Biografi, Prestasi dan Kumpulan Karya Sastrawan Indonesia W.S. Rendra
Biografi W.S. Rendra
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Nama Lahir: Willibrordus SurendraTempat & Tanggal Lahir: Solo, 7 November 1935Meninggal: 6 Agustus 2009 (umur 73) di Depok, Jawa BaratPekerjaan: Penulis, Pemeran dan Sutradara TeaterKebangsaan: IndonesiaPendidikan: Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada. American Academy of Dramatic ArtsGenre: Puisi, Drama, TerjemahanTema: Politik, Cinta, Alam, dan lain-lain.Karya terkenal: Blues untuk BonniePenghargaan: Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), S.E.A. Write Award (1996), dan banyak lagi.Pasangan: Sunarti Suwandi, Raden Ayu Sitoresmi, Prabuningrat, Ken ZuraidaAnak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, Clara Sinta, Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, Rachel Saraswati, Isaias Sadewa, Maryam SuprabaKerabat: Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, Raden Ayu Catharina Ismadillah (orang tua), Adi Kurdi (adik ipar)
Dr.H.C Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. (lahir di Solo, 7 November 1935-meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) dikenal sebagai W.S. Rendra adalah penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater berkebangsaan Indonesia.
Pendidikan W.S. Rendra
- TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
- SD s.d. SMA Katolik
- SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
- Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- Mendapat beasiswa American Academy of Dramatic Arts (1964–1967).
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya.
Ia pertama kali memublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan 70-an.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Festival-festival yang pernah diikuti W.S. Rendra di luar negeri, di antaranya:
- The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979)
- The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985)
- Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985)
- The First New York Festival Of the Arts (1988)
- Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989)
- World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992)
- Tokyo Festival (1995).
Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya.
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Prestasi & Penghargaan W.S. Rendra
- Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
- Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
- Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
- Hadiah Akademi Jakarta (1975)
- Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
- Penghargaan Adam Malik (1989)
- The S.E.A. Write Award (1996)
- Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, Yang Muda Yang Bercinta ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul Seni Drama untuk Remaja dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.
Kumpulan Karya W.S. Rendra
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Orang-orang di Tikungan Jalan ini menceritakan tentang beragam permasalahan yang dimiliki setiap tokohnya yang bertemu tepat di tikungan jalan, banyak permasalahan yang ada dan tentu dengan konflik yang berbeda-beda, namun semua permasalahan selesai pada malam pertemuan itu juga.
Di dalam drama ini, Sri adalah seorang wanita jalang, Sri mengajarkan pembaca bahwa seburuk-buruknya moral seorang Pekerja Seks Komersial tetap memiliki pearasaan dan rasa sayang pada seseorang layaknya manusia biasa. Joko yang sedang memiliki masalah dan merasa gundah dengan masa lalunya, mengajak Sri untuk bercinta dan meringankan bebannya, awalnya Sri mau melayani Joko, namun Sri berubah pikiran karena ada seorang lelaki tua yang mau menikahinya dan mau menerima Sri apa adanya dan Sri cukup merasa terharu dengan apa yang telah dilakukan lelaki tua itu, akhirnya Sri memutuskan meninggalkan pekerjaannya karena Sri merasa setelah menikah dengan lelaki tua itu, segala kebutuhan hidupnya akan ditanggung dan dijamin. Tentu Joko cukup kecewa karena sebenarnya Joko menyukai Sri meskipun Sri seorang wanita jalang, dan Joko semakin depresi, hingga akhirnya mantan kekasih Joko kembali dan meminta Joko menikahinya, namun Joko menolak karena Joko merasa sudah terlalu sakit, hingga akhirnya Joko lebih memilih untuk sendiri.
Lalu adapula kisah seorang yang mengakunya Anak Jaddah yang menurut orang setempat sedikit gila karena mencari seorang ayah, dia selalu menyebut dirinya sebagai Anak Jaddah karena dia tak tahu dimana keberadaan ayahnya namun ayahnya tahu keberadaannya, ibunya meningal sudah cukup lama, sedangkan ayahnya seorang pemabuk berat, menurut ayah Anak Jaddah ini, dengan bermabuk semua masalah hilang, namun Anak Jaddah yang memiliki sakit jiwa ini tak mau mengakui ayahnya sebagai ayah kandungnya, hingga pada akhirnya ayah dan anak jaddah sama-sama meninggal karena bunuh diri.
(Sumber catatanlilah.blogspot.com)
****
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
“Selamatan Anak Cucu Sulaeman” adalah sebuah alternatif di luar suka atau tidak suka. Namun fenomena ini menunjukkan kelebihan Rendra, di mana dunia sepi, tidak sepi bagi dia.
“Bagi orang kreatif, yang menciptakan iklim adalah dirinya sendiri. Untuk berkarya tidak harus sepi atau ramai, tetapi tetap hadir dan mengalir. Walaupun pada masa lalu saya pernah mendapatkan larangan pentas, tetapi soal berkarya tetap saya lakukan,” tandasnya.
Sumber: Harian Suara Pembaruan, 19 Desember 1988
****
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Drama “Mastodon dan Burung Condor” ciptaan Rendra itu mengisahkan konfrontasi antara penguasa dan mahasiswa serta kaum intelektual di Amerika Latin. Konflik tak terselesaikan karena masing-masing bersifat ekstrim sampai datang sang seniman (diperankan Rendra sendiri) yang mengemukakan konsep penengah meski hanya berupa pertanyaan-pertanyaan.
Pementasan drama ini untuk pertama kalinya di gedung Olah Raga Kridosono Yogya, pada tanggal 24 November yang lalu berhasil memancing perhatian ratusan penonton meski harga karcisnya tinggi. Menurut rencana, drama ini sebelum ke Jakarta akand ipentaskan dulu di Bandung pada tanggal 7 dan 8 Desember 1973.
Sumber: Harian Kompas, 4 Desember 1973.
****
Lingkaran Kapur Putih
Mengapa Lingkaran Kapur Putih yang disadur rendra dari karya Bertold Brecht menjadi begitu membosankan? Protes sosial yang disisipkan ke dalamnya, yang itu-itu juga, justru bak lumpur yang menghambat waktu berjalan. Jawaban itu barangkali bisa ditemukan dalam adegan ketika si Azdak menjadi hakim.
Untuk mengesankan bagaimana kurang ajarnya hakim ini, disuguhkan adegan sejumlah perkara yang harus diputuskannya: dan itu lama sekali. Naskah Brecht ini kemudian jadi melebar dipaksa-paksa, seolah-olah sebuah pertunjukan besar harus makan waktu panjang. Atau mungkin untuk memuaskan sponsor, Sanggar Keswari, bahwa ia tak sia-sia membayar banyak karena drama ini memang panjang.
Dan ini bisa dijadikan dasar pertnyataan bahwa rendra memang komunikatift Tapi toh tak bisa dijadikan dasar kriteria apakah pementasan ini baik atau buruk. Dan setelah “Perjuangan Suku Naga” yang membosankan, setelah “Egmond” menyuruh penonton meninggalkan tempat duduk sebelum drama itu usai, kini “Lingkaran kapur Putih” memang tak jauh membosankan dari kedua drama yang mendahuluinya itu: kalau tak lebih lagi (BB).
Sumber: Majalah Horison, Nomor 2 tahun XI, Pebruari 1976
****
Panembahan Reso (1986)
Panembahan Reso pertama kali dipentaskan Bengkel Teater pada 26-27 Agustus 1986. Pertunjukan itu sebagai kritik budaya WS Rendra terhadap praktik-praktik kekuasaan rezim Orde Baru yang represif terhadap masyarakat.
Panembahan Reso sejatinya merupakan epos yang merefleksikan betapa hasrat membabi buta terhadap kekuasaan selalu menimbulkan aspek-aspek delusional seorang pemimpin dan pengikutnya. Sejumlah pengamat budaya mengatakan, Panembahan Reso mampu membedah secara dalam watak dan psikologi seorang pemimpin yang kehilangan kontrol terhadap akal sehat dan terseret ke ilusi-ilusi pribadi.
****
Kisah Perjuangan Suku Naga
Fakta yang ditemukan pada naskah Kisah Perjuangan Suku Naga, menjelaskan bahwa Rendra, sebagai seorang seniman, sangat peduli terhadap lingkungan hidup baik sebagai sistem tata masyarakat atau lingkungan hidup sebagi bentuk fisik, Rendra juga menolak bentuk eksploitasi alam dalam segala bentuk, terutama pertambangan tanpa kajian AMDAL yang benar dan bisa mengakibatkan kerusakan alam. Selain itu, Rendra menolak menjadikan desa dan khasanh ritual suatu kebudayaan dijadikan komoditi pariwisata meskipun menjadi devisa bagi negara.
Karya Drama W.S. Rendra lainnya:
- Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) – 1967
- SEKDA (1977)
- Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama
- Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
- Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
- Lysistrata (terjemahan)
- Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
- Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
- Kasidah Barzanji
- Shalawat Barzanji
- Sobrat
Kumpulan Puisi W.S. Rendra
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Ballada Orang-Orang Tercinta merupakan kumpulan sajak pertama W.S. Rendra. Sejumlah sajak yang ditulisnya pada periode 1950-an itu dikumpulkan menjadi satu dalam buku ini dan diterbitkan pada tahun 1957 di Jakarta oleh PT Pembangunan. Sampai sekarang Ballada Orang-Orang Tercinta sudah berkali-kali mengalami cetak ulang. Cetakan ke-8 tercatat pada tahun 1996 di Jakarta oleh penerbit Pustaka Jaya.
Ballada Orang-Orang Tercinta memuat sejumlah sajak yang ditulis dengan gaya serupa. Sajak-sajak tersebut adalah:
Ballada Kasan dan Patima
merataplah patima perawan tua.
Lari ke makam tanah mati
buyar rambutnya sulur rimba
di tangan bara dan kemenyan.
Patima! Patima!
susu dan mata padat sihir
lelaki muda sepikan pinangan
di panasi guna-guna.
Patima! Patima!
ditebahnya gerbang makam
demi segala peri dan puntianak
diguncangnya segala tidur pepokok kemboja
dibangunkan segala arwah kubur-kubur rengkah
dan dengan suara segaib angin padang belantara
dilagukan masmur dan leher tembaga
mendukung muka kalap tengadah ke pusat kutuk:
duh bulan limau emas, jejaka tampan desak-desakkan wajahmu ke dadaku rindu biar pupus dendam yang kukandung
panas bagai lahar, bagai ludah mentari.
patima yg celaka! patima!
duka apa, siksa apa?
peri-peri berapi, hantu-hantu kelabu himpun kutuk, sihir dari angin parang telanjang dan timpakan atas kepala kasan!
akan rontok asam dan trembesi berkembang kerna kasan lelaki bagai lembu, bagai malam dosa apa, laknat apa?
perihnya, perihnya! luka mandi cuka kasan tinggalkan daku, meronta paksaku terbawa bibirnya lapis daging segar mentah penghisap kuat kembang gula perawan.
Dan angin berkata:
berlindung tudung senja mendung berkendara pedati empat kuda bersama anak bini ke barat kota di tanah rendah
dan di tinggalkan daku bersama berahi putih membelai kambing-kambing jantan di kandang.
(oleh nyalanya patima rebah)
beromong angin, dedaun gugur dan rumputan:
bini kasan ludahnya air kelapa.
dan mata tiada nyala guna-guna.
anaknya tiga putih-putih bagai ubi yg subur.
kasan, ya, kasan! Ku tahu siapa kasan!
Pada malam bintang singgah di matanya
lelaki semampai berdarah panas
di dadanya tersimpan beberapa perawan
dan di atas diriku ini kusaksikan
lima dara begitu pasrah dalam pejam mata
berikan malam berbunga, rintihnya bagai nyanyi
dan kasan mendengus bagai sampi.
kutuknya menunggu pada patima!
tanpa cinta diketuknya jendela perawan tua itu.
datang kutuknya! Datang kutuknya!
patima menguncinya bagi hati sendiri
sekali di rasa di perturutkannya
di damba bagai bunga, diusapi bulu kakinya
bagi dirinya cuma! bagi dirinya cuma!
maunya.
datang kutuknya! datang kutuknya!
dan kini ia lari kerna bini bau melati
lezat ludahnya air kelapa.
Bau kemenyan dan kemboja goncang
bangkit patima mencekau tangan reranting tua
menjilat muka langit api pada mata
dilepas satu kutuk atas kepala kasan! Ya, kasan!
Dan kasan berkendara pedati empat kuda
terenggut dari arah dalam buta mata
terlempar ke gunung selatan tanah padas
meraung anak bini, meringkik kuda-kuda
dan semua juga kuda dikelami buta mata.
Datang kutuknya! Datang kutuknya!
Pada malam- malam bergemuruh di tanah kapur selatan
deru bergulung di punggung gunung-gunung
bukan deru angin jantan dari rahim langit:
deru kasan kembara berkendara pedati empat kuda
larikan kutuknya lekat, kecut cuka panas bara.
***
Ballada Lelaki-Lelaki Tanah Kapur
Para lelaki telah keluar di jalanan
dengan kilatan-kilatan ujung baja
dan kuda-kuda para penyamun
telah tampak di perbukitan kuning
bahasa kini adalah darah.
Di belakang pintu berpalang
tangis kanak-kanak, doa perempuan.
Tanpa menang tiada kata pulang
pelari akan terbujur di halaman
ditolaki bini dan pintu berkunci.
Mendatang derap kuda
dan angin bernyanyi :
'Kan kusadap darah lelaki
terbuka guci-guci dada baja
bagai pedagang anggur dermawan
lelaki-lelaki rebah di jalanan
lambung terbuka dengan geram serigala!
O, bulu dada yang riap!
Kebun anggur yang sedap!
Setengah keliling memagar
mendekat derap kuda
lalu terdengar teriak peperangan
dan lelaki hidup dari belati
berlelehan air amis
mulut berbusa dan debu pada luka.
Pada kokok ayam ke tiga
dan jingga langit pertama
para lelaki melangkah ke desa
menegak dan berbunga luka-luka
percik-percik merah, dada-dada terbuka.
Berlumur keringat diketuk pintu.
Siapa itu?
Lelakimu pulang, perempuan budiman!
Perempuan-perempuan menghambur dari pintu
menjilati luka-luka mereka
dara-dara menembang dan berjengukan
dari jendela.
Lurah Kudo Seto
bagai trembesi bergetah
dengan tenang menapak
seluruh tubuhnya merah.
Sampai di teratak
istri rebah bergantung pada kaki
dan pada anak lelakinya ia berkata:
Anak lanang yang tunggal!
kubawakan belati kepala penyamun bagimu
ini, tersimpan di daging dada kanan.
Koyan yang Malang
***
Ballada Sumilah
Tubuhnya lilin tersimpan di kerabda
Tapi halusnya putih pergi kembara
Datang yang berkabar bau kemboja
Dari sepotong bumi keramat di bukit
Makam dari bau kemenyan
Sumilah!
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa
Dan di ujung setiap rintih diserunya
-Samijo! Samijo!
Bulan akan berkerut wajahnya
Dan angina takut nyuruki atap jerami
Seluruh kandungan malam pada tahu
Roh Sumilah meratap dikungkung rindunya
Pada roh Sumijo kekasihdengan belati pada mata.
Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
Bagini mulanya:
Bila pucuk bamboo ngusapi wajah bulan
Ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
Dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama
Malam muntahkan serdadu Belanda dari utara
Tumpah darah lelaki
O kuntum-kuntum delima ditebas belato
Dan para pemuda beibukan hutan jati
Tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi
Demi hati berumahkan tanah ibu
Dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
Dengan kuntum-kuntum darah
Perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang
Terkunci pintu jendela
Gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
Ngeri mengepung hidup hari-hari
Segala perang adalah keturunan dendam
Sumber air pancar yang merah
Bebungan berwarna nafsu
Dinginnya angina pucuk pelor, dinginnya mata baja
Reruntuklah semua merunduk
Bahasa dan kata adalah batu yang dungu
Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
Dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai
Kerna musuh tahu benar arti darah
Memberi minum dari sumber tumpah ruah
Nyawanya kijang diburu terengah-engah
Waktu siang mentari menyedap peluh
Dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali
Di satu semak menggumpal daging perawan
Maka diserunya bersama derasnya darah:
-Siapa kamu?
-Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
Dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia
-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!
-Belum lagi! Demi air daraku merah belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
Tersungkur ia bersama nafsunya kesumur
-O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
Koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu
Lenyaplah segala kerna tiada lagi kau pumya
Bunga yang terpitih dengan kelopak-kelopak sutra
-Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri
Di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya
Dan demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri
Noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati
Lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya
Dan Samijo kerahkan segenap butir darah
Lebih setan dari segala kerbau jantan
Bila dukanya terkaca pada bulan keramik putih
Antara bebatang jati dengan rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba Samijonya
Menyuruk musang, burung gandil nyanyikan balada hitam
Satu tokoh menonggak di tempat luang
Dan berseru dengan nada api nyala:
-Berhenti! Sebut namamu!
Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:
-Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku
Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu
-Tiada kupunya Sumilah. Sumilahku mati!
-Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!
Bulan keramik putih tanpa dara
Warna jingga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!
Bulan keramik putih bagai pisau cukur
Sayati awan dan malam yang selalu meratap
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya
-Samijo, ambil tetesan darahku pertama
Akan terkecap daraku putih, daramu seorang
Batang demi batang adalah balutan kesepian
Malam mengempa segala terperah sendat napas
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya
-Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu
Kau bantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada
Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam
Warna pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:
-Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu
Jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa
Aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!
Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan
Lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati
Tertingga! Sumilah digayuti koyak-moyaknya
Sedihlah yang bercinta kerna pisah
Lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya
Dan segalanya itu tak’kan padam
Kokok ayam jantan esoknya bukanlah tanda menang
Adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang
Karena warga desa jumpai mayat Samijo
Nemani guguran talok depan tangsi Belanda
Merataplah semua meratap
Kerna yang mati menggenggam dendam
Di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia
Kerna dendamnya siksa air matanya terus kembara
Menatap kehadiran Sumilah, dinginya tanpa percaya
Dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa
Gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai
Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpa di keranda
Tapi halusnya putih pergi kembara
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa
Dan di ujung setiap rintih diserunya:
-Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
Pisau baja yang mengorek noda dari dada
Dari tapak tanganmu angina napas neraka
Mendera hatiku berguling lepas dari rongga
Bulan jingga, telaga kepundan jingga
Tapi halusnya putih pergi kembara
Datang yang berkabar bau kemboja
Dari sepotong bumi keramat di bukit
Makam dari bau kemenyan
Sumilah!
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa
Dan di ujung setiap rintih diserunya
-Samijo! Samijo!
Bulan akan berkerut wajahnya
Dan angina takut nyuruki atap jerami
Seluruh kandungan malam pada tahu
Roh Sumilah meratap dikungkung rindunya
Pada roh Sumijo kekasihdengan belati pada mata.
Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
Bagini mulanya:
Bila pucuk bamboo ngusapi wajah bulan
Ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
Dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama
Malam muntahkan serdadu Belanda dari utara
Tumpah darah lelaki
O kuntum-kuntum delima ditebas belato
Dan para pemuda beibukan hutan jati
Tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi
Demi hati berumahkan tanah ibu
Dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
Dengan kuntum-kuntum darah
Perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang
Terkunci pintu jendela
Gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
Ngeri mengepung hidup hari-hari
Segala perang adalah keturunan dendam
Sumber air pancar yang merah
Bebungan berwarna nafsu
Dinginnya angina pucuk pelor, dinginnya mata baja
Reruntuklah semua merunduk
Bahasa dan kata adalah batu yang dungu
Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
Dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai
Kerna musuh tahu benar arti darah
Memberi minum dari sumber tumpah ruah
Nyawanya kijang diburu terengah-engah
Waktu siang mentari menyedap peluh
Dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali
Di satu semak menggumpal daging perawan
Maka diserunya bersama derasnya darah:
-Siapa kamu?
-Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
Dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia
-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!
-Belum lagi! Demi air daraku merah belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
Tersungkur ia bersama nafsunya kesumur
-O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
Koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu
Lenyaplah segala kerna tiada lagi kau pumya
Bunga yang terpitih dengan kelopak-kelopak sutra
-Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri
Di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya
Dan demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri
Noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati
Lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya
Dan Samijo kerahkan segenap butir darah
Lebih setan dari segala kerbau jantan
Bila dukanya terkaca pada bulan keramik putih
Antara bebatang jati dengan rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba Samijonya
Menyuruk musang, burung gandil nyanyikan balada hitam
Satu tokoh menonggak di tempat luang
Dan berseru dengan nada api nyala:
-Berhenti! Sebut namamu!
Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:
-Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku
Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu
-Tiada kupunya Sumilah. Sumilahku mati!
-Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!
Bulan keramik putih tanpa dara
Warna jingga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!
Bulan keramik putih bagai pisau cukur
Sayati awan dan malam yang selalu meratap
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya
-Samijo, ambil tetesan darahku pertama
Akan terkecap daraku putih, daramu seorang
Batang demi batang adalah balutan kesepian
Malam mengempa segala terperah sendat napas
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya
-Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu
Kau bantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada
Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam
Warna pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:
-Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu
Jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa
Aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!
Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan
Lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati
Tertingga! Sumilah digayuti koyak-moyaknya
Sedihlah yang bercinta kerna pisah
Lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya
Dan segalanya itu tak’kan padam
Kokok ayam jantan esoknya bukanlah tanda menang
Adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang
Karena warga desa jumpai mayat Samijo
Nemani guguran talok depan tangsi Belanda
Merataplah semua meratap
Kerna yang mati menggenggam dendam
Di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia
Kerna dendamnya siksa air matanya terus kembara
Menatap kehadiran Sumilah, dinginya tanpa percaya
Dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa
Gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai
Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpa di keranda
Tapi halusnya putih pergi kembara
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa
Dan di ujung setiap rintih diserunya:
-Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
Pisau baja yang mengorek noda dari dada
Dari tapak tanganmu angina napas neraka
Mendera hatiku berguling lepas dari rongga
Bulan jingga, telaga kepundan jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Belah perutnya tapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko Pandan! Di manakah ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja.
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
Ballada Penyaliban
***
Gerilya
Gerilya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
***
Tahanan
Tahanan
Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama
***
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Belah perutnya tapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko Pandan! Di manakah ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja.
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
***
Ballada Penyaliban
Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih.
Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh tugas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.
Mentari meleleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:
- Bapa kami di sorga
telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung.
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala!
Ia melangkah ke Golgota
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.
Tiada jubah terbentang di jalanan
bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.
- Perempuan!
mengapa kautangisi diriku
dan tiada kautangisi dirimu?
Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.
Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah lambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba:
– Bapa, selesailah semua!
***
Ballada Ibu yang Terbunuh
Ibu musang di lindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.
Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian
atas nyawa.
Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula
dedaun tua.
Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin Tenggara.
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.
***
Tangis
Ke mana larinya anak tercinta
Yang diburu segenap penduduk kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ia lari membawa dosa
Tangannya dilumuri cemar noda
Tangisnya menyusupi belukar di rimba
Sejak semalam orang kota menembaki dengan dendam tuntutan mati
Dan ia lari membawa diri
Seluruh subuh, seluruh pagi.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ke mana larinya anak tercinta
Di padang lalang mana?
Di bukit kapur mana?
Mengapa tak lari di riba bunda?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin kemarau
Ibunya yang tua menunggu di dangau
Kalau lebar nganga lukanya
Mulut bunda kan mengucupnya
Kalau kotor warna jiwanya
Ibu cuci di lubuk hati
Cuma ibu yang bisa mengerti
Ia membunuh tak dengan hati
Kalau memang hauskan darah manusia
Suruhlah minum darah ibunya
Paman Doblang! Paman Doblang!
Katakan, ibunya selalu berdoa
Kalau ia kan mati jauh di rumba
Suruh ingat marhum bapanya
Yang di sorga, di imannya
Dan di dangau ini ibunya menanti
Dengan rambut putih dan debar hati
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
Katakan, itulah wajah ibunya
***
Ballada Gadisnya Jamil Si Jagoan
Ballada Gadisnya Jamil Si Jagoan
Begitu ia masuk ke dalam kali
perawan dengan dada-dada pepaya.
Sebab kedua matanya
telah ia tatapkan pada bulan
dan terkaca pada segala
hidup bukan lagi miliknya.
– Jamil! Jamil!
Bahkan pandang terakhir
tiada aku diberinya.
Punahlah sudah punah
lelaki yang hidup dari luka.
Kerbau jantan paling liar
memberi gila di dada berbunga.
Begitu ia masuk ke dalam kali
ikan larikan kail di rabunya
di pusaran putih
segala tuba.
– Jamil! Jamil!
Amis darah di mulutnya
kukulum keraknya kini.
Jamil! jamil!
Bersuluh obor mereka mengejarnya
setelah ia bunuh anak lurah di pesta.
Dan tikaman paling dendam
melepas dahaga hitam
pada tubuhnya yang capai.
Si dara menatap bulan di air
didengarnya bisik arus gaib.
Begitu ia masuk ke dalam kali.
Tiada kemboja di sini
dan gagak-gagak dilekati timah
pada mata-matanya.
Lala! Nana!
Tembang malam dan duka cita!
Angin di pucuk-pucuk mangga.
Tapi siapa ‘kan nyanyi untuknya?
***
Ballada Penantian
Ballada Penantian
Gadis yang dilewati kendaraannya merenda
depan jendela menggantungkan harimuka dan
anggur hidupnya pada penantian lelaki
petualang yang jauh pada siapa dulu telah
ia serahkan kendaraannya yang agung.
Janjinya kembali di Tahun Baru belum juga terpenuhi
(lelaki itu tak punya pos dan pangkalan)
ia menanti depan jendela, dilewati kendaraannya.
Kereta mati membawa ibunya, di belakangnya
tiga Tahun Baru pula tiba.
Usia sendiri meningkat juga di tiap pemunculan bulan muda.
Ia menanti depan jendela, terurai rambutnya.
Kail cinta membenan pada rabu
dilahirkan ke lubuk-lubuk yang dalam
tiada terlepas juga dan tetes darahnya
diulur kembali ke dada.
Ia menanti depan jendela, tetes hujan
merambat di kaca
Adik-adiknya sudah dulu ke alter,
dada diganduli bayi dan lelaki
lukanya menandingi dirinya dari tiap pinangan pulang sia-sia.
Ia menanti depan jendela, ketuaan
mengintip pada kaca
Kandungan hatinya mengilukan jumlah kata
seperti kesigupan gua
sebuah rahasia hitam, apa kepercayaan apa dendam
ditatapnya ujung jalan, kaki langit yang sepi
menelan segala senyumnya.
ia menanti depan jendela,
rambutnya mengelabu juga.
Dendamnya telah dibalaskan pada tiap
lelaki yang ingin dirinya
sebuah demi sebuah khayal merajai dirinya
makin bersilang parit-parit di wajah,
beracun bulu matanya
tatapan dari matanya menggua membakar ujung jalan
Ia menanti tidak lagi oleh cinta.
Ia menanti di bawah jendela, dikubur
ditumbuhi bunga bertuba.
Dendamnya yang suci memaksanya menanti disitu
dikubur di bawah jendela.
***
Ballada Anita
Ketakutan berbentuk lembut bercokol di dadanya
bicara dalam kenekatan memacu lepas-lepas butir darah-butir darah,
meratai bunga-bunga, membungai tiap usia
sebelum dikejuti pintu menutup baginya.
Anita.
Memacu kuda garang, merasuk hidup jalang
ditolaknya setiap perhentian.
Anita.
Dikutukinya cinta sarang cemburu, degil dan duka
berpacu juga ia yang terlanda rebah di kakinya.
Sampai tiba-tiba terpaling kepalanya
satu binar caya mengubah warna iklim
lelaki berotot mengurungnya pada cinta
yang dengan angkuh memandang ke darahnya berpacuan.
Anita.
Lelaki itu memperkosanya di ladang
hujan gerimis menambah ribut dada dan alang-alang,
lalu meninggalkannya dengan dingin mata
menenggelamkan diri bagi bahasa cinta.
Anita.
Derai gerimis menampar muka
kutuk membalik mendera dirinya
dadanya yang subur terguncang-guncang oleh damba.
Anita.
Dijatuhkannya dirinya dari menara.
***
Perempuan Sial
Ia terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya.
Mereka menemuinya tanpa dukacita
dan angin bau karat tembaga.
Mulutnya mengibit berahi layu
bunga biru dan berbau.
Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.
Ah, tubuhnya! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.
Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.
Nizar yang menopangnya dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.
Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari timah.
Ia terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya.
Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan sial!
pestol di tangan dan lubang di jidatnya.
Mereka menemuinya tanpa dukacita
dan angin bau karat tembaga.
Mulutnya mengibit berahi layu
bunga biru dan berbau.
Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.
Ah, tubuhnya! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.
Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.
Nizar yang menopangnya dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.
Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari timah.
Ia terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya.
Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan sial!
***
Di Meja Makan
Di Meja Makan
Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
tatapan matanya pada lain sisi meja
lelaki muda yang dirasa
tidak lagi dimilikinya.
Ruang diributi jerit dada
sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa.
Dipeluknya duka erat-erat
dikurung pada bisu mulut
dan mata pijar warna kesumba.
Lelaki depannya mengisar hati
- sudah lama.
Terungkap rahasia diperam rasa
terkunci pintu hati, hilang
kuncinya - sudah lama.
Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
memisah sudah sebagian nyawanya
di hati ia duduk atas keranda.
Lalu ditutup matanya gabak
gambaran yang digenggam olehnya:
lelaki itu terhantar di lantai kamar
pisau tertancap pada punggungnya.
***
Ada Tilgram Tiba Senja
Ada Tilgram Tiba Senja
(Ada tilgram tiba senja
dari pusar kota yang gila
disemat di dada bunda).
(BUNDA, LETIHKU TANDAS KE TULANG
ANAKDA KEMBALI PULANG).
Kapuk randu! Kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
kuncup-kuncup di hatiku
pada mengembang bemerkahan.
Dulu ketika pamit mengembara
kuberi ia kuda bapanya
berwarna sawo muda
cepat larinya jauh perginya.
Dulu masanya rontok asam jawa
untuk apa kurontokkan air mata?
Cepat larinya
jauh perginya.
Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya
menghunjam ke rimba dan pusar kota.
Tinggal bunda di rumah menepuki dada
melepas hari tua, melepas doa-doa
cepat larinya
jauh perginya.
Elang yang gugur tergeletak
elang yang gugur terebah
satu harapku pada anak
ingat 'kan pulang 'pabila lelah.
Kecilnya dulu meremasi susuku
kini letih pulang ke ibu
hatiku tersedu
hatiku tersedu.
Bunga randu! Bunga randu!
Anakku lanang kembali kupangku.
Darah, o, darah
ia pun lelah
dan mengerti artinya rumah.
Rumah mungil berjendela dua
serta bunga di bendulnya
bukankah itu mesra?
Ada podang pulang ke sarang,
tembangnya panjang berulang-ulang
- Pulang ya pulang, hai Petualang!
Ketapang. Ketapang yang kembang
berumpun di dekat perigi tua
anakku datang, anakku pulang
kembali kucium, kembali kuriba.
***
Anak yang Angkuh
Betapa dinginnya air sungai.
Dinginnya. Dinginnya!
Betapa dinginnya daging duka
yang membaluti tulang-tulangku.
Hai, anak!
Jangan bersandar juga di pohonan.
Masuklah, anak!
Di luar betapa dinginnya!
(Di luar angin menari putar-putar.
Si anak meraba punggung dan pantatnya.
Pukulan si Bapak nimbulkan dendam).
Masih terlalu kecil ia
digembungkan dadanya kecil
diangkatnya tinjunya kecil.
Amboi! Si jagoan kecil
menyusuri sungai darah.
Hai, anak!
Bara di matamu dihembusi angin.
Masuklah, anak!
Di luar betapa dinginnya!
(Daun-daun kecil pada gugur
dan jatuh atas rambutnya.
Si anak di jalan tolak pinggang.
Si jantan kecil dan angkuh).
Amboi, ingusnya masih juga!
Mengapa lelaki harus angkuh
minum dari puji dan rasa tinggi
dihangati darah yang kotor?
Hai, anak!
Darah ayah adalah di ototmu
senyumlah dan ayahmu akan lunak
di dada ini tak jagoan selain kau.
Dan satu senyum tak akan mengkhianati kata darah,
Masuklah, anak!
Di luar betapa dinginnya!
(Dengan langit sutra hitam
dan reranting patah di kakinya
si anak membusung tolak pinggang
kepala tegak dan betapa angkuhnya!)
***
Ballada Petualang
Masihkah berair sumur yang tua?
Ya manis, ya
Apakah kakak sudah dipinang?
Ya manis, ya ya
Dua gagak terbang di muka.
Dengan tatapan mata jauh
ia berjalan mengulum kata.
Mama, betapa kecil ia!
Dengan tatapan mata jauh
ia berjalan mengulum kata.
Mama, betapa kecil ia!
Dan berjalan sendiri saja.
Mereka kata di rumah hitam semua.
Ya manis, ya ya
Mereka kata di rumah hitam semua.
Ya manis, ya ya
Jalanan tanpa bebuah tanpa pohonan.
Ya manis, ya ya
Menapak ia menapak
adalah rindu di tiap tindak.
Kerna tuju erat dipeluknya
tiada ia pingin berpaling.
Mama, betapa tegak ia.
Buah asam gugur di jalan
ia pungut dengan tangan
Oi! Betapa disuka kecutnya!
Orang cerita dua kubur di bukit:
Ya manis, ya ya
Oi! Betapa disuka kecutnya!
Orang cerita dua kubur di bukit:
Ya manis, ya ya
Anak lelaki tak tinggal di rumah pusaka.
Ya manis, ya ya
Kerna akan diumpat detak jantungnya
tiada ia akan bisa balik
lalu ia pun menadah nasibnya.
Kampung tiada lagi berwarna yang dulu
berkata para tetangga:
Anak lelaki yang baik itu
mengapa tiada balik-balik juga?
berkata para tetangga:
Anak lelaki yang baik itu
mengapa tiada balik-balik juga?
****
Masih banyak kumpulan karya W.S. Rendra yang lainnya, akan kita update secepatnya.
- Blues untuk Bonnie
- Empat Kumpulan Sajak
- Sajak-sajak Sepatu Tua
- Mencari Bapak
- Perjalanan Bu Aminah
- Nyanyian Orang Urakan
- Pamphleten van een Dichter
- Potret Pembangunan Dalam Puisi
- Disebabkan oleh Angin
- Orang Orang Rangkasbitung
- Rendra: Ballads and Blues Poem
- State of Emergency
- Do'a untuk Anak-Cucu
- Perempuan yang Tergusur
- Sajak Sebatang Lisong
mantab
ReplyDeleteThe Best and Trusted Dollar Buy Sell website in BD Apnarwallet.com dollar buy sell, dollar buy sell bd, usd buy sell, dollar buy, dollar sell
ReplyDelete