaniyah. Di Mekkah turunnya ayat-ayat mengenai pokok-pokok keimanan dan tauhid. Kemudian disyariatkan shalat saat Rasulullah isra mi’raj. Disyariatkan juga pondasi zakat sebagai perbandingan dari riba.
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ, وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُوا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Q.S Ar-Ruum : 38-39)
Kemudian menjelaskan apa yang halal dan apa yang haram,
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شيئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ, وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (Q.S Al-An’am : 151-152)
Pondasi muamalah-muamalah ayat Madaniyah turunnya di Mekah, akan tetapi perincian hukum-hukumnya turun di Madinah misalnya pada pengharaman riba. Asas-asas hubungan keluarga turun di Mekah, sedang penjelasan hak-hak setiap pasangan, kewajiban-kewajiban kehidupan berumah tangga, apa yang menguatkan hubungan tersebut sehingga hubungannya langgeng atau bercerai dengan talaq, atau berakhir karena kematian, juga mengenai waris, penjelasan-penjelasan hal ini datang di Madinah. Zina diharamkan di Mekah,
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Jangan kalian mendekati zina, sesunguhnya ia adalah perbuatan keji dn seburuk-buruk jalan” (Q.S Al-Israa : 32)
Namun hukuman bagi pelakunya turun di Madinah. Pokok haramnya menumpahkan darah manusia turun di Mekah,
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“Jangan membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan (jalan) yang benar)” (Q.S Al-Isra : 33)
Namun perincian hukumannya dalam hal menyerang jiwa turun di Madinah.
Contoh lebih rinci mengenai proses pensyariatan secara bertahap adalah pengharaman riba. Awalnya Allah SWT menurunkan ayat,
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (Q.S Ar-Ruum : 39)
Kemudian proses pengharaman berlanjut ke tahapan berikutnya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S Ali Imran : 130)
Setelah itu baru Allah SWT menegaskan keharaman riba hingga akhirnya para sahabat meninggalkan riba dengan penuh keridhaan,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al-Baqarah 275).
Dalam kasus pengharaman khamar, proses pensyariatan secara bertahap menjadi solusi mujarab atas tradisi akut yang sangat sulit ditinggalkan, mula-mula Allah SWT menurunkan ayat,
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (Q.S An Nahl : 67)
Ayat tersebut mengungkapkan pujian atas nikmat-nikmat Allah SWT. Yang dimaksud dengan memabukkan adalah apa yang memabukkan dari jenis khamar, sedangkan yang dimaksud rezki adalah apa yang dimakan dari dua jenis pohon ini seperti kurma (tamar) dan kismis (zabiib), keduanya adalah rezeki yang baik disebutkan dengan pujian dan sanjungan tanpa sifat memabukkan.
Kemudian turun ayat,
(يَسْأَلونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Q.S Al-Baqarah 219)
Ayat ini mengindikasikan antara manfa’at khamar, dengan memperoleh kegembiraan dan kesenangan saat meminumnya atau keuntungan jika menjual, dan bahayanya yaitu bahaya yang timbul di badan, kerusakan di akal, ataupun membuang-buang uang, bahkan penyebab timbulnya kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah SWT. Ayat tersebut menguatkan kemudharatannya daripada manfaatnya.
Kemudian turun ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (Q.S An Nisa : 43)
Ayat ini melarang untuk meminum khamar di waktu-waktu mendekati shalat dalam keadaan mabuk hingga hilang pengaruh mabuk dan mereka mengetahui apa yang dikatakan/diucapkan ketika shalat.
Kemudian turun ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S Al-Maidah 90)
Ini adalah ayat yang tegas mengharamkan khamar di setiap waktu.
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S Al-Maidah :91)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.S Al-Maidah :92)
Ayat terakhir ini menjadi pelarangan daripada khamar secara tegas di seluruh waktu, setelah jiwa terlatih dari pelarangan sebagian waktu. Demikianlah tradisi itu akhirnya bisa dihilangkan oleh Islam dengan tuntas.
Hikmah pensyariatan secara bertahap ini juga apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
ما رُوِي عن عائشة -رضي الله عنها- قالت: إنما نزل أول ما نزل منه سورة من المُفصَّل فيها ذكر الجنة والنار، حتى إذا ثاب الناس إلى الإسلام نزل الحلال والحرام، ولو نزل أول شيء: “لا تشربوا الخمر” لقالوا: لا ندع الخمر أبدًا، ولو نزل: “لا تزنوا” لقالوا: “لا ندع الزنا أبدًا
“Sesungguhnya diturunkan yang pertama kali surat yang merincikan didalamnya penyebutan surga dan neraka, hingga banyak manusia masuk ke dalam Islam turun ayat mengenai halal dan haram. Jikalau turun ayat (yang melarang secara lansung) “Janganlah kalian meminum khamar” niscaya mereka akan berkata “Kami tidak akan meninggalkan khamar selamanya”, jikalau turun ayat (larangan) “Jangan kalian berzina” maka mereka akan mengatakan kami tidak akan meninggalkan zina selamanya” (HR Bukhari)
Bukti Yang Nyata Bahwa Al-Qur’an Adalah Firman Allah SWT, Tuhan Yang Maha Sempurna
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW selama lebih dari 20 tahun, yang ayatnya turun sedikit-sedikit di masa yang berbeda-beda, yang manusia membacanya dan menemukan ayat-ayatnya dengan susunan yang tepat, makna-maknanya bersambung, gaya bahasa yang sempurna, ayat dan surahnya berhubungan, seakan-akan ia sebuah naskah yang sangat langka, yang tidak pernah dijumpai sebelumnya yang semisal dari perkataan manusia,
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” (Q.S Huud : 1)
Kalau seandainya Al-Qur’an yang turun dengan masa yang sangat lama merupakan perkataan manusia maka ketika menghadapi banyak kejadian, berbagai situasi, masalah yang beragam pasti akan terjadi ketidakteraturan dan kekacauan, sulit ditemukan kesesuaian dan keserasian.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S An-Nisa : 82)
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Q.S Al-Israa : 88)[15]
3.      Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ Al-Qur’an)
a.        Pengertian Jam’ulQur’an
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinyahuffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi, agar Nabi senantiasa menggerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:
 لَا تُحَرِّك بِهِ لِسَانَكَ لِتَعجَلَ بِهِ, إِنَّ عَلَينَا جَمعَهُ وَقُرأَنَهُ,  فَإِذَا قَرَأنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرءَانَهُ,  ثُمَّ إِنَّ عَلَينَا بَيَانَهُ.  (القيامة:١٩-١٦)
Artinya:“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah [75]:16-19)[16]
Ibnu abbas mengatakan: “Rasulullah sangat ingin segera mengusai Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya; maksudnya, Kami yang mengumpulkannya didadamu, kemudian kami membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya; maksudnya, apabila Kami telah menurunkannya kepadamu, maka ikutilah bacaannya itu; maksudnya, dengarkan dan perhatikanlah ia. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya; yakni, menjelaskannya dengan lidahmu. Dalam lafal dikatakan: Atas tanggungan kamilah membacakannya. Maka setelah ayat ini turun bila Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal lain: ia mendengarkan. Dan bila Jibril telah pergi, barulah ia membacannya sebagaimana diperintahkan Allah.”
Pengumpulan dalam arti kitabatahu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan tiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.[17]
b.        Proses Pengumpulan Al-Qur’an
Al-Qur’an dikumpulkan pada dua masa, masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyiddin yang masing-masing tahap pengumpulan ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Perlu kami jelaskan tahap pengumpulan tersebut secara terperinci, agar jelas bagi kita, betapa sempurnanya penjagaan dan perhatian terhadap Al-Qur’an, baik penulisan dan pembukuannya sebagai Kitab Allah yang suci dan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang abadi, yang tidak dimiliki oleh kitab samawi lainnya.
Masa Rasulullah
Al-Qur’an sudah mulai dikumpulkan pada masa Rasulullah, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Kedatangan wahyu memang sesuatu yang sangat dirinduan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad terhadap kedatangan wahyu diekspresikan dalam bentuk hafalan dan tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi ditempuh dengan dua cara:
Pengumpulan Al-Qur’an Dalam Dada
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummiy. Otomatis, maka hikmah Nabi hanya tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya, agar ia dapat di hafal sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal dan melahirkannya (membacakannya).
Usaha keras Nabi SAW untuk menghafal Al-Qur’an terbukti setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat sebagai ibadah membaca dan merenungkan maknanya. Sehingga telapak beliau yang mulai itu pecah-pecah lantaran banyak berdiri menjalankan perintah Allah:
يٰأَيُّهَا ٱلمُزَّمِّلُ, قُمِ ٱلَّيلَ إِلَّا قَلِيلاً,  نِصفَهُ أَوِ ٱنقُص مِنهُ قَلِيلًا,  أَو زِدْ عَلَيهِ وَرَتِّلِ ٱلقُرأَنَ تَرتِيلًا (المزمل:٤-١)
Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (yaitu) Seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (al-muzzammil;1-4)
Maka tidak heran jika Rasulullah SAW menjadi sayyidul huffaz. Hatinya yang mulia itu penuh dengan Al-Qur’an. Beliau menjadi tempat bertanya bagi setiap kaum muslimin yang kesulitan tentang al-Qur’an.[18]
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Tulisan
Keistimewaan kedua untuk Al-Qur’an adalah pengumpulan dan penulisannya pada lembaran-lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa penulis wahyu. Manakala turun ayat, segera beliau memerintahkan mereka untuk menulisnya, untuk lebih berhati-hati dalam pembukuan pengukuhan serta pemeliharaan terhadap kitab Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penulisan itu cocok dengan apa yang telah ditanamkan Allah ke dada mereka.
Para penulis adalah orang-orang pilihan diantara sahabat. Rasulullah SAW memilih mereka yang telah terbukti ketakwaanya demi usaha yang demikian penting dan agung. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khulafaur Rasyiddin, dan yang lain dari golongan sahabat.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari sahaba Anas r.a. dia berkata: “Ada empat orang yang mengumpulkan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW. Mereka dari sahabat Anshar. Yakni Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Yazid”. Ditanyakan kepada Anas: Siapa Abu Yazid itu? Ia menjawab: “Salah seorang pamanku”. Mereka adalah para penulis wahyu yang termasyhur. Namun demikian, masih banyak lagi para sahabat yang menuliska Al-Qur’an. Bahkan, banyak lagi mereka mempunyai mushaf khusus berisikan apa yang didengar atau dihafal dari Rasulullah SAW. Seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf Aisyah dan lain sebagainya. Yang mana cara penulisan Al-Qur’an pada saat itu menggunakan pelepah kurma, pohon, daun, kulit, tulang unta dan lain-lain. Demikian itu karena alat tulis sulit didapat di negeri Arab.[19]
Masa khalafaur Rasyiddin
Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-suratdan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Peperangan yang bertutjuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang sahabat penghapal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghapal Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut terancam, ‘Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hapalan maupun tulisan.
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada ‘Umar karena usul penulisan datang darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?” ‘Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini sesuatu yang baik.” Dan ketika ‘Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid bin Tsabit tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Zaid, “kau adalah seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah. (Sekarang), lacaklah Al-Qur’an.”
Bagi Zaid, tugas yang dipercayakan Abu Bakar kepadanya bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya dihadapan Abu Bakar dan ‘Umar pada waktu itu, “Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat dari pada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menhimpun Al-Qur’an.”     
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu masih disimpan ‘Umar dan ketika ‘Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsah, bukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah yang menggantikan ‘Umar. Timbul pertanyaan, mengapa mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah setelah ‘Umar? Pertanyaan itu logis. Hanya ‘Umar mempunyai pertimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, ‘Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau ‘Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang diantara enam sahabat itu, ia khawatir hal tersebut diinterpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal ‘Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya ke[ada enam sahabat itu untuk memilih diantara mereka yang layak menjadi khalifah. Yang sangat bernilai. Ia menyarahkan mushaf itu kepada Hafsah yang lebih layak memegang mushaf. Terlebih lagi, ia adalah istri Nabi dan sudah menghapal Al-Qur’an secara keseluruhannya.[20]
Pada Masa ‘Usman bin ‘affan
Faktor pengumpulan Al-Qur’an pada masa ‘Usman berbeda dengan faktor penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-shiddiq.
Pada masa ‘Usman pemuka-pemuka Islam semakin meluas perpecahan antara kaum muslimin terjadi di berbagai pelosok dan perbatasan negara. Dan setiap negara Islam terkenal dengan qira’ah sahabat yang mengajari mereka.
Pada masa pemerintahan ‘Utsman, seorang mu’allim mengajarkan qira,ah versi si Fulan, dan seorang mu’allim juga mengajarkan versi si Fulan. Setelah murid-muridnya pada bertemu terjadilah perselisihan pendapat, bahkan para mu’allim pun ikut pula melibatkan diri, sehingga antara mereka saling mengkafirkan.
Setelah peristiwa ini sampai ke telinga ‘Utsman ia langsung berpidato: “Kalian yang berada dihadapanku berpecah belah, apalagi mereka yang jauh berada di perbatasan negara sana, mereka lebih lagi.”
Karena beberapa faktor dan peristiwa inilah ‘Utsman berpendapat dengan cermat, dan menyatakan kebenaran pandangannya. Ia hendak memperbaiki kerusakan ini sebelum menjalar kepada para tokoh, dan membasmi penyakit itu sebelum kehilangn obat.
Maka ia memulai langkahnya dengan mengumpulkan pembesar-pembesar sahabat, para intelek dan pengamat diantara mereka. Mereka diberi kabar gembira dengan pembasmian fitnah yang sudah mulai bersemi dan perpecahan yang telah terjadi. Setelah itu mereka sepakat agar Amirul Mu’minin menaskahkan masahif yang banyak dan mengirimkannya ke berbagai negara atau kota. Dan hendaknya Amirul Mu’mininmemerintahkan kepada semua orang agar mereka membakar semua mushahif kecuali mushhaf yang dikirim olehnya, sehingga akan tertutup semua jalan pertikaian dan perselisihan dalam segi-segi qira’ah.
Setelah itu ‘Utsman menginstruksikan pelestarian deklarasi yang mulai itu, diajukan kepada empat orang sahabat teladan sebagai tsiqatul huffadh. Mereka itu ialah Za’id bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Hisyam. Mereka semuanya dari bangsa Quraisy muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit, ia dari golongan Anshar.
Peristiwa ini terjadi pada tahun dua puluh empat Hijriah. Dan ‘Utsman berkata kepada mereka: Apabila kalian berselisih paham dalam segi-segi qira’ah, maka tulislah dengan dengan Quraisy, sebab Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.[6]
c.         Penyempurnaan Mushaf Al-Qur’an
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh.setelah banyak orang non Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Zaid (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.) Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Misalnya, tulisan (قٰلَتْ) dan (كٰنَتْ) diganti dengan قَالَتْ dan كَانَتْ. Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘Utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.[7]
Penyempurnaan penulisan Al-Qur’an terus dilakukan secara berangsur-angsur disetiap generasi yang kemudian mencapai puncaknya
4.      Rasm Al-Qur’an
Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-UtsmaniPara ulama menetapkan Rasm Al-Quran terbagi atas enam yaitu : 
1.      Al-Hadzf (Membuang atau menghilangkan atau menjadikan huruf)
2.      Al-Jiyadah (Penambahan)
3.      Al-Hamzah
4.      Badal atau Pergantian
5.      Washal dan fashl ( Penyambungan dan pemisahan)
6.      Kata yang dapat dibaca dua bunyi, penulisan kata tersebut disunatkan dengan salah satu bunyinya
Pendapat Para Ulama: 
1.      Rasm Usmani bersifat tauqifi atau bukan merupakan Produk budaya manusia yang wajib di ikuti siapa saja ketika menulis Al-Quran.
2.      Menurut Al-Quran: Tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang dapat di jadikan alasan untuk menjadikan Rasm Usmani sebagai Tauqifi. 
3.      Subhi shalih: Ia mengatakan ketika logisan Rasm Usmani apabila disebut tauqifi karena rasm Usmani baru lahir pada masa Usman.
4.      Rasm Usmani adalah kesepakatan cara baca penulisab yang disetujui Usman dan diterima umat, sehinmgga wajib di ikuti dan di taati siapa pun ketika menulis Al-Quran.
5.      Tidak ada halangan untuk menyalahkan nya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran.
Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at adalah keberadaan Rasm Usmani yang telah berharakat dan bentuk itu ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai Qiraat terbukti dengan keragaman cara membacan Al-Quran seperti qiraat tujuh, sepuluh dan qiraat empat belas.
C.    ASBAB AN-NUZUL
Al-qur’an yang terdiri dari beberapa surat dan ayat-ayat diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada allah dan risalahnya. Juga memberitahukan hal-hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-beritayang akan datang.[21]
Sebagian besar ayat-ayat dalam al-qur’an pada mulanya diturunkan untuktujuan umum ini. Tetapi kehidupan para sahabat bersama rasulullahtelah menyaksikan banyakperistiwa sejarah,bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian bertanya kepada Rasululah untuk mengenai hukum hal itu. Maka ayat Al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul disampaikan kepada nabi.[22]
Secara umum, ayat-ayat dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan pada dua bagiandilihat dari segi sebab diturunkannya. Sekelompok ayat diturunkan tanpa dihubungkan dengan satui sebab secara khusus. Sekelompok ayat lainnya diturunkan atau disangkut-pautkan dengan suatu sebab khusus. Kelompok yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya, tetapi mempunyai pembahasan khususdalam ‘Ulum Al-Qur’an.
Pembahasan tentang asbab an-nuzul meliputi antara lain; pengertian sabab an-nuzul, fungsi riwayat sabab an-nuzul, kualifikasi riwayat/hadith yang meriwayatkannya,jenis-jenis sabab an-nuzul dan kaidah-kaidah sabab an-nuzul yang berfokus pada hubungan antara riwayat dan bentuk redaksiyang digunakan ayat-ayatber-sabab an-nuzul.
1.      Pengertian Asbab An-Nuzul
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentukidhafah dari kata“asbab” dan “nuzul”, Secara etimologi, asbab an-nuzul adalahsebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatuMeskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatudapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi  turunnya Al-Quran, seperti halnya asbab al-wurud secara khusus digunakan bagi sebab terjadinya hadist.
Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:
a.       Menurut Az-zarqoni:
“asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
b.      Ash-shabuni:
asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”. 
c.       Subhi shalih:
“asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
d.      Mana’ Al-Qaththan:
asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al-qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.
Kendatipun redaksi pendifinisian di atas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut. Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Al-qur’an dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya melingkupi peristiwa pada masa al-qur’an masih turun (ashr at-tanzil).[23]
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al-qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi diantara suku Aus dan suku khazraj ; kesalahan besar, seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan rerjadi.
Persoalan mengenai apakah seluruh ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul atau tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul. Oleh sebab itu, ada ayat al-qur’an yang diturunkan tanpa ada yang melatarbelakanginya (ibtida’), dan sebagian lainnuya diturunkan dengan di latarbelakamgi oleh sesuatu peristiwa (ghair ibtida’).
Pendapat tersebut hampir menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi sebagian berpendapat bahwa kesejarahan arabia pra-qur’an pada masa turunnya al-qur’an merupakan latar belakang makro al-qur’an, sedangkan riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan latarbelakang mikronya.pendapat ini berarti mengaggap bahwa semua ayat al-qur’an memiliki sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
2.     Urgensi dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
Asbab an-nuzul mempunyai arti penting dalan menafsirkan al-qur’an. Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbab an-nuzul suatu ayat. Al-Wahidi (W.468H/1075M.)seorang ulama klasik dalam bidang ini mengemukakan; “pengetahuan tentang tafsir  dan ayat-ayat tidak mungkin, jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan dengan turunnya suatu ayat. Sementara ibnu daqiq al-id menyatakan bahwa penjelasan asbab an-nuzul
Merupakan salah satu jalan yang baik dalam rangka memahami al-qur’an. Pendapat senada di ungkapkan oieh ibnu taimiyah bahwa mengetahui asbab an-nuzul akan menolomg seorang dalam upaya memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan melahirkan pengetahuan tentang akibat.
Pemahaman asbab an-nuzul akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar  jika mengabaikan riwayat asbab an-nuzul.
Muhammad chirzin dalam bukunya: al-qur’an dan ulum al-qur’an menjelaskan, dengan ilmu asbab an-nuzul. Pertama, seorang dapat mengetahui hikmah di balik syariat yang di turunkan melalui sebab tertentu.Kedua, seorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat.Ketiga, seorang dapat dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umumdan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan. Keempat, seorang dapat menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah dan selalu bersama para hambaNya.
Study tentang asbab an-nuzul akan selalu menemukan relevansinya sepanjang peradaban perjalanan manusia, mangingat asbab an-nuzul manjadi tolak ukur dalam upaya kontekstualisasi teks-teks al-qur’an pada setiap ruang dan waktu serta psiko-sosio-historis yang menyertai derap langkah kehidupan manusia.
Lebih lanjut sebagaimana dijelaskan oleh manna khalil al-qattan dalam bukunya mabahith fi ulum al-qur’an diantara faedah ilmu asbab an-nuzul dalam dunia pendidikan, para pendidik megalami banyak kesulitan dalam penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran.
