Maafkan Mama Ra

"Kalau Mama pergi ke rumah Mbah Kakung, Ara di rumah aja sama Bapak ya," ujarku sambil membelai lembut kepala gadis kecil itu.
Ara, putriku yang baru berumur lima tahun itu masih terdiam. Seolah ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.

"Ara ikut Mamah. Ara enggak mau ditinggal!" Tiba-tiba Ara memelukku.
Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang mulai menetes. Ara menangis. Kupeluk erat tubuh mungil itu. Pelukan terakhir sebelum aku mantap melangkahkan kaki keluar dari rumah ini.

"Ara kan harus sekolah, Nak."
"Tapi nanti kalau Ara pengin minum susu siapa yang buatin, Mah?" Gadis kecil itu bertanya dengan polosnya.
"Kan ada Mbah Rayi, Nak." Aku tersenyum. Berusaha sekuat tenaga menahan agar netra ini tak ikut mengembun.

"Kalau yang buat Mbah Rayi, enggak enak." Ara kembali merajuk.
"Minta buatin Bapak aja ya, Nak?"
"Kalau Bapak yang buat, enggak seenak buatan Mamah. Ya udah kalau gitu Ara nggak mau minum susu lagi."

Mendengar jawaban Ara, ada sesuatu yang menyesakkan di dalam dada. Sangat menyakitkan. Tak bisa kubayangkan hidup tanpa Ara. Sehari saja tidak mendengar suaranya, aku begitu merasa kehilangan.

Aku kembali memeluk Ara. Bertubi-tubi mencium kepala dan wajahnya. Sementara Ara hanya menatapku sendu.
"Mamah berapa lama di rumah Mbah Kakung?" tanya Ara sesaat setelah kulepas pelukan pada tubuhnya.

Kuurungkan niat mengemas pakaian ke dalam tas. Menatap kembali malaikat kecilku itu. Ara terduduk di atas tempat tidur sambil matanya terus tertuju pada segala gerakku.
"Sampai Mamah sembuh, Nak." Aku mendudukkan Ara di pangkuan. Terpaksa berbohong karena Ara tak mungkin paham apa yang telah terjadi di antara kedua orang tuanya.
Malam itu kuhabiskan waktu untuk bercerita dengan Ara. Menjadi malam terakhir dengannya karena esok aku harus pergi dari rumah ini.

....

"Mah, dede kemarin jatuh," ujar Ara tak lama setelah ia menceritakan segala aktivitasnya belakangan ini.
"Kok bisa, Nak? Dedek lari-lari ya? Ada yang luka?" Aku begitu mengkhawatirkannya. Gadis kecil itu hanya tertawa renyah.
"Ara enggak lari kok, Mah. Lagi jalan, terus tiba-tiba kena batu. Ini luka kayak gini."
Ia menunjukkan luka itu. Seketika ada sesuatu yang teriris di dalam hati. Betapa tak berdayanya aku sebagai ibu. Saat putri semata wayangku terjatuh dan terluka, aku tidak berada di sampingnya.
"Masih sakit, Nak?"

"Masih, Mah." Tanpa menunjukkan kesakitan sedikit pun, Ara justru tertawa lagi.
Ingin rasanya kupeluk tubuh mungil itu. Menciuminya bertubi-tubi. Tapi apalah daya, jarak begitu jauh memisahkan. Allah SWT belum mengizinkan kami untuk berjumpa. Saat ini hanya lewat panggilan video-lah kami saling melepas rindu.

Namaku Haznah, seorang ibu yang terpaksa meninggalkan putri semata wayangku bersama Bapaknya. Rumah tangga kami tak bisa diselamatkan lagi setelah dengan terang-terangan Mas Rio, suamiku, menjatuhkan talak dan memilih untuk hidup bersama wanita lain.
Hak asuh Ara jatuh ke tangan Bapaknya. Kini, setahun sudah kami berpisah. Meski seminggu sekali aku dan Ara berbincang lewat telefon, tapi kerinduanku padanya tak pernah usai. Aku begitu merindukan Ara. Hari-hariku terasa hampa tanpa celoteh dan tangis manjanya.

....

Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa tepat delapan tahun aku dan Ara berpisah. Komunikasi yang awalnya baik pun menjadi buruk. Tak ada lagi kabar darinya. Sedih dan pedih kurasa. Tapi aku hanya bisa pasrah. Menerima atas takdir yang telah Allah gariskan untukku.

Hari ini menjadi peristiwa paling bahagia untukku. Saat dari kejauhan kulihat seorang anak perempuan berjalan mendekat bersama lelaki yang pernah begitu sangat mencintaiku dulu.
Hijab warna merah muda yang ia pakai berkibar tertiup angin. Ara, gadis kecilku sudah tumbuh menjadi perempuan nan jelita. Sebuket bunga dan sebuah piala dipeluknya erat. Wajah gadisku itu terlihat begitu sendu. Dari sudut matanya gerimis pun mulai jatuh membasahi pipi.

"Assalamu'alaikum, Mah. Maaf ya, Ara baru bisa menengok ke sini. Ara sibuk mengikuti serangkaian olimpiade, dan lihatlah Ara juara, Mah." Matanya berbinar. Tangannya mengangkat piala yang sedari tadi ia peluk.

"Mamah pasti bangga padamu, Nak," ujar Mas Rio, mantan suamiku sembari memegang erat pundak Ara.
Tak lama kemudian Ara dan Mas Rio pergi. Meninggalkan sebuket bunga mawar putih kesukaanku dulu. Kini, di sinilah aku sekarang. Terbaring di tempat peristirahatan terakhir. Setelah masa untukku hidup di dunia habis.

-Selesai-
Uzwatun Hazanah
pxhere.com

0 Response to "Maafkan Mama Ra"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel