Undanganku Menghadiri Undangan Mantan

Oleh Putri Kelana

"Hey." Bang Habib tiba-tiba mengagetkanku.

"Eh, hey juga, Bang." Aku terbata.

"Kamu disini Bang? Lagi apa?" Aku melanjutkan.

"Oh iya. Hehee.. Abang sampai lupa. Ini, hadir ya."
Bang Habib mengambil surat undangannya yang sedang ia sebarkan dan memberikannya satu padaku.

"A a apa ini Bang?" Gugup, aku mengambil surat undangan itu dari tangan Bang Habib dan langsung membacanya sekilas. Bang Habib akan menikah? Aku menatapnya, tak terasa bulir air mataku mengapa harus tertumpah dihadapan Bang Habib? Ini sungguh memalukan. Biarlah dia, mantah pacarku itu menikah dan bahagia.

"Hadir ya." Bang Habib melemparkan senyum manisnya padaku. Tak kuasa, air mata ini malah semakin membanjiri pipi cabiku yang terbalut hijab ungu muda, warna favoritku.

"Tunggu Bang."
Aku menghentikan langkah Bang Habib yang sudah menjauh beberapa meter dariku.

"Ya, kenapa Neng?" Bang Habib membalikkan lagi badannya, dan menghampiriku.

"Euuu..... maaf Bang, Neng gak bisa menghadiri pernikahan Abang. Maafin Neng ya." Aku menundukkan kepala, karena aku juga gak mau Bang Habib melihat mataku yang rembes berair.

"Kenapa Neng?"

"Ini." Aku memberikan juga selebaran surat yang sama.

"Apa ini?" Bang Habib menyambar surat undangan yang kuberi untuknya.

"Kau.... akan menikah juga Neng?" Bang Habib tampak gugup.

"Hari pernikahan kita sama. Kita gak bisa saling menghadiri."

"Dan, itu yang membuatmu sedih?" Bang Habib menatap nanar wajahku.

"Mungkin." Jawabku singkat.

"Wah.. kalau begitu, selamat untukmu Neng." Bang Habib terkejut, sama terkejutnya denganku sewaktu menerima undangannya tadi. Dia memberikan selamat padaku.

"Iya Bang, selamat juga untukmu." Jawabku lirih.

Aku tau, dia adalah mantan kekasihku. Kami berhubungan memang tidak lama, hanya satu semester saja alias enam bulan. Lalu setelah itu hilang sejenak dan bertemu lagi dalam pertemuan ini. Pertemuan dengan saling memberi undangan. Semua terkejut. Aku, Bang Habib pun sama terkejutnya denganku.

"Baiklah. Semoga kau bahagia dengan pernikahanmu itu ya Neng." Kali ini Bang Habib tersenyum, memberiku doa tulus.

"Aamiin Bang, terimakasih. Semoga Abang juga bahagia dengan pernikahannya ya." Aku sok kuat.

Bang Habib tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja. Dan setelah itu dia berlalu, meninggalkanku yang sedang mematung dan pipi yang banjir tertimpa derasnya hujan air mata.

Mengapa aku harus menangis? Harusnya aku gak boleh menangis. Hanya karna dia akan menikah? Bukankah, aku juga sama, akan menikah? Sudah dong air mata, mengapa kau masih mengalir saja?

Aku protes sendiri di tempat bertemunya aku dengan Bang Habib. Sedangkan Bang Habib, sudah berlalu dia, entah kemana sekarang. Bahkan punggungnya yang ku perhatikan sejak tadi pun, sudah tak nampak lagi sekarang. Sudah jauh mungkin dia. Baiklah, aku harus pulang. Udah gak akan bener lagi. Lagian, sejak besok, aku udah mulai dipingit sampai hari pernikahanku tiba. Aku gak boleh keluar lagi.

**

"Neng, anak Mamah yang cantik, gimana persiapannya? Besok hari pernikahanmu. Kau bahagia kan?"

"Iya Mah, Neng bahagia kok." Aku tersenyum simpul.

Ya Allah, tiba juga pernikahanku. Besok aku akan berdandan layaknya ratu istana yang akan menemani sang raja di kursi pelaminan.

Bang Habib. Terlintas bayanganku juga pada sosok Bang Habib mantan kekasihku itu. Mungkin, dia juga akan berdandan layaknya raja besok dan ditemani ratunya di kursi pelaminan.

Andai saja..... ah, sudahlah. Aku harus tidur, karna besok aku harus tampil cantik untuk suamiku. Dan, lupakan mantan kekasih. Dia akan menikah.

Deg deg deg....

Hari ini adalah tiba saatnya hari yang kunanti-nantikan selama 23 tahun usiaku. Dan hari ini adalah puncak penantianku, bukit indah dari sabarku selama ini.

"Waaahh.... Putri, gadisku, kau tampak sangat cantik. Wajahmu ceria, kau bener-bener seperti sang ratu nak."

"Ah Mamah. Jangan begitu, Neng kan jadi malu. Hehehe" aku tersipu ditatap semua orang seisi rumahku.

"Oh iya Mah, kain penutup wajah Neng mana?" Aku mencari cadar yang senada dengan gaun dan juga kerudungku.

"Lah... kau akan mengenakan cadar juga Neng di hari pernikahanmu?"
Mamah berontak.

"Iya dong mah. Ada yang salah?" Aku tersenyum pada Mamah.

"Ya, jangan dong sayang. Nanti cantiknya gak keliatan atuh." Mamah protes.

"Hahaa" aku tertawa seketika

"Lah... kok ketawa si Neng? Ada yang lucu?"

"Emmm.... gak kok Mah." Aku tersenyum simpul.

"Begini Mah, Neng akan tetap memakai cadar ini, Neng hanya akan mempersembahkan cantik Neng ini hanya untuk suami Neng Mah. Gak apa-apa kan Mah?" Lanjutku.

"Tapi sayang, emang kamu gak sayang apa? Nanti kan foto keluarga." Mamah masih menyayangkan.

"Ya ga apa-apa dong Mah foto keluarga ya foto keluarga aja, kenapa harus keganggu sama cadar? Neng masih bisa foto kok."

"Tapi....."

"Ya udah lah Mah, kenapa harus debat, Nen udah ditungguin tuh di bawah. Hayu."

Kakakku menghentikan.

"Hmmmm baiklah."

**

"Saya nikahkan dan kawinkan saudara Habib dengan saudari Putri Kelana binti Abi Kelana dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan sesurah Ar-Rahman dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Putri Kelana binti Abi Kelana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi sah?"

"Sah
Sah
Sah"

Semua saksi serentak.

"Alhamdulillah."

Aku dan Bang Habib bernafas lega, saling bertatapan sejenak lalu setelah itu aku menyalami dan mencium tangan Bang Habib.

"Sudah kubilang bukan, aku gak bisa menghadiri pernikahanmu, karna aku juga menikah." Aku membisiki Bang Habib.

"Ya, Aku tau itu. Dan, aku pun. Maaf, tak bisa menghadiri pernikahanmu. Dan undangan ini, cukup untuk menggatikan kehadiranku di acara pesta pernikahanmu itu, mantan kekasihku." Bang Habib menggodaku.

"Ya. Tak apa, kurasa itu juga cukup sebagai penggantinya, mantan kekasihku. Yang sangat kucintai. Hihii"

Aku tersenyum yang kusembunyikan dibalik cadar putihku yang senada dengan gaun dan juga hijabnya yang putih.

"Bisa aku memeluknya sekarang?" Bang Habib meminta restu semua yang berada di ruangan resepsian kami, untuk memelukku.

"Iyaaa... peluk peluk peluk." Gemuruh semua tamu yang hadir.

Sementara aku tersipu, lalu mencubit sedikit perut Bang Habib. Kemudian Bang Habib memelukku. Melepas kerinduan selama 23 tahun usiaku dan 31 tahun usianya. Dan, tamat sudah penantian panjang kami. Kami telah bersatu dalam keluarga baru sekarang. Aku, bukan lagi bayi nya mamah, melainkan adalah istrinya Bang Habib.

End.

NOTE
Terimakasih kepada teman-taman yang telah mengirimkan naskahnya. Bagi teman lain yang berkenan mengirimkan naskah demi melengkapi blog kita ini dapat dikirimkan melalui:
email satukara.com@gmail.com
FB @khairulfikri.co,
WA. 085762407942

0 Response to "Undanganku Menghadiri Undangan Mantan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel