Kumpulan Puisi Morning-dew Tema Kehidupan
DUA ORANG YANG BERBEDA
Ini kisah tentang anak kecil bertelanjang kaki, langkah kuatnya ditempa keras hitam kehidupan, yang tak pernah diinginkan siapa pun. Inilah hidup sejatinya saat semua anak terlelap di kasur berbantal bulu angsa.
Dia ingin marah tapi tak tahu pada siapa, mengapa kaki kecilnya harus berpanas di atas aspal, saat yang lain menikmati es krim yang manis, sedang dia mengamen di pinggir jalan kota yang ramai dan tak bersahabat.
Dia tak sendiri, baku hantam hidupnya pun dimiliki jutaan anak lain di negeri ini, ketika yang lainnya tersenyum di sekolah mewah, inilah kenyataan yang serupa jamu brotowali, pahit namun kelak akan memberinya kebaikan.
Ini tentang seorang penguasa kaya raya, yang bingung menyembunyikan hartanya, sebab semua keluarga telah dipinjam namanya pada banyak rekening, sungguh kekayaannya melimpah namun tanpa berkah.
Ini tentang seorang pejabat tinggi, yang tak mau mendengar suara rakyatnya, yang berpikir bahwa semua aturannya adalah baku semata, hak dan kewajibannya dijadikan satu dalam sebuah wadah bernama kekuasaan.
Ini tentang pengamen kecil yang menjual suaranya demi uang receh, saat sang penguasa mencari suara demi pundi-pundi uangnya. Tak ada lagi yang bisa berteriak lantang tentang hak asasi, sebab negeri ini tak lagi menyimpan keadilan.
Ini tentang dua orang yang berbeda, penguasa yang lupa akan kewajiban hingga dia tebas habis hak rakyatnya, dan seorang pengamen kecil yang tak pernah tahu bahwa sebenarnya haknya saat ini hanyalah berbahagia dan tertawa.
NEGERI BERNYANYI
Di sini kau bisa menyapa bulan purnama yang mencumbu pucuk stupa Candi Borobudur
Di sini kau bisa melenggok gemulai bersama Rama dan Sinta di Candi Prambanan
Atau kau ingin berburu babi bersama Suku Ayapo di hutan Sentani Papua
Mungkin kau mau berenang bersama pesut-pesut di Sungai Mahakam?
Tak perlu ragu akan keramahan pecinta alam sejati, Suku Badui di Banten
Atau menikmati sedapnya Nasi Jamblang beralas daun jati dari Cirebon
Sambil mengenang masa lalu lewat alunan Suling Melintang dari Maluku
Atau tertawa bersama anak-anak berambut gimbal di dataran tinggi Dieng
Ini negeriku, kawan, Indonesia yang berkalung hijau pegunungan
Negeri yang pernah bersimbah darah karena keelokan yang memancar
Sebab bumiku terlalu cantik bak gadis manis berkepang dua
Laksana pangeran tampan berhias cahaya mentari zamrud khatulistiwa
Ini rumahku, tuan, apapun yang terjadi di sinilah jiwaku memulai kehidupan sejati
Sepiring suka segelas duka, bahagia kutemukan di tanah ini
Kusesap madu manis bumi persada yang kini sering menangis
Sebab rasa sakit dari pengkhianatan anak negeri akan janji ksatria
Ini negeriku, puan, yang pernah terjajah keserakahan bangsa lain
Yang kini pun terjajah keserakahan anak bangsa sendiri
Bertahanlah aduhai negeri yang sedang berdendang untaian syair miris
Mari bernyanyi bersamaku tentang ode sejarah silam dan masa depan kita
Tegal, 6 Agustus 2020
INILAH KAMI
Bertelanjang kaki, bersahabat dengan debu
Raga kami adalah bagian dari kehidupan semu
Berlarian menyambut harapan palsu
Tanpa rasa takut yang membelenggu
Kemunafikan, kebohongan dan kejahatan
Seperti tarian sejati dalam perjalanan
Antara masa kini dan kenangan
Terhempas, jatuh dan ternista hanya mainan
Mungkin kami pernah berharap indah
Namun kesempatan terlihat terlalu pongah
Hingga kesadaran pun membuncah
Kami adalah bagian terkecil dari serpihan
Dunia kelam nan hitam pekat
Tak lagi buat aksara kami tercekat
Karena cerita hidup kami sering terjerat
Pada janji-janji yang buat orang tua kami sekarat
Pernah kami terpukau pada Tuan berjas rapi
Dia sebut kami kaum marginal hakiki
Yang akan menjadi ujung tombak niat suci
Dari seorang seperti dia, penipu sejati
Hei, Tuan ... dengar suara kami dari bilik suram
Bila nanti tujuanmu tercapai, kami tetap tenggelam
Meski kami menjerit, kau tetap diam
Dan sketsa kehidupan kami makin buram
Dahulu, kini dan masa depan adalah satu
Tak jua merubah alur cerita baru
Kami tetaplah anak pinggiran bukan ratu
Yang masih tertawa dan menangis dalam kelu
Tegal, 15 Mei 2020
Sebuah puisi di hari buruh, untuk TKI di manapun berada
SEPERTI KISAH MAHABARATA
Mereka tak pernah berharap banyak
Tak ada impian kemewahan berlimpah
Tiada asa menaikkan derajat lebih tinggi
Hanya sebuah keinginan sederhana
Hidup layak dan dihargai
Sebab mereka adalah kita
Sejatinya kita adalah mereka
Memeras tenaga dan waktu demi kehidupan yang manusiawi
Namun, kadang cerita serupa kisah Mahabarata
Penuh huru-hara tak berkesudahan
Penuh kepalsuan dan kelicikan
Dari orang-orang berwajah banyak
Bagaimana bisa mereka yang jadi napas negara justru tertindas?
Bagaimana bisa mereka selalu menjadi kaum marginal yang tersisih?
Monster-monster itu hanya butuh raga mereka tanpa peduli rasa
Keadilan seolah mati jika mereka berusaha bersuara
Seperti bunuh diri jika mereka berteriak tentang hak
Kepada siapa harus mengadu?
Bahu siapa yang bisa jadi sandaran bagi kepala mereka
Di mana rasa nyaman yang selalu ada dalam harapan
Adakah yang mau membuka lebar rentang tangan untuk memeluk?
Sekadar memberi kehangatan bagi dingin langkah jiwa mereka
Kaum tersisih yang tiada henti menggapai mimpi di langit
Tersemat di antara bintang gemintang dan rembulan
Larungkan rintihan pilu agar kebenaran selalu berpihak
Tegal, 2 Mei 2021
KUNCI GERBANG KEBEBASAN
Kebebasan pikiran kami adalah tipuan serupa ilusi
Sebab demokrasi ternyata cuma impian dalam bingkai halusinasi
Kemerdekaan pun bak kerangka kering imajinasi
Yang terkurung dalam jeruji padat delusi
Ini negeri milikku, juga milik kalian Tuan dan Puan
Sisakan sedikit rasa bagi kami yang rindu pelukan
Atau kalian lupa saat semua suara kami, kau minta demi sebuah tujuan
Kini semua kalian urai dalam jalinan dusta dan kemunafikan
Janjimu Tuan, kebenaran adalah nomor satu
Janjimu Puan, nilai kejujuran akan berlaku
Semua janji tersimpan rapi dalam lukisan ambigu
Sebuah catatan yang kemudian terkubur menjadi masa lalu
Tarian jiwa dan pikiran kami tak lagi berguna
Sebab demokrasi kini hanya cuma alunan lagu lama
Kemerdekaan pun terjerembab dalam jurang berjelaga
Tunjukkan pada kami di mana kunci pintu gerbang kebebasan
Tegal, 18 Agustus 2020
Dia ingin marah tapi tak tahu pada siapa, mengapa kaki kecilnya harus berpanas di atas aspal, saat yang lain menikmati es krim yang manis, sedang dia mengamen di pinggir jalan kota yang ramai dan tak bersahabat.
Dia tak sendiri, baku hantam hidupnya pun dimiliki jutaan anak lain di negeri ini, ketika yang lainnya tersenyum di sekolah mewah, inilah kenyataan yang serupa jamu brotowali, pahit namun kelak akan memberinya kebaikan.
Ini tentang seorang penguasa kaya raya, yang bingung menyembunyikan hartanya, sebab semua keluarga telah dipinjam namanya pada banyak rekening, sungguh kekayaannya melimpah namun tanpa berkah.
Ini tentang seorang pejabat tinggi, yang tak mau mendengar suara rakyatnya, yang berpikir bahwa semua aturannya adalah baku semata, hak dan kewajibannya dijadikan satu dalam sebuah wadah bernama kekuasaan.
Ini tentang pengamen kecil yang menjual suaranya demi uang receh, saat sang penguasa mencari suara demi pundi-pundi uangnya. Tak ada lagi yang bisa berteriak lantang tentang hak asasi, sebab negeri ini tak lagi menyimpan keadilan.
Ini tentang dua orang yang berbeda, penguasa yang lupa akan kewajiban hingga dia tebas habis hak rakyatnya, dan seorang pengamen kecil yang tak pernah tahu bahwa sebenarnya haknya saat ini hanyalah berbahagia dan tertawa.
NEGERI BERNYANYI
Di sini kau bisa menyapa bulan purnama yang mencumbu pucuk stupa Candi Borobudur
Di sini kau bisa melenggok gemulai bersama Rama dan Sinta di Candi Prambanan
Atau kau ingin berburu babi bersama Suku Ayapo di hutan Sentani Papua
Mungkin kau mau berenang bersama pesut-pesut di Sungai Mahakam?
Tak perlu ragu akan keramahan pecinta alam sejati, Suku Badui di Banten
Atau menikmati sedapnya Nasi Jamblang beralas daun jati dari Cirebon
Sambil mengenang masa lalu lewat alunan Suling Melintang dari Maluku
Atau tertawa bersama anak-anak berambut gimbal di dataran tinggi Dieng
Ini negeriku, kawan, Indonesia yang berkalung hijau pegunungan
Negeri yang pernah bersimbah darah karena keelokan yang memancar
Sebab bumiku terlalu cantik bak gadis manis berkepang dua
Laksana pangeran tampan berhias cahaya mentari zamrud khatulistiwa
Ini rumahku, tuan, apapun yang terjadi di sinilah jiwaku memulai kehidupan sejati
Sepiring suka segelas duka, bahagia kutemukan di tanah ini
Kusesap madu manis bumi persada yang kini sering menangis
Sebab rasa sakit dari pengkhianatan anak negeri akan janji ksatria
Ini negeriku, puan, yang pernah terjajah keserakahan bangsa lain
Yang kini pun terjajah keserakahan anak bangsa sendiri
Bertahanlah aduhai negeri yang sedang berdendang untaian syair miris
Mari bernyanyi bersamaku tentang ode sejarah silam dan masa depan kita
Tegal, 6 Agustus 2020
INILAH KAMI
Bertelanjang kaki, bersahabat dengan debu
Raga kami adalah bagian dari kehidupan semu
Berlarian menyambut harapan palsu
Tanpa rasa takut yang membelenggu
Kemunafikan, kebohongan dan kejahatan
Seperti tarian sejati dalam perjalanan
Antara masa kini dan kenangan
Terhempas, jatuh dan ternista hanya mainan
Mungkin kami pernah berharap indah
Namun kesempatan terlihat terlalu pongah
Hingga kesadaran pun membuncah
Kami adalah bagian terkecil dari serpihan
Dunia kelam nan hitam pekat
Tak lagi buat aksara kami tercekat
Karena cerita hidup kami sering terjerat
Pada janji-janji yang buat orang tua kami sekarat
Pernah kami terpukau pada Tuan berjas rapi
Dia sebut kami kaum marginal hakiki
Yang akan menjadi ujung tombak niat suci
Dari seorang seperti dia, penipu sejati
Hei, Tuan ... dengar suara kami dari bilik suram
Bila nanti tujuanmu tercapai, kami tetap tenggelam
Meski kami menjerit, kau tetap diam
Dan sketsa kehidupan kami makin buram
Dahulu, kini dan masa depan adalah satu
Tak jua merubah alur cerita baru
Kami tetaplah anak pinggiran bukan ratu
Yang masih tertawa dan menangis dalam kelu
Tegal, 15 Mei 2020
Sebuah puisi di hari buruh, untuk TKI di manapun berada
SEPERTI KISAH MAHABARATA
Mereka tak pernah berharap banyak
Tak ada impian kemewahan berlimpah
Tiada asa menaikkan derajat lebih tinggi
Hanya sebuah keinginan sederhana
Hidup layak dan dihargai
Sebab mereka adalah kita
Sejatinya kita adalah mereka
Memeras tenaga dan waktu demi kehidupan yang manusiawi
Namun, kadang cerita serupa kisah Mahabarata
Penuh huru-hara tak berkesudahan
Penuh kepalsuan dan kelicikan
Dari orang-orang berwajah banyak
Bagaimana bisa mereka yang jadi napas negara justru tertindas?
Bagaimana bisa mereka selalu menjadi kaum marginal yang tersisih?
Monster-monster itu hanya butuh raga mereka tanpa peduli rasa
Keadilan seolah mati jika mereka berusaha bersuara
Seperti bunuh diri jika mereka berteriak tentang hak
Kepada siapa harus mengadu?
Bahu siapa yang bisa jadi sandaran bagi kepala mereka
Di mana rasa nyaman yang selalu ada dalam harapan
Adakah yang mau membuka lebar rentang tangan untuk memeluk?
Sekadar memberi kehangatan bagi dingin langkah jiwa mereka
Kaum tersisih yang tiada henti menggapai mimpi di langit
Tersemat di antara bintang gemintang dan rembulan
Larungkan rintihan pilu agar kebenaran selalu berpihak
Tegal, 2 Mei 2021
KUNCI GERBANG KEBEBASAN
Kebebasan pikiran kami adalah tipuan serupa ilusi
Sebab demokrasi ternyata cuma impian dalam bingkai halusinasi
Kemerdekaan pun bak kerangka kering imajinasi
Yang terkurung dalam jeruji padat delusi
Ini negeri milikku, juga milik kalian Tuan dan Puan
Sisakan sedikit rasa bagi kami yang rindu pelukan
Atau kalian lupa saat semua suara kami, kau minta demi sebuah tujuan
Kini semua kalian urai dalam jalinan dusta dan kemunafikan
Janjimu Tuan, kebenaran adalah nomor satu
Janjimu Puan, nilai kejujuran akan berlaku
Semua janji tersimpan rapi dalam lukisan ambigu
Sebuah catatan yang kemudian terkubur menjadi masa lalu
Tarian jiwa dan pikiran kami tak lagi berguna
Sebab demokrasi kini hanya cuma alunan lagu lama
Kemerdekaan pun terjerembab dalam jurang berjelaga
Tunjukkan pada kami di mana kunci pintu gerbang kebebasan
Tegal, 18 Agustus 2020
0 Response to "Kumpulan Puisi Morning-dew Tema Kehidupan"
Post a Comment