Kumpulan Puisi Chairil Anwar Beserta Makna dan Unsur


Tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” dalam karyanya berjudul “Aku”. Beliau meninggal karena penyakit TBC di Jakarta, 28 April 1949. Dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Ibu bapaknya bercerai, dan bapaknya menikah lagi. Selepas perceraian itu, setelah tamat SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Hidupnya jarang sekali dirundung duka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Ketika dewasa Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. 

Jassin pun punya kenangan tentang Chairil Anwar, mereka pernah bermain bulu tangkis bersama, dan Chairil kalah. Tapi Chairil tidak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya Jassin kalah. Semua itu kerana mereka bertanding di depan para gadis. Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda. Dari pengalaman Chairil dalam dunia wanita tersebut saya mengambil puisi beliau yang berjudul “Cintaku Jauh Di Pulau”.(naskahesai)


AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kauTak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar
Maret 1943
A. MAKNA PUISI ‘AKU’
Dengan membaca dan memahami makna puisi Aku karya Chairil Anwar, ada banyak hal yang bisa dipelajari. Khususnya, bagi generasi yang hidup di era kemerdekaan. Karena, pada generasi ini, tentu tidak pernah hidup dan mengalami secara nyata apa yang terjadi di era awal kemerdekaan Indonesia. Beberapa makna puisi Aku, di antaranya adalah : 

  1. Wujud kesetiaan dan keteguhan hati atas pilihan kebenaran yang diyakininya. Hal ini tercermin melalui dua kalimat di awal puisi tersebut, yakni “Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu”
  2. Keberanian dalam berjuang meskipun banyak resiko yang akan dihadapi. Termasuk resiko untuk kehilangan nyawa atau terluka karena senjata musuh. Inilah yang digelorakan oleh Chairil Anwar, yang tersurat pada bait ketiga puisi tersebut.
  3. Semangat yang tak pernah padam. Sebagaimana yang dinyatakan melalui kalimat “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hal tersebut adalah cermin dan betapa semangat Chairil Anwar untuk berjuang, tidak ingin dibatasi oleh waktu
B. UNSUR INTRINSIK PUISI ‘AKU’

  • Tema
    Tema pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar adalah menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi. Dari judulnya sudah terlihat bahwa puisi ini menceritakan kisah ‘AKU’ yang mencari tujuan hidup.
  • Pemilihan Kata (Diksi)
    Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya. Seperti pada baris kedua: bait pertama “Ku mau tak seorang ’kan merayu” merupakan pengganti dari kata “ku tahu”. “Kalau sampai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan“dapat berarti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
  • Rasa
    Rasa adalah sikap penyeir terhadap pokok permasalahan yang terdapat pada puisinya. Pada puisi “Aku” karya Chairil Awar merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi. Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair.
  • Nada dan Suasana
    a.) Nada
    Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada yang berwibawa, tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih.
    b.) Suasana
    Suasana yang terdapat dalam puisi tersebut adalah suasana yang penuh perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut menceritakan ada beberapa orang yang tak mengaangap perjuangannya si tokoh. 
  • Majas
    Dalam puisi tersebut menggunakan majas hiperbola pada kalimat “Aku tetap meradang menerjang”. Terdapat juga majas metafora pada kalimat “Aku ini binatang jalang”.
  • Pencitraan/pengimajian
    Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran), ‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran), ‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa), ‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
  • Amanat
    Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna bersifat kias, subjektif, dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan situasi tempatpenyair mengimajinasikan puisinya.Amanat dalam Puisi ‘Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan dan dapat kita rumuskan adalah sebagai berikut :
  1. Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun   rintangan menghadang.
  2. Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
  3. Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
C. UNSUR EKSTRINSIK 

  • Biografi Pengarang
  1. Chairil Anwar di Medan, 22 Juli 1922.
  2. Mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang.
  3. Dilihat dari esai-esai dan sajak-sajaknya terlihat bahwa ia seorang yang individualis yang bebas dan berani dalam menentang lembaga sensor jepang.
  4. Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya, hal ini tampak pada sajak-sajaknya: Diponegoro, Karawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, dll.
  • Hubungan Karya Sastra Dengan kondisi sosial masyarakat Pada Saat Karya Sastra Lahir Sajak AKU ini, banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada zaman itu. Bahkan sebagai akibat dari lahirnya sajak AKU ini, Chairil Anwar ditangkap dan dipenjara oleh Kompetai Jepang. Hal ini karena sajaknya terkesan membangkang terhadap pemerintahan Jepang.
    1. Sajak AKU ini ditulis pada tahun 1943, di saat jaman pendudukan Jepang.
    2. Kondisi masyarakat pada waktu itu sangat miskin dan menderita.
    3. Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang, tanpa mampu berbuat banyak untuk kemerdekannya.
    4. Kerja paksa marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
    5. Bangsa Indonesia menjadi budak di negaranya sendiri.

Chairil Anwar mulai banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang paling terkenal berjudul Semangat yang kemudian berubah judul menjadi Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan Maret tahun 1943 ini banyak menyita perhatian masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang lugas, Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya. Pada saat itu, puisi tersebut mendapat banyak kecaman dari publik karena dianggap tidak sesuai sebagaimana puisi-puisi lain pada zaman itu

Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda. Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata ‘hingga hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).


Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah  mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu  pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.  

Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri.

1.    Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (1).

Kalau sampai waktuku
Waktu yang dimaksud dalam kutipan (1) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.

Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Pada kutipan (2) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicarinya selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan (3).

Tidak juga kau
Kau yang dimaksud dalam kutipan (3) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk. 

Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.

Tidak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.
Dalam kutipan (4), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya.

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang 
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan (5), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah.
Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya.

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian. Pada kutipan (6), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.



TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943

Puisi “Tak Sepadan” hanyalah satu dari banyak karya Chairil bertema patah hati yang agaknya juga diilhami oleh kisah nyata yang dialami sang penulis. Ia tampaknya begitu bijak membiarkan patah hatinya berlarut-larut dan kemudian menjelmakannya menjadi sebuah puisi yang “manis” sekaligus “sadis”. (fristananda)

Dalam puisi ini Chairil Anwar menempatkan dirinya sebagai aku dan yang ia hadapi adalah seseorang yang dekat dengannya, dalam puisi ini sebagai "aku" berangan-angan atau memisalkan takdir yang akan terjadi pada seseorang yang ia bicarakan dalam bait pertama itu, karena terlihat dari perkataan "Aku kira, beginilah nanti jadinya", dan baris selanjutnya adalah ungkapan terusan dari "aku" sebagai yang berbicara dalam puisi itu.

Terlihat juga dalam puisi ini sang "aku" merasakan keputusasaan dalam perjuangannya, dia merasa telah dibebani dengan takdir yang pahit, yang membuat sukar apa yang ia perjuangkan, hal ini terlihat dalam kata dalam puisinya "dikutuk sumpahi eros", dikutuk menyumpahi eros, nah sedangkan eros dalam mitologi yunani adalah salah satu dewa cinta atau dewi kesuburan, sang aku ini dikatakan telah menyumpahi dewa itu sehingga kesuburan dan cinta tidak datang kepada diri sang "aku" sebagai penderita, juga hal itu terlihat di baris selanjutnya "merangkaki dinding buta, tak satu juga pintu terbuka", dalam artian sang "aku" berusaha sekuat tenaga sampai tidak sadar akan dirinya, tapi tak ada satupun jalan keluar untuk dirinya dari kesukaran yang dialaminya.

Pada bait ketiga dilukiskan bahwa sang "aku" ini menyerah akan ketidakpantasan nya terhadap cintanya, karena meski tanpa adanya dia, orang yang ia cintai tidak akan berada dalam kesulitan apapun, terlihat dalam cara pemilihan kata nya "baik juga kita padami, unggunan api ini" unggunan api ini maksudnya adalah perjuangannya atau bahkan hidupnya, lalu di akhir baris dari bait terakhir "aku terpanggang tinggal rangka", maksudnya dia sudah tidak berarti apa-apa sekarang karena lelahnya dia berjuang dan akhirnya dia menyerah maka tidak tersisa apapun dari dirinya hanya tinggal rangka yang mungkin dimaksudkan sebagai penyokong hidupnya, yaitu jiwa dan ruh sang "aku" dalam puisi ini.

Dari analisis puisi tersebut kita bisa menyadari bahwa puisi bukan hanya sekedar kata-kata sederhana yang dibuat asal saja tetapi mengandung makna tersendiri di dalamnya, begitu indah karya yang diciptakan manusia, maka dari itu cobalah berkarya dan menjadi manusia yang berguna. (filhamrhamdani)


Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Dalam puisi yang berjudul ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang dalam. Dalam kesedihan tesebut, penyair tetap tegar. Demikian pula pada isi puisinya, di dalamnya tak satu pun kata ”sedih”yang diucapkan, tetapi ia mampu mengungkapkan kesedihan yang dirasakannya. Penyair membawa imaginasi pembaca untuk turut serta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini bercerita tentang suatu yang suram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.

Pada puisi diatas, penyair berhasil menghidupkan suasana dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakai mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.

Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam. Kata kelam sengaja dipilihnya karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, penyair mengungkapkan dengan kata-kata: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak.

(ryudi.wordpress.com)




Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Chairil Anwar, 1946)


Pada puisi “Cintaku Jauh Di Pulau” terdiri atas 16 larik, masing-masing larik terdiri atas empat sampai tujuh kata. Dengan melihat jumlah larik dan kata-katanya itu kita dapat mengelompokkannya ke dalam puisi pendek. Pada larik pertama dan kedua menuju larik ke tiga tersebut di pisahkan oleh spasi atau jarak, begitu juga pada larik ketiga sampai keenam menuju larik ketujuh sampai kesepuluh dipisahkan juga oleh spasi atau jarak. kekasih tokoh aku lirik yaitugadis manis berada di suatu tempat yang jauh.

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Bait pertama Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirianatau sedang iseng tanpa kehadiran tokoh aku.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Bait kedua aku lirik menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai atau menemui kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus dan malam ketika bulan bersinar, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.

Puisi ini mengemukakan usaha akulirik yang akan menyampaikan keinginanya yang sangat diidam-idamkan, yang dikiaskan sebagai gadis manis yang mungkin gadis manisnya itu adalah pacarnya yang sedang berada di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan berjalan dengan baik, perjajalan lancar: bulan memancar, perahu melancar, dan angin membantu bertiup dari buritan, namun akulirik merasa bahwa tidak ada mencapai pacarnya yang disebut gadis manis yang selalu dicita-citakan. Hal ini disebabkan oleh perasaan bahwa maut akan lebih awal adatang. Maka dari itu meski sudah menghabiskan banyak waktu dan segala usaha telah dilakukannya hal itu akan menjadi percuma karena sudah diatur oleh garis nasib.

Sajak ini terkandung pertautan yang saling berhubungan antara unsur dan makna. Khayalan percintaan pun terdapat dalam sajak itu, antara lain adalah ole-ole, si pacar, cintaku, dan gadis manis. Suasananya identik dengan keindahan dan keromantisan, antara lain adalah laut terang, bulan memancar, perahu melancar, dan berpelukan yang merupakan kata kerja. Suasana keromantisan tersebut berlatar pada laut yang mengandung perahu melancar, laut terang, bulan memancar, angin membantu, laut terang, angin mendayu, dan air yang terang. Kombinasi antara bunyi kata dan pemilihan kata akan membantu dalam memperkuat makna, menjadikan tatanan kata yang menarik, serta memiliki keindahan arti. Bila dipikirkan lebih mendalam, dalam mengarungi samudra selalu dikhawatirkan mara bahaya apa saja, dan hal itu ditempuh dalam kurun waktu yang sangat lama.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Bait ketiga menceritakan perasaan aku lirik yang semakin sedih karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya. Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”.

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?

Sedangkan bait ke empat menunjukkan aku lirik putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya terlebih dahulu sebelum ia bertemu dengan kekasihnya. Suasana bait ke tiga dan keempat ini sangat berbeda dengan bait kedua, suasana hatinya diliputi kesedihan. Maknanya diperkuat dengan vokal a dan u yang identik dengan keterpurukan dalam kata dan kalimat sebagai berikut: melaju, penghabisan, ajal, bertahun kutempuh, perahu merapuh, sebelum sempat berpeluk dengan cintaku, bertahun kutempuh. Dari bait pertama sampai bait keempat ini dapat disimpulkan bahwa semua mangandung isi kesedihan yang sangat mendalam dan semakin berganti bait, kesedihan itu semakin memuncak. Emosionalitas aku lirik disini sangat tergambar dengan tulisannya yang seperti tidak terima.

Aku lirik cerdas dalam menggambarkan sesuatu yang akan dicapai. Untuk pencapaian sebuah hadiah yang disitu berupa gadis manis menggambarkan semangat aku lirik yang membara dalam mengarungi perjalannya diatas lautan samudra yang bertahun-tahun aku lirik tempuh.

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

Sedangkan bait kelima merupakan kekhawatiran akulirik tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia. Masih diliputi kumpulan kata sedih hingga terangkai kalimat yang memilukan.

Hasil analisis makna tiap bait harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku lirik adalah kiasan dari cita-cita aku lirik yang sukar dicapai. Untuk meraihnya aku lirik harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. tetapi usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya. Serangkaian bait-bait itu, dari bait pertama hingga bait kelima tercipta kolaborasi yang dekat dan erat. Bait satu dengan berikutnya tetap saling berhubungan. Puisi ini ini dibuat mungkin karena akulirik memang sudah mendapat bisikan alam, bahwa aku lirik memang sudah tidak jauh dari ancaman maut. Aku lirik memiliki rasa-rasa atau firasat yang terus membayanginya hingga tercipta puisi yang menyentuh hati ini. Bahasa puisi ini memberikan makna lain daripada bahasa biasa sehingga dapat merasakan rintihan dan kekecawaan yang sangat besar.
Daftar Rujukan
Eneste, Pamusuk. 2012. Aku ini Binatang Jalang Chairil Anwar. Jakarta: Gramedia Pustaka 
Utama.
Suwignyo, Heri. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asah Asih Asuh.


Kawanku dan Aku

Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat.
Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti

Analisis Makna

Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal di pelabuhan

Dalam empat baris pertama sajak ini Chairil Anwar mencoba menyelaraskan irama bunyi setiap akhir baris, antara larut dan kabut, badan dan pelabuhan. Di sini chairil Anwar mencoba menceritakan sebuah perjuangan antara si “aku” dan “temannya” yang dirangkum dalam kata “kami” dengan penuh perjuangan hingga berkeringat.

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata…?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa!

Selanjutnya dia menceritakan bagaimana kebekuan alam telah menjadikan darah menjadi pekat tanpa gerak. Sedangkan temannya sudah tinggal tulang, karena setiap hari harus menguras tenaga.

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti

Kesimpulan
Pekerjaan yang yang telah menguras banyak tenaga, ternyata upah tak seberapa atau hasil yang didapatkan tidak sesuai harapan. Semua yang dilakukan seperti sia-sia

(kukuhprakosa)


Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
Layar merah berkibar hilang dalam kelam,
Kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi
Mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

note:
Sampai saat ini saya belum menemukan makna yang pasti untuk puisi Chairil Anwar yang satu ini, bagi sahabat yang memiliki kecakapan dalam memaknai sebuah puisi harap bantuannya untuk melengkapi tulisan ini. Anda dapat mengirimkannya ke satukara.com@gmail.com




Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943

Tema
Puisi ' Doa´ karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan.
Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti.
Pertama, diksi yang digunakan sangat kentaldengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata `dua´ yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan Sang Pencipta. 
Kata-kata lain yang mendukung tema adalah:
Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau,caya-Mu, di pintu-Mu.
Kedua, dari segi isi puisi tersebut menggambarkan sebuah renungandirinya yang menyadari tidak bisa terlepas dari Tuhan.
Dari cara penyair memaparkan isi hatinya, puisi´Doa´sangat tepat bila digolongkan padaaliran ekspresionisme, yaitu sebuah aliran yang menekankan segenap perasaan atau jiwanya.
Perhatikan kutipan larik berikut :
(1) Biar rusah sungguhMengingat Kau penuh seluruh
(2) Aku hilang bentuk remuk
(3) Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Puisi yang bertemakan ketuhanan ini memang mengungkapkan dialog dirinya denganTuhan.
Kata `Tuhan´ yang disebutkan beberapa kali memperkuat bukti tersebut, seolah-olah penyair sedang berbicara dengan Tuhan.
Nada dan Suasana
Nama berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) atau sikap penyair terhadap pembaca. Sedangkan suasana berarti keadaan perasaan pembaca sebagai akibatpembacaan puisi.
Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan betapa dekatnyahubungan penyair dengan Tuhannya. Berhubungan dengan pembaca, maka puisi `Doa´tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan. Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan.
Hayatilah makna hidup ini sebagai sebuah pengembaraan di negeri `asing´.
Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ´Doa´ gambaranperasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksiyang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, Aku hilang bentuk, remuk, Akutak bisa berpaling.
Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ´Doa´ ini berisi amanat kepada pembacaagar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanattersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ´pengembaraan di negeriasing´ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku,
Di Pintu-Mu Aku mengetukAku tidak bisa berpaling
(http://nzsidik.blogspot.co.id)


Kepada Peminta-minta

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku


A. Makna Puisi “Kepada Peminta-Minta”
Karya : Chairil Anwar
Baik, baik aku akan menghadap Dia 
Menyerahkan diri dan segala dosa 
Tapi jangan tentang lagi aku 
Nanti darahku jadi beku.
“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.


Jangan lagi kau bercerita    

Sudah tercacar semua di muka    

Nanah meleleh dari luka    

Sambil berjalan kau usap juga.
“ Tokoh aku yang tidak suka mendengar si pengemis meminta-minta sambil memasang wajah susah dan sengsara, bahkan walau keringat banyak bercucuran ia tetap meminta dengan nada yang kasihan sampai ada yang memberinya uang”.
Bersuara tiap kau melangkah    

Mengeerang tiap kau memandang    

Menetes dari suasana kau dating    

Sembarang kau merebah.
“ Dari sudut pandang tokoh aku ia melihat si pengemis selalu meminta belas kasihan di setiap lanngkahnya, mengiba disetiap pandangannya, dan menangis setiap saat dan dia selalu tidur dimanapun dia berada”.
Mengganggu dalam mimpiku    
Menghempas aku di bumi keras    
Di bibirku terasa pedas    
Mengaum di telingaku.
“ Tokoh aku selalu kepikiran dengan sikap si pengemis, Membuatnya berpikir tentang kehidupan yang begitu sulit dan rumit, namun ia ingin mengatakan sesuatu yang selalu menjanggal dipikirannya kepada si pengemis agar mencari nafkah yang lebih baik dari pada meminta-minta”.
Baik, baik aku akan menghadap Dia    
Menyerahkan diri dari segala dosa    
Tapi jangan tentang lagi aku    
Nanti darahku jadi beku.

“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.


B. Unsur Intrinsik Puisi “Kepada Peminta-minta”

Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam naskah puisi tersebut. Adapun unsur-unsur intrinsic puisi yang berjudul “Kepada Peminta-minta” meliputi:

  • Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Tema puisi yang berjudul ”Kepada Peminta-minta” adalah keperihatinan dan ketidak setujuan. Disini tokoh aku tidak suka melihat pengemis mencari nafkah dengan cara meminta-minta, walaupun kehidupan sangat rumit namun tokoh aku berharap pengemis mencari nafkah dengan cara yang lebih baik.
  • Tipografi

Tipografi disebut juga ukiran bentuk puisi. Tipografi adalah tatanan larik, bait, dan baris.



No
Bentuk Puisi
Kepada Peminta-minta
1
Bait
Terdapat 5 bait
2
Baris
Tiap bait terdiri dari 4 baris
  • Perasaan

Perasaan dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya. Perasaan yang terdapat dalam “Kepada Peminta-minta” mampu  mengungkapkan isi hati penyair yang begitu menginginkan pengemis untuk tidak lagi meminta-minta dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Penggunaan kata-katanya sederhana namun dapat membangkitkan perasaan pembaca yang ingin melihat perubahan terhadap cara untuk mencari nafkah. Dalam kalimat  

Mengganggu dalam mimpiku    
Menghempas aku di bumi keras    
Di bibirku terasa pedas    
Mengaum di telingaku.
Penyair mengungkapkan perasaan yang ingin diutarakan kepada pengemis dimana Tokoh aku selalu kepikiran dengan sikap si pengemis, Membuatnya berpikir tentang kehidupan yang begitu sulit dan rumit, namun ia ingin mengatakan sesuatu yang selalu menjanggal dipikirannya kepada si pengemis agar mencari nafkah yang lebih baik dari pada meminta.
  • Nada dan Suasana
Nada berkaitan erat dengan suasana. Nada bahagia yang diciptakan penyair dapat menimbulkan perasaan senang pada pembaca setelah membaca puisi. Nada religius menimbulkan suasana khusyuk pada pembaca. Nada kritik menimbulkan suasana pemberontakan pada hati pembaca. Begitulah sangat eratnya hubungan nada dan suasana. Puisi “Kepada Peminta-minta” bernada terpaksa seperti yang ditunjukkan oleh kalimat 
Baik, baik aku akan menghadap Dia    
Menyerahkan diri dan segala dosa    
Tapi jangan tentang lagi aku    
Nanti darahku jadi beku.

“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.

Suasana yang timbul akibat nada yang disodorkan penyair tersebut membuat pembaca setuju bahwa dalam mencari nafkah tidak seharusnya dengan cara meminta-minta selama kita masih mampu untuk berusaha.

  • Diksi

Persoalan pemilihan kata merupakan masalah yang sungguh-sungguh esensial untuk melukiskan dengan sejelas-jelasnya wujud dan perincian materi. Diksi sendiri berarti pemilihan kata, yaitu pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran.

Kata-kata yang dipergunakan dunia persajakan di samping memiliki arti denotatif dapat pula memiliki arti konotatif. Berikut perbandingan pemakaian kata-kata konotatif dalam puisi ” Kepada Peminta-minta” tersebut:

Bait
Kepada Peminta-minta

1
Menyerahkan diri dan segala dosa
(baris 2)

    2
Nanti darahku menjadi beku
(baris 4)


3
Nanah meleleh dari muka
(baris 1)

4
Mengerang tiap kau memandang
(baris 2)

5
Menghempas diri di bumi keras
(baris 2)

6
Menyerahkan diri dan segala dosa
(baris 2)

7
Nanti darahku menjadi beku
(baris 4)

  • Citraan

Citraan atau imagi (imageri) adalah gambaran angan yang timbul setelah seseorang membaca karya sastra dalam hal ini puisi. Imageri dapat kita pakai sebagai hal untuk memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan nantinya akan menjelmakan gambaran nyata. Citraan yang terdapat dalam puisi “Kepada Peminta-minta” meliputi citraan penglihatan, citraan pendengaran, dan citraan gerak. Berikut ini citraan yang terdapat pada puisi tersebut:


Citraan
Kepada Peminta-minta

Penglihatan
Nanti darahku jadi beku
(bait 1 & 5, baris 4)

Telah tercacar semua di muka
(bait 2, baris 2 )

Nanah meleleh dari muka
(bait 2, baris 3)

Sembarang kau merebah
(bait 3, baris 4)


Pendengaran
Bersuara tiap kau memandang
(bait 3, baris 1)

Mengaum di telingaku
(bait 4, baris 4)

Gerak
Sambil berjalan kau usap jua
(bait 2, baris 4)

  • Gaya bahasa

Bahasa Figuratif

Dalam puisi Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar terdapat bahasa figuratif yang muncul yaitu pada baris ke 4 dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat berlebih-lebihan. Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain itu pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18. Terjadi pengulangan pada kata baik, dalam konteksnya yaitu baik, baik aku akan menghadap Dia.

  • Verifikasi
Verifikasi adalah berupa rima (persamaan bunyi pada puisi, di awal, di tengah, dan di akhir); ritma (tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lemahnya bunyi). Vertifikasi yang terdapat dalam puisi ”Kepada Peminta-minta” adalah bait pertama dan bait kelima.
  • Majas

Majas adalah cara penyair menjelaskan pikirannya melalui gaya bahasa yang indah dalam bentuk puisi. Gaya bahasa yang terdapat dalam puisi “Kepada Peminta-minta” adalah hiperbola. Berikut ini gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam puisi tersebut:

Gaya Bahasa
Kepada Peminta-minta
Hiperbola
Nanti darahku jadi beku
(bait 1 dan 5, baris 4)
Nanah meleleh dari muka
(bait 2, baris 3)
Menghempas diri di bumi keras
(bait 4, baris 2)
Mengaum di telingaku
(bait 4 baris 4)
  • Amanat

Amanat atau pesan adalah sesuatu yang ingin disampaikan penyair melalui karyanya. Amanat puisi “Kepada Peminta-minta” adalah ajakan penyair kepada pembaca agar tetap berusaha dalam mencari nafkah untuk dirinya sendiri serta keluarganya dan mencari pekerjaan yang lebih baik.


C.  Unsur Ekstrinsik Puisi “Kepada Peminta-minta”

  •  Biografi Pengarang

Unsur biografi adalah latar belakang atau riwayat hidup penulis.

Chairil Anwar dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.



Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah  lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman. Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. 



Chairil Anwar juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J.Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. Semasa kecil di Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta 

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. 



Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”



Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. 

Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

  • Unsur nilai dalam cerita meliputi nilai ekonomi, politik, sosial, adat-istiadat, budaya, dan lain-lain.
  1. Nilai ekonomi adalah kita harus berusaha mencari nafkah dan pekerjaan yang lebih baik, buktinya : tokoh aku menginginkan si pengemis mencari nafkah dengan cara yang lebih baik, sehingga si pengemis bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada meminta-minta.
  2. Nilai sosial adalah kita sesama manusia harus saling membantu dan tolong menolong. Buktinya : tokoh aku membantu si pengemis dengan cara memberikannya uang dan nasihat.
  3. Nilai politik adalah kita sebagai penerus bangsa harus menjadi orang yang memiliki kehidupan yang lebih baik untuk dirisendiri, Negara, dan bangsa. Buktinya tokoh aku ingin melihat Negara Indonesia menjadi maju dengan masyarakat yang terus berusaha mencari nafkah dengan pekerjaan yang lebih baik dan mengurangi tingkat populasi pengemis maupun gelandangan.
  4. Nilai agama adalah kita sebagai umat islam harus selalu berusaha dengan segenap kemampuan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Allah SWT. Butinya : tokoh aku tidak suka melihat seorang pengemis yang meminta-minta, sedangkan dalam agama Allah SWT menganjurkan umatnya untuk berusaha selama ia bisa melakukannya.
  5. Nilai budaya adalah kita sebagai generasi penerus harus melestarikan kebiasaan yang baik dan menjauhi kebiasaan yang buruk. Buktinya : melakukan si pengemis akan menjadikan pekerjaan meminta-minta sebagai kebiasaan sehingga ia malas untuk berusaha.
  6. Nilai pendidikan adalah kita sebagai penerus bangsa harus berusaha dalam belajar agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan berkecukupan.
  • Latar Belakang Puisi
Pada puisi ”Kepada Peminta-minta” penyair menggambarkan bahwa ia merasa kecewa serta marah terhadap pengemis dan ia ingin si pengemis mencari nafkah dengan cara yang lebih baik, sehingga penyair menggambarkan perasaannya melalui puisi ini.


Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu



Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!




Hampa
Kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai di puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.



PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!




YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS 

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.


RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
27 april 1943 


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
1944

3 Responses to "Kumpulan Puisi Chairil Anwar Beserta Makna dan Unsur"

  1. Izin copy puisinya ya. Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. kalo karya Chairil Anwar sudah tidak diragukan lagi orisinalitas dan kedalamannya
    (Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel