SEORANG AYAH


“Udah dapet duit berapa?” tanya seorang pria yang biasa kupanggil Koko.

Belum sempat aku menjawab, dia sudah membuka laci meja kasir lalu mengambil beberapa lembar uang ratusan juga lima puluhan. “Saya ambil lima ratus ya,” katanya lalu melangkah keluar toko, pergi bersama anaknya yang baru berusia tiga tahun, naik motor.

Aku menghembuskan napas kasar sambil menjambak rambut sendiri. Lalu kuambil ponsel di atas meja kasir, mengirimi pesan pada istrinya yang biasa kupanggil Cici.

[Ci, Koko ambil uang 500rb]

Tak lama pesanku mendapat balasan, [Kenapa dikasih?]

[Ya, saya gak beranilah, Ci.]

[Ya sudah]

Aku pun melempar begitu saja ponsel ke atas meja, lalu mendengus kasar. “Pantas saja gak ada yang betah kerja di sini,” gerutuku. Kalau sudah begini biasanya pembeli yang rewel akan menjadi pelampiasanku.

Bisa dibilang aku lah yang paling lama bekerja di toko peralatan sekolah yang cukup besar ini. Yang lain semuanya tidak ada yang betah. Hingga saat ini, aku sendiri yang memegang toko, tanpa ada karyawan lain.

Cici, pemilik toko, waktu itu buka toko baru di pasar senen. Berangkat pagi dan pulang sekitar jam sebelas malam. Sedangkan Koko, suaminya justru tidak bekerja. Setiap hari hanya di rumah bermain bersama anaknya yang biasa dipanggil Dedek. Biasanya Dedek ada pengasuhnya, namun lagi-lagi, semuanya tidak ada yang betah.

Hampir setiap hari, aku sakit telinga karena mendengar mereka bertengkar, dengan suara yang menggelegar. Entah apa yang mereka ributkan, aku tak paham bahasanya.

Di sini, aku juga sering melihat Dedek sering mendapat pukulan oleh Cici. Rewel sedikit, tanganlah yang akan mendarat entah di pantat, kaki, tangan, dan lainnya. Dedek yang baru berusia tiga tahun itu hanya menjerit dan menangis. Akhirnya kulitnya yang putih itu merah-merah bekas pukulan.

Toko juga rumah menjadi satu. Rumah yang berlantai empat itu sangat luas, banyak kamar. Aku pun juga tidur di rumah itu, di lantai dua. Hingga suatu malam, lagi-lagi Cici dan Koko bertengkar hebat. Suaranya menggelegar, membuat telinga benar-benar sakit mendengarnya. Tidur pun rasanya tidak nyenyak.

Paginya, aku dibangunkan oleh Cici. “Vi, bangun dong. Tolong bersihkan lantai dua, di luar kamar banyak darah. Semalam Koko mau coba bunuh diri soalnya.”

Aku pun langsung membuka mata lebar. “Bunuh diri?” Kuulangi kata-kata itu untuk meyakinkan.

“Iya. Makanya tolong bersihkan, sebelum Dedek bangun nanti kepleset.”

Dengan malas aku pun bangun, keluar kamar dan langsung dikejutkan oleh darah yang tercecer dari depan kamar Cici sampai kamar mandi yang jaraknya mencapai lima belas meter kira-kira. Yang paling parah ada di depan tv, darah bertumpukan dengan serpihan beling minuman alkohol.

“Sial!” gerutuku dalam hati. Sambil jinjit-jinjit aku melangkah mencari ember juga kain bekas di lantai bawah.

Pagi-pagi buta dibangunin hanya disuruh ngepel darah yang sangat banyak. Dengan hati terus menggerutu aku mengelap darah itu, baunya amis, membuat mual.

“Itu di kamar juga ada, tolong bersihkan sekalian ya,” kata si Koko yang baru saja keluar dari kamar dengan handuk yang mengikat di kepalanya. Dia kemudian duduk di sofa depan tv.

“Sialan! Kalau mau bunuh diri kenapa cuma mecahin botol ke kepala sih? Itu sih bukan bunuh diri, cuma atraksi yang berujung merepotkan. Kalau niat mau bunuh diri mending minum racun sekalian, dijamin langsung mati. Gak bakal ngerepotin begini!” Gerutuku. Namun sayang, semua itu hanya kuucapkan dalam hati. Sambil terus membersihkan ceceran darah yang menjijikkan.

Saat itu aku curiga, kalau Cici sudah tahu, jika uang yang selalu Koko ambil dari toko digunakan untuk membeli obat-obatan. Makanya terjadi pertengkaran hebat yang berujung percobaan bunuh diri.

Sebenarnya aku tahu sudah cukup lama tentang Koko yang menggunakan obat-obatan, bisa dibilang narkoba, tapi entah apa jenisnya. Makanya tak heran jika dia mecahin botol di kepala yang membuat darah berceceran kemana-mana, banyak sekali, tapi seolah biasa aja, tak merasakan sakit sedikitpun.

Aku pernah memergokinya menyembunyikan obat dibalik bungkus rokok lalu ditaruh di bawah lemari. Namun aku diam saja. Aku juga tahu, Koko sering sekali berlama-lama di kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya.

“Lagi pada ribut ya?” tanya pembeli suatu malam. “Ributin apa sih tiap hari begitu?”

“Gak tahu. Bukan urusanku,” jawabku sedikit ketus.

“Kamu kok betah sih kerja di sini. Yang lain aja pada kabur.”

Aku menghela napas kasar. Malas sebenernya menjawab pertanyaan yang terlalu sering ditanyakan. “Di sini aku kerja. Yang penting gajian lancar. Mau mereka berantem sampe bunuh-bunuhan juga bukan urusanku!”

Biasanya memang aku menjawab dengan ketus jika ada yang bertanya banyak, ingin tahu semuanya. Jika ada yang bertanya biasa saja, maka aku hanya akan tersenyum sebagai jawaban.

Hingga suatu malam, usai tutup toko, Cici memanggilku untuk ikut dengannya.

“Cepetan!” perintahnya dengan suara seperti berbisik. Kami pun mengendap-endap keluar tanpa sepengetahuan Koko yang sedang bermain dengan Dedek di kamar.

Setelah berhasil keluar, kami pun lari sekencang-kencangnya menuju mobil. Kakaknya Cici menjemput dari kejauhan. Setelah berhasil masuk, mobil pun melaju dengan kencang. Meninggalkan rumah mewah namun terasa seperti neraka.

“Si Dedek gimana, Ci?” tanyaku khawatir.

“Tenang aja. Koko gak bakalan ngapa-ngapain si Dedek. Biar dia coba hidup sendiri. Biar sadar,” ujarnya dengan tenang. Namun aku bisa melihat raut lelah di wajahnya. Lelah dengan keadaan. Yang aku heran, kenapa suami seperti itu masih dipertahankan?

Tinggal di rumah Kakaknya Cici hingga beberapa hari. Gerbang selalu tertutup rapat. Tidak pernah keluar rumah. Hidup terasa tak tenang seperti diteror.

“Dedek …!” Aku berseru girang saat mendapati Dedek berada di kamar. Hanya mengenakan kaos dalam juga celana pendek. Aku langsung menghambur dan menciumnya gemas. Dia hanya nyengir memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan rapi, mata sipitnya tertutup. Lucu sekali.

Badan yang gembul dan wajah bulat serta kepala botak, persis Boboho. Siapa yang tak gemas melihatnya, namun sekecil itu harus selalu melihat adegan-adegan yang tak seharusnya dilihat, apalagi dari orang tuanya sendiri. Sering menerima pukulan, yang terkadang membuatku tak tega melihatnya.

“Dedek kok bisa ada di sini?” tanyaku kemudian.

“Papi …,” jawabnya.

“Dianterin Papi?”

Dia mengangguk.

“Terus Papi kemana?” tanyaku lagi.

Dia menggeleng.

Kata Cici, Dedek dibawa kemari oleh Koko. Entah siapa yang membukakan gerbang. “Koko mana bisa ngurus Dedek sendiri!” cibir Cici.

Sehari, dua hari, hingga beberapa hari, Dedek merengek selalu minta pulang. “Papi …!” Selalu itu yang dikatakan. Aku tahu maksudnya, dia sangat merindukan Papinya.

Suatu malam, gerbang digedor-gedor dengan keras. Seisi rumah terdiam.

“Dedek …!” Suara teriakan dari luar gerbang. Semakin kencang.

“Papi?” Dedek berseru dan langsung lari turun ke bawah. Aku berteriak memanggil, namun ia terus lari ke bawah. Hingga akhirnya aku mengikutinya.

Dedek yang tidak bisa membuka pintu, merengek padaku minta dibukakan pintu.

“Minta Mami yang bukain, Dek!” kataku.

Dedek menggeleng kuat sambil terus merengek. Hingga aku tak tahan, kubukakan pintu untuknya. Dedek langsung lari keluar dengan girang sambil berteriak, “Papi …!”

“Dedek …!” Koko ikut berseru. “Dek, minta Mami bukain gerbangnya!”

Si Dedek menoleh padaku, wajahnya menatap penuh harap. Seolah memohon padaku untuk membukakan gerbang. Aku hanya menggeleng.

“Vi, tolong bilang ke Cici buat bukain gerbangnya. Koko mau bicara baik-baik,” pinta Koko padaku.

Aku dengan menghela napas berat akhirnya naik ke atas. Melaporkan apa yang diinginkan Koko pada Cici. Namun Cici menolak. Aku pun kembali turun ke bawah. Hingga berkali-kali aku naik turun tangga, hanya untuk menyampaikan pesan Koko untuk Cici. Namun Cici bersikeras tidak ingin menemui Koko.

Hingga aku lelah sendiri, duduk di depan pintu rumah, menyaksikan Dedek yang merengek sambil berusaha membuka gerbang.

“Mbak …,” rengeknya padaku minta dibukakan gerbang. Aku hanya menggeleng.

Lelah membujukku, Dedek kembali pada Papinya yang di luar gerbang. Menangis kencang sambil berusaha membuka gerbang. Koko dengan tangannya yang dimasukkan di sela gerbang mengusap lembut keringat juga wajah Dedek yang sudah basah oleh air mata.

Sebuah pemandangan yang membuat hatiku tersentuh seketika. Aku menghela napas berat sambil memalingkan wajah, mengerjab-kerjap agar air yang menggenangi mata tidak terjatuh.

Dedek kembali menghampiriku. “Mbak …,” kembali ia merengek dengan wajah banjir air mata.

“Mbak gak punya kuncinya, Dek!” bentakku. “Minta sama Mami sana!”

Dengan tangisan semakin keras, Dedek masuk ke dalam, naik ke atas.

“Ya Allah ….” Aku mengusap wajah kasar. Hati terasa tercabik-cabik melihat semua ini.

Hingga tak lama kemudian, Dedek kembali turun ke bawah masih dengan tangisannya. Lari kembali ke gerbang. “Papi ....!” serunya dengan sesenggukan. Tangan mungilnya menjulur ke luar sela gerbang. Mereka hanya bisa berpegangan tangan, berkali-kali tangan Koko mengusap wajah Dedek.

“Papi beli minum dulu ya,” ucap Koko pada Dedek. Kemudian berlalu dengan motornya.

Sedangkan Dedek menjerit memanggil. Namun tak lama, Koko kembali dengan teh gelas. Setelah sedotan ditancapkan kemudian disodorkan pada Dedek melalui celah. Tangan satunya mengusap kepala Dedek. Tangis Dedek berhenti, ia meminum habis teh gelas itu. Mungkin kehausan karena menangis sedari tadi.

Aku hanya duduk sambil menggigit bibir bawah menahan sesak, menyaksikan pemandangan menyedihkan itu.

Sekeras atau sejahat apapun seorang pria, dia tetaplah seorang Ayah yang berlaku lembut pada anaknya sendiri.

SELESAI

Popy Novita

0 Response to "SEORANG AYAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel