MAUT
Setapak jalan kita lewati. Tertawa, menangis, lalu sedih dan bahagia saling melengkapi.
Kamu itu persis kupu-kupu yang bermetamorposis, meski dalam keadaan kritis tetap berpikir optimis.
Sementara aku adalah angin yang gebunya tak tentu. Kadang begitu lembut, kadang juga memicu ribut.
Kita bicara, bercerita dan menguatkan satu sama. Sampai suatu ketika, kamu memuliakan cinta.
Kamu ucapkan salam di depan pintu, lalu duduk bersama walimu.
Katamu; Aku tak ingin hanya memberi, tapi juga menafkahi.
Wajahku memanas, dibarengi degup yang meletup-letup.
Apa aku pantas? Menjadi tanggunganmu dalam hidup.
Aku bersaksi, hadiah dari Tuhan tak pernah terdeteksi. Sebanding dengan tawa yang tak memiliki rupa, tapi terasa.
Waktu terus berjalan, mengajarkan arti sebuah ikatan dan kesetiaan. Juga rindu dan cemburu, meski jarak membelenggu.
Lalu, tanpa langit menjadi gelap dan awan lembap, hujan lebat turun dalam sekejap.
Dedaunan diguyur hingga gugur, dahan-dahan patah berserakan dan bunga-bunga mati tak tersisa.
Kabar kepergianmu yang tiba-tiba, nyaris membuatku tak percaya. Tuhan maha segala dan terjadilah apa yang dikehendakiNya.
Kali ini, tangisku kian menjadi. Bukan tak terima kamu pergi, tapi menyesal karena belum sempat memberi. Terlebih, membuatmu merasa berarti.
Tenanglah di sana, aku akan setia. Mengirim doa tanpa jeda.
Mungkin, kita memang tak ditakdirkan bersama di dunia. Tapi, semoga saja di antara syurga dan kebahagiaan ada kita di dalamnya.
Sekali lagi. Terimakasih sudah menemaniku sejauh ini, sampai semua nafasmu tak tersisa lagi.
Tuhan sayang kita dan semua akan baik-baik saja.
_
***
Kerlip Bivisa
0 Response to "MAUT"
Post a Comment