Asbab an-nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang di sampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga al-qur’an pun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat suatu pengantar dengan sesuatu yang baru dan di pilihnya; sebab bila ia menyampaikan sebab asbab an-nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, minat menarik memusatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahamai pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbab an-nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Dengan demikian jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia kejakan kehidupan lurus, jalan menuju kekuatan kemuliaan dan kebahagiaan.
Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran di bangku-bangku sekolah atau punpendidikan umum,dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan perlu memanfaatkan konteks asbab an-nuzul untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang temgah belajar dan masyarakat umum yang di bimbing. Cara demikian merupakan cara paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan menggunakan metode pemberian pengertian yang paling menarik.
Dalam kaitannya dengan kajian ilmu shari’ah dapat ditegaskan bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul berfungsi antara lain;
Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ tehadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti pelanggaran minuman keras,misaalnya ayat-ayat al-qur’an turun dalam empat kali tahapan yaitu: Q.S.an-nahl: 67,Q.S al-baqarah:219, Q.S an-nisa’:43 danQ.S al-maidah:90-91
Mengetahui asbab an-nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya. Urwah ibnu zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardu sa’i antara sofa dan marwa Q.S. al-baqarah : 158
“sesungguhnya sofa dan marwa adalah sebagian dari shiar-shiar. Barang siapa yang beribadah haji ke baitullah ataupun umroh, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya .dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, sesungguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui”.
Urwah bin zubair kesulitan memahami”tidak ada dosa” di dalam ayat ini lalu ia menanyakan kepada aisyah perihal ayat tersebut, lalu aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa di situ bukan peniadaan hukum fardhu peniadaan di situ dimaksudkan sebagai penolak keyakinan yang telah mengakar di hati muslimin pada saat itu, bahwa melakukan sa’i antara sofa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah.
Keyakinan ini didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra islam di bukit safa terdapat sebuah patung yang di sebut”isaf” dan di bukit marwah ada patung yang di sebut”na’ilah”. Jika melakukan sa’i di antara bukit itu orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua patung tersebut. Ketika islam datang, patung-patung tersebut itu di hancurkan, dan sebagian ummat islam enggan melakukan sa’I di tempat itu, maka turunlah ayat ini; Q.S al-baqarah :158.
Pengetahuan asbab an-nuzul dapat menghususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah (khusus as-sabab) sebab khusus. Sebagai contoh turunnya ayat-ayat dhihar pada permulaan surat al-mujadalah, yaitu dalam kasus aus ibnu as-samit yang mendzihar istrinya, khaulah binti hakam ibnu tha’labah. Hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ini khusus bagi keduanya dan tidak berlaku bagi orang lain.
Yang paling penting ialah asbab an-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu di terapkan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat di pahami melalui asbab an-nuzul.
Pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan mempermudah orang yang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab dan musabab (akibat), hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya dalam ingatan.[24]
3.     Cara Mengetahui Asbab An-Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka nal itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an, dijawabnya: ”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif (lemah).
Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:
1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
2). Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3). Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
4). Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas. Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul, ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat. Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang ini” maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu, bukan untuk menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah konteks pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama, salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian, maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain dianggap sebagai penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.[25]
4.     Macam-macam Asbab An-Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat dibagi kepada;
a.      Ta’addud  Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid
Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat/ wahyu. Terkadang wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab,[26] misalnya turunnya Q.S. Al-Ikhlas: 1-4
Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah adalah tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tiada berada beranak dan tiada pula di peranakkan. Dan tiada seoarangpun yang setara dengan dengan dia.
Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan terhadap orang-orang musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang ditemui di madinah setelah hijrah.
Contoh yang lain:
peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’.
Ayat di atas menurut riwayat diturunkan berkaitan dengan beberapa sebab berikut;
Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa nabi SAW. Shalat dzuhur di waktu hari yang sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para sahabat. Maka turunnlah ayat tersebut di atas. (HR. Ahmad, bukhari, abu daud).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi SAW. Shalat dzuhur di waktu yang sangat panas. Di belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua saf saja yang mengikutinya. Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, adapula yang sedang sibuk berdagang. Maka turunlah ayat tersebut diatas (HR.ahmad, an-nasa’i, ibnu jarir)
Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada orang-orang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat meraka shalat. Maka turunlah ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i dan ibnu majah).
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang bercakap-cakap di waktu shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan dulu keperluannya(di waktu sedang shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang memerintahkan supaya khusyuk ketika shalat.
b.      Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid
Satu sebab yang mekatarbelakangi turunnya beberapa ayat.
Contoh: Q.S. Ad-dukhan : 10,15 dan16;
“maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata, ”
“sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar)”.
“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya kami memberi balasan”.
Asbab an-nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah; dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika kaum Quraisy durhaka kepada nabi SAW. Beliau berdo’a supaya mereka mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada zaman nabi yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan, sampai-sampai merekapun makan tulang, sehingga turunlah(Q.S. ad-dukhan :10). Kemudian mereka menghadap nabi saw untuk meminta bantuan. Maka rasulullah saw berdo’a agar di turunkan hujan. Akhirnya hujanpun turun, maka turunnlah ayat selanjutnya (Q.S. ad-dukhan: 15).namun setelah mereka memperoleh kemewahan merekapun kembali kepada keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah ayat ini (Q.S. ad-dukhan :16) dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu perang badar.

D.    Nuzulul Qur’an
1.      Pengertian Nuzulul Qur’an
Secara etimologis Nuzulul Qur’an terdapat dua kata yaitu kata Nuzul dan Al-Qur’an. Pada dasarnya ”Nuzul”itu mempunyai arti turunnya suatu benda dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Nuzul juga secara etimologi dapat berarti singgah atau tiba ditempat tertentu. Makna nuzul dalam pengertian yang disebut terakhir ini dalam kebiasaan orang arab menurut Abdul Azhim Az-Zarqoni sebagai makna hakiki. Sehingga, kata singgah, mampir, atau tiba umpamanya sering diungkapkan oleh orang arab dalam formulasi seperti seorang penguasa singgah atau tiba disuatu tempat.[27]
Kata Nuzul memiliki beberapa pengertian antara lain:
a.       Menurut Ibn Faris, kata Nuzul berarti hubuth syay wa wuqu’uh, “turun dan jatuhnya sesuatu.”[28]
b.      Sedang menurut al-Raghib al-Isfahaniy, kata Nuzul berarti, “meluncur atau turun dari atas ke bawah.”[29]
c.       Menurut al-Zarqoni, kata Nuzul di ungkapkan dalam penuturanya yang lain untuk pengertian perpindahannya sesuatu dari atas ke bawah.[30]
d.      Imam Fairuz Zabadi dalam kamusnya Al-Muhith Al-Hulul Fil Makan. Kata Nuzul itu mampunyai arti : “Bertempat di suatu tempat”. Contohnya antara lain firman Allah SWT.
وَقُل رَّبِّ أَنزِلۡنِى مُنزَلاً۬ مُّبَارَكً۬ا وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡمُنزِلِينَ
Artinya: Berdo’alah Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang di berkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat (Q.S. Al- Mukminum : 29)
e.       Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al- Kasysyaf. Kata Nuzul itu berati Al- Ijtima (kumpul). 
Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzulul Qur’an ini, kata MF. Zenrif di dalam bukunya yang berjudul sintesis paradigma studi al-Qur’an, ada juga pendapat yang memberikan alternatif dari problem teologis dengan memberikan pengertian majaziy dari kata nuzul. Dalam hal ini nuzul diartikan penampakan al-Qur’an ke pentas bumi pada waktu dan tempat tertentu. Memang menurut pandangan ini al-Qur’an bersifat Qodim, dalam pengertian sudah ada sebelum adanya tempat dan waktu, akan tetapi keberadaanya ketika itu belum diketahui atau hadir di pentas bumi. Ketika al-Qur’an pertama kali diterima Nabi saw, ketika itu pula al-Qur’an menampakan diri. Oleh karenanya, inna anzalnahu fi lailat al-qodr mempunyai pengertian: “sesungguhnya kami memulai memperkenalkan kehadiran al-Qur’an pada malam al-Qodr”[31]
2.      Tahap-tahap turunya al qur’an
a.      Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ), Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22. Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi.
Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.
b.      Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani), Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
c.       Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu)
Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut: Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
Menurut As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan, bahwa al-Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap[2]:
1)      Dari Lawh al-Mahfûdl ke Bayt al-‘Izzah (langit dunia yang paling rendah) secara keseluruhan dan turun sekaligus, yang terjadi pada malam Qadar (Laylah al-Qadar).
2)      Dari Bayt al-‘Izzah ke dalam hati Rasulullah saw. Secara bertahap selama 23 tahun kenabian Muhammad saw. Adapun yang pertama kali diturunkan terjadi di bulan Ramadhan, melalui malaikat Jibril as.[32]
3.      Waktu turunnya al Qur’an dan periodesasi
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para ulama ‘Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.

Periode Pertama

Diketahui bahwa Muhammad s.a.w, pada awal turunnya wahyu pertama (iqra’), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).
Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al Allah, misalnya surah Al-A’la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah “sebanding dengan sepertiga Al-Quran”, karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
a.       Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
b.      Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami.”
c.       Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.

Periode Kedua

Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua –termasuk Rasulullah saw.– berhijrah ke Madinah.
Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: “Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud” (QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?” Katakanlah, wahai Muhammad: “Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar.” Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: “Jadilah!”Maka jadilah ia (QS 36:78-82).
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: “Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya.”
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.

Periode Ketiga

Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda.
Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti:Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): “Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah.” Maka bila mereka berpaling katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim” (QS 3:64).[33]

Pembahasan Selanjutnya (On Going)


[1] Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 4
[2] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 2
[3] Dr. Rosihon Anwar, Ulumu Qur’an,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hal. 16
[4] https://zulfikarnasution.wordpress.com/2011/11/10/metodologi-studi-al-qur%E2%80%99an-tafsir/
[5] Badruddin al-Zarkasyi, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dr. Usman, M. Ag, 2009),hal. 313
[6] Ali al-Shabuniy, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : Dr. Usman, M.Ag, 2009),hal. 318
[7] Muhammad Bakar Isma’il,Ulumul Qur’an,(Yogyakarta:Dr.Usman,M.Ag,2009,hal 18
[8] Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna, Terjemahan At-Tibyan (Pengantar Studi Al-Qur’an), (Bandung: PT Al-Ma’arif), 1996, hal. 26
[9] Halimuddin, Sejarah Al-Qur’an (Terjemahan Tarikh Al-Qur’an), (Jakarta: PT Rineka Cipta), 1992, hal. 52
[10] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press), 2011, hal. 1
[11] Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada), 1995, hal. 68
[12] Dalam ayat ini Allah menghibur Nabi Muhammad s.a.w. dengan menyatakan bahwa orang-orang musyrikin yang mendustakan Nabi, pada hakekatnya adalah mendustakan Allah sendiri, karena Nabi itu diutus untuk menyampaikan ayat-ayat Allah Ta’ala
[13] Maksudnya hendaklah bertasbih ketika kamu bangun dari tidur atau bangun meninggalkan majlis, atau ketika berdiri hendak shalat.
[14] Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
[15] abahaisya.wordpress.com
[16] Manna’ Khalil al-Qattan, Mudzakir (penerj), Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hal. 178
[17] Manna’ Khalil al-Qattan, Mudzakir (penerj), Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hal. 179
[18] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, (Jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 73
[19] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, (Jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 79
[20] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung; Pustaka Setia, 2013), hal. 39
[21] Manna’ Khlil al-Qattan, Mabahith Fi ‘Ulumi al-Qur’an, Alih Bahasa oleh Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an  (Bogor: Litera Antar Nusa. Halim Jaya, 2007), 106
[22] Abid Rohman. M. Fil. I, Studi al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press), 166
[23] Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 61
[24] http://blogushuluddin.blogspot.co.id
[25] sofyansauri.web.id
[26] Prof, DR. Muhammad Ali Ash-shaabuuniy, At-Tibyaan Fii Uluumil Qur’an, Alih Bahasa oleh Drs, H. Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 52
[27] Muhammad abd azhim az-zarqoni, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumil Quran, hal. 41
[28] Abi al-Hussein Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya, Maqoyis al-Lughoh (Beirut: Dar al-‘Ilm Li al-Malayyin, t.t.), hlm.342
[29] Al-Raghib sal-Isfahaniy, al-Mufradat fi aAlfadz Alqur’an al-Karim (Beirut: Darul-Fikr, 1982), hlm.824 
[30] Muhammad ‘Abd al-‘Azrqoni, Mahahil Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, jilid I (Beirut: Darul-Fikr, 1988), hlm. 41
[31] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), Hlm 2.
[32] alquranexplorer.blogspot.co.id
[33] tafsiralquran2.wordpress.com

0 Response to "FULL PEMBAHASAN MATA KULIAH STUDI ALQUR’AN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel