Semua untuk Cinta

Oleh Putri Kelana

**
"Tunggulah, bulan nanti tanggal 12 Aa" pulang ya, terus mau kerumah kamu buat lamar kamu."

"Tapi A"?"

"Ada apa? Kamu tidak ingin menikah denganku Put?"

"Tidak A", bukan begitu. Kau dan aku? Kita itu sangat berbeda A". Kau, ibaratnya seorang raja, sedangkan aku hanyalah hamba sahaya biasa. Kita sama sekali tidaklah berimbang. Kau langit, aku dasar lautan. Kita sangat jauh berbeda. Kau memiliki segalanya. Kekayaan, kewibawaan, kepintaran, pendidikanmu tinggi, ketampanan. Kau juga telah terlahir dari keluarga yang sangat berada, terpandang, bahkan kau nyaris sempurna. Sedang aku....?"

"Cukup Putri, jangan dilanjutkan lagi." Dia menghentikan keluhanku.

"Kita sama Put. Kau harus tahu satu hal. Kita sama sekali tidaklah berbeda Put. Kita terlahir sama-sama dari rahim seorang ibu, kita terlahir ke dunia ini tidaklah membawa apa-apa, tidak memiliki apapun. Bahkan kita terlahir telanjang. Hanya saja, bedanya mungkin aku dilahirkan dari orangtuaku yang berada. Tapi semua yang kumiliki sekarang ini adalah bukan milikku, semua ini milik orangtuaku. Jika orangtuaku mengambilnya, aku bisa apa? Dan kepunyaan-kepunyaan orangtuaku pun, bukanlah milik mereka. Itu semua adalah milik Allah. Jika Allah mengambil semuanya? Kita bisa apa? Semua itu hanyalah titipan. Jadi, apa yang harus kami banggakan?"

Dia melanjutkan dengan kata-kata yang sangat luar biasa. Ya, pria yang ku cintai sejak lama ini memanglah sangat bijak. Tak heran juga banyak wanita yang menyukainya, bahkan menggilainya.

Belum ada yang banyak mengetahui tentang kedekatan kita ini. Itu karena kami menjaga perasaan orang-orang sekitar, dikhawatirkan akan ada suatu hal buruk terjadi sebelum kami benar-benar bersatu.

Dan, perbincanganku bersamanya hari ini pun, belumlah diketahui siapapun, selain hanya kami berdua saja.

"Kau janji kan Put, akan menungguku satu bulan lagi. Setelah wisuda S2 ku, aku akan segera melamarmu. Membawa keluargaku menghadap keluargamu."

Aku diam dan sedikit tersenyum padanya tanda iya.

"Yasudah, kalau begitu aku akan balik dulu ke Jakarta. Tunggu aku kembali ya Put. Aku sayang kamu."

Kata terakhir yang terngiang di hati dan fikiranku. Setelah itu dia berlalu meninggalkan harapannya padaku.

Seminggu kemudian, aku dari pesantren pulang dulu ke rumahku untuk sekedar menginap saja dirumah. Aku sudah merindukan rumah kecilku.

"Asalamualaikum, umi."

"Waalaikumsalam, Putrii"

Aku bahagia sekali bisa melihat umi sama bapakku dikampung, baik-baik saja. Mereka terlihat begitu tua dan capek. Padahal usia mereka belum setua wajah yang kupandang. Bahkan jika harus mengukur usia, orangtuaku masih dibawah usia orangtuanya A Satria. Tapi wajahnya tampak lebih tua orangtuaku dibanding orangtua A Satria. Maklumlah, orangtuaku orang kampung, dan juga pekerjaannya hanya bertani, tidak seperti orangtuanya A Satria yang kerjaannya tidak secape bertani.

Rumahku. Ya Allah, aku melihat rumahku yang tampak sudah semakin buruk. Tidak. Sama sekali aku tidak ingin membandingkan rumahku dengan rumah A Satria. Karena sangat jauh berbeda sekali.

Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku membawa keluarga A Satria kesini. Ke rumahku ini. Menyedihkan.

"Hey.. mengapa kau bengong saja di luar? Hayo masuk."

"Eh, iya mi, maaf, Putri hanya merindukan tempat ini saja. Oh iya, bapak mana mi?"

Lamunanku terhempas saat umi mengajakku masuk.

"Ada... bapak di kebun, sama Wawan."

"Wawan? Siapa itu mi?"

"Oh iya, umi lupa belum memberitahumu neng. Wawan itu anak temen lama bapakmu, pak Anwar, dari kampung sebelah."

"Oohh begitu. Lalu, sedang apa Wawan sama bapak mi?"

"Emmm.... yaudah, nanti kita lanjut ngobrolnya di dalam aja ya. Hayu, sekarang kamu masuk dulu."

Ada apa ini? Umi ku bersikap sangat aneh. Mencurigakan.

"Put..."

"Iya mi."

"Usiamu sudah 19 tahun. Dan kau tahu bukan? Di kampung kita ini akan bagaimana jika ada yang memiliki anak gadis seusiamu belum menikah? Keluarga kita akan di cemooh dan di kucilkan. Kamu akan dianggap perawan tua."

"Maksud umi?"

"Put, dua hari yang lalu  keluarga pak Anwar kesini, dia mengetahui kalau bapakmu punya anak gadis. Dan, pak Anwar akan menikahkanmu dengan Wawan, anak pertamanya."

"Apah mi? Menikah?"

"Iya Putri. Kamu mau kan yah menikah dengan anaknya Pak Anwar teman bapakmu itu?"

"Tapi mi. Aku..."

"Ada apa Put? Apa di sana kamu memiliki kekasih?"

Aku tidak mungkin mengatakannya pada umi kalau aku sedang menunggu A Satria, anak pemilik pesantren yang aku tinggali itu. Aku juga tidak yakin, A Satria berkata yang sebenarnya padaku. Zaman dulu kan, belum ada ponsel. Telfon pun masih hanya dimiliki orang-orang tertentu saja seperti A Satria. Jadi, kami tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Jadi aku tidak terlalu meyakininya, jika pun A Satria benar dengan ucapannya, aku tak bisa berbuat apa-apa juga untuknya. Aku tidak boleh menikah dengan A Satria.

Aku aja udah terlalu minder dengan A Satria. Apalagi jika aku mengatakannya pada umi. Dia juga pasti akan sefikiran denganku. Tidak tidak. Aku tidak bisa seegois itu. Aku memang sangat mencintai A Satria. Siapa gadis yang tidak mencintai pria sesempurna A Satria. Aku akan sangat beruntung sekali memilikinya. Bagaikan mendapat permata yang sangat mahal.

Tapi, demi nama baik dia dan keluarganya, aku harus mundur. Sebelum dia terlalu mencintaiku juga. Karena, apa yang bisa dia harapkan dariku dan keluargaku yang sangat jauh berbeda dengannya ini. Tidak, sungguh, ini bukanlah dunia dongeng yang dimana seorang putri miskin akan mendapatkan pangeran dengan kuda putihnya. Tidak. Baiklah, aku terima permintaan umi, meski dengan sangat berat hati. Semuanya aku lakukan demi cintaku pada a Satria. Aku mencintainya, dan aku tidak ingin menghancurkan repotasi dia dan keluarganya. Aku gak boleh ada dikehidupannya. Atau mereka hanya akan mendapatkan malu karenaku dan keluargaku. Aku juga menyayangi keluargaku, tidak mungkin aku merendahkan keluargaku sendiri.

"Iya mi, Putri setuju."

Akhirnya, akupun menyetujuinya. Dan minggu berikutnya, aku menikah dengan Wawan, dan tidak kembali lagi ke pesantren. Aku meninggalkan segalanya. Meninggalkan pesantren dan juga harapannya A Satria.

"Bagaimana para saksi sah?"

"Saaaah."

"Alhamdulillah."

Semua mengucapkan selamat padaku. Pernikahan kami ini sangat sederhana, tidak ada pesta. Tidak masalah, karena aku pun memang tidak mencintai Wawan. Tapi mau bagaimana, aku juga harus melakukannya. Untuk cintaku dan keluargaku. Pengorbanankah ini yang sedang kulakukan saat ini? Entahlah. Yang terpenting adalah sekarang, cintaku dan juga keluargaku telah aman.

***

Suara tangis bayiku nyaring membangunkan dari tidur.

"Aduuhh... sayaang, anak mamah, kok jam segini baangun si. Hayo tidur lagi nak, masih malem."

Tengah malam aku terbangun dan menyusui Cinta, bayiku.

Ya, aku menamainya Cinta Putri Kesatria, putri pertamaku dari Wawan suamiku.

Sebenarnya sejak dari awal usia pernikahan kami pun, aku merasa tidak memiliki suami. Apalagi setelah Cinta lahir, dia benar-benar tak pernah ada untuk kami. Usia putriku sudah menginjak 3 bulan, dan dia tidak pulang sudah sedari lima hari putriku lahir.

Aku sendirian di rumah kecil pemberian orangtuaku. Tepat di sebelah rumah orangtuaku. Tanpa suami.

***

"Putriii"

Ibu menangis, menghampiriku. Ada apa ini? Aku yang baru saja pulang dari sungai, sehabis mencuci pakaian-pakaian bayiku, bingung mendapati ibu yang menangis seperti itu.

"Ada apa mi?"

Keningku mengkerut, menatap heran ibu.

"Apa itu ditangan ibu?"

Aku mengambil secabik kertas dari tangan ibu, lalu membuka dan membacanya.

Ini surat dari Wawan. Aku buka suratnya dan kubaca.

"Apah?"

Dia menjatuhkan talak satu padaku melalui surat. Keterlaluan. Gak punya hati, gerutuku.

"Sudah umi, jangan ditangisi. Sudah tak apa mi. Mungkin memang inginnya dia begitu. Kita harus sabar dan ikhlas mi. Percayalah mi. Ini sudah jadi garis takdirku. Sudah tidak apa-apa mi. Aku baik-baik aja kok"

Tentu saja, aku baik-baik aja. Aku telah meninggalkan cinta pertamaku dan menikahinya. Aku telah berkorban banyak untuk Wawan. Aku membantunya yang tidak bekerja itu ketika dia terlilit hutang kepada mantan-mantan istrinya.

Ya, aku telah tertipu menikahi Wawan. Ternyata aku adalah menjadi wanita ke tujuh nya yang dia nikahi. Dan pernikahan kita ini, bukan pernikahan pertama untuk Wawan. Awalnya aku memang sangat terkejut, namun ya sudahlah, akhirnya aku menerimanya kembali dengan ikhlas. Aku tahu, ini semua hanyalah garis takdirku saja.

Aku memaafkannya kala aku tau dia berselingkuh di belakangku. Dua tahun pernikahanku dengannya aku habiskan untuk berkorban dan berkorban segalanya untuknya. Termasuk juga mengorbankan perasaanku. Karena walau bagaimanapun, dia adalah suamiku. Aku harus menghormati dan mencintainya.

Tapi ternyata, pengabdianku, pngorbanan dan cinta yang telah ku coba berikan selama ini padanya. Dia balas dengan penghianatan. Dia membalasku dengan perceraian sepihak. Perceraian yang hanya melalui surat. Baiklah. Memang benar, ini sudah jadi suratan takdirku lagi. Dan aku harus menerimanya lagi, mengikhlaskannya lagi.

Sama seperti harus terima dan ikhlas dengan pernikahan tanpa cinta dulu. Dan kedua harus terima dan ikhlas setelah mengetahui kebenaran dia yang telah menduda enam kali. Lalu ketiga harus ikhlas memaafkan dia yang berselingkuh. Juga harus menerima dan ikhlas karena dia tidak bekerja, hanya menafkahiku sealakadarnya saja, bahkan lebih dari kurang. Dan terakhir sekarang harus kembali menerima dan ikhlas lagi dengan keputusan terakhirnya untukku juga puterinya.

Aku memang telah gagal dalam membina rumah tangga. Suamiku telah meninggalkanku dan juga Cinta, anaknya.

Sepintas, selalu terbayang dan teringat nama Satria dikepalaku. Mungkin dia pun telah menikah dan berumah tangga sekarang. Telah bahagia dia bersama anak dan isterinya. Dan tidak mengalami hal buruk sepertiku sekarang ini. Ah, sudahlah, lupakan nama itu. Dia malaikat yang tak mungkin bisa manusia miliki.

Akhirnya, masa idahku pun telah selesai. Dan, aku menikah lagi dengan duda beranak satu. Dia menikahiku, dan juga berjanji akan membesarkan puteriku dengan penuh cinta.

Ya, singkat ceritanya. Pernikahanku yang kedua ini pun berjalan dengan baik. Dani, suamiku yang kedua, dia telah memenuhi janjinya padaku dan juga putriku. Dia memang sepuluh tahun lebih tua dariku. Tapi sudahlah, tak masalah. Yang terpenting adalah sekarang kehidupan terbaik untuk putriku.

Karena memang kehidupan seorang wanita yang telah memiliki anak adalah anaknya dan yang lainnya tidak terlalu penting lagi sekarang selain anak.

Suami keduaku adalah seorang pekerja kantoran. Dia memiliki cukup banyak uang dan juga kekayaan. Meski memang dulu saat sedang menikahiku statusnya masih bawahan. Namun seiring berjalannya waktu, kini dia menjadi atasannya di kantor.

***

"Alhamdulillah neng cantik, anak Ibu. Udah besar ya kamu sekarang. Udah mau lulus SMA. Gak kerasa, ternyata sekarang Ibumu ini sudah tua ya."

"Hehe enggak kok Ibu. Bagiku, ibu gak pernah tua."

"Iyakah? Baiklah... dan bagi Ibu, kamu juga gak pernah dewasa. Karena bagi Ibu, kamu adalah masih bayi kecil Ibu."

"Aaahhh.... tidak Ibuu... bedaaa... aku bukan bayi Ibu lagi sekarang Bu. Akuuu... telah mencintai seseorang sekarang Bu. Hihii.."

"Hey.. benarkah itu? Wah wah... tidak.. bayi Ibu mana mungkin mencintai pria. Bayi Ibu kan masih baayi."

"Ibuuuu....."

"Hahaa"

Begitulah. Tak terasa sudah perjuanganku membesarkan putriku. Sudah 19 tahun dia sekarang, seusiaku menikah dulu dengan ayahnya.

Namun nasib kami berbeda. Jika dulu aku telah mendapat berbagai ujian di usianya kini. Maka, putriku kebalikan dariku. Aku tidak akan membuat putriku mengalami hal sepertiku dulu.

Jika benar putriku kini sedang dilanda jatuh cinta. Maka, aku takan pernah membiarkannya merasa minder sepertiku dulu. Aku memberikan segalanya pada putriku. Supaya dia seimbang dengan teman-temannya yang lain. Putriku tidak boleh menderita sepertiku. Aku mencintai putriku. Dia harus mendapatkan cintanya tanpa rasa minder.

Namun, aku akan arahkan dulu dia, sebelum dia jatuh pada hati yang salah. Aku akan mengarahkan agar putriku mencintai pria yang tepat sepertiku dulu, dan tidak meninggalkannya sepertiku meninggalkan kekasihku.

"Bu. Dia pria yang sangat luar biasa, bu. Semua orang jatuh hati pada pesonanya."

"Wah.. benarkah itu? Siapa namanya?"

"Namanya... emmmm begini Bu, O...."

"Tidak.. Cinta tidak akan dulu mengenal pria. Setelah dia kelulusan SMA, dia akan kuliah dan tidak akan mengenal pria."

Suamiku memotong perbincangan kami tiba-tiba

"Tapi pah.. ya, tidak apa-apa kalau memang pria itu baik dan bertanggung jawab. Ibu tidak akan terlalu mengekang Cinta. Daripada dia berdosa, melakukan hal yang tidak benar. Ya lebih baik menikah. Memangnya mengapa kuliah sambil menikah?"

"Tidak. Pokoknya Papah bilang tidak, ya tidak."

Suamiku sangat tidak menginginkan puteriku menikah. Padahal kami tidak sedang membicarakan pernikahan. Hanya saja, Cinta bercerita tentang pria idamannya itu. Bukan berarti Cinta akan menikah besok bukan? Ya wajar saja menurutku dia menyukai seseorang sekarang, karena dia sudah beranjak dewasa. Dan, ada baiknya juga Cinta berani curhat kepada Ibunya sendiri dan bukan pada orang lain.

Curhat pada Ibu kan lebih baik daripada curhat pada teman. Ibu adalah sebaik-baik tempat curhat di dunia. Karena Ibu tidak mungkin memberikan arahan yang buruk untuk putrinya sendiri. Seoarang Ibu tentu inginkan yang terbaik untuk putrinya.

***

"Selamat kepada Cinta Putri Satria, untuk penghargaan siswi terbaik di tahun ini."

"Wuuuuwww"

Gemuruh tepuk tangan pun membanjiri putriku. Aku sangat bangga menyaksikan keberhasilan putriku. Tapi ini bukan persaingan sebenarnya putriku. Kau akan mendapati ujian yang sesungguhnya justru setelah kau keluar dari dunia sekolahmu.

Cinta pun telah selesai memberikan sambutannya dan kemudian menghampiriku bersama suamiku dibawah.

"Alhamdulillah ya Pah. Putri kita akhirnya lulus juga. Dia sangat cantik mengenakan kebaya perpisahan."

"Iya bu."

"Terimakasih Bu, Yah."

Putri memeluk kami berdua. Binar airmata bahagia pun membendung di pelupuk mataku. Yang akhirnya tumpah. Aku sangat bahagia dan bangga menyaksikan keberhasilan putriku.

Tidak menyangka, bayi malangku ini tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan juga pintar.

Acara perpisahan Cinta pun selesai dan kami pulang.

"Cuti bu. Sebelum Cinta mulai kuliah, Cinta mau kerumah nenek dulu ya ke kampung. Boleh kan bu, Pah?"

"Iya boleh kok sayang."

Cinta memang dari kecil sudah dekat sekali dengan neneknya. Dulu, sewaktu dia masih kecil, dan sebelum aku menikah dengan suami kedua ku ini, aku sempat pergi ke Arab Saudi dulu menjadi TKW selama 2 tahun, dan aku menitipkan Cinta selama aku tiada pada Ibuku dikampung. Dan setelah aku pulang, tak lama aku bertemu dan menikah dengan suami keduaku itu. Dan setelah aku menikah dengan Dani, Cinta aku bawa lagi bersama kami ke kota, dan Cinta bersekolah di sini. Membuat hubungan Cinta dan Ibuku sedikit jauh karena jarak.

"Tidak Cinta. Nanti saja."

"Kenapa Pah?"

"Kamu harus mempersiapkan dulu segalanya disini sebelum kamu mulai kuliah. Jangan keras kepala. Nanti saja ke neneknya lebaran."

Suamiku memang selalu tidak boleh. Ini itu tidak boleh. Aku dan putriku harus selalu patuh padanya.

"Tapi bu, lebaran kan masih jauh. Aku kangen nenek."

Cinta merengek, membuatku ikut sedih dan sedikit merengek juga memohon pada suami agar dapat mengizinkan Cinta untuk pergi ke rumah neneknya.

"Pah."

Aku memelas.

"Tidak."

Hmmm.... siapa yang berani melawannya. Akhirnya semua terdiam dan menurutinya. Baiklah lebaran.

Hari-hari setelah kelulusan, putriku tidak ada kerjaan. Hanya berdiam diri saja di rumah. Waktunya dia habiskan untuk membaca, menonton tv, bermain hp dan menulis. Ya, itulah pekerjaan putriku.

**

"Ibuuuu..... tolong buuu.... tolong aku Ibuuuu....."

"Berteriaklah sesuka hatimu gadis malang. Ibumu takan pulang hari ini. Kau mau apa hah? Diam kamu."

Ya ampun. Ada apa di rumahku? Aku mendengar teriakan minta tolong putriku. Dia? Bersama siapa dia di rumah? Kemana papahnya? Bukankah aku menitipkan padanya? Tapi, mengapa sekarang putriku berteriak minta tolong, tidak dia tolongin?

Aku memanggil beberapa tetangga dan memerintahkan mereka untuk mendobrak pintu rumahku yang dalam keadaan terkunci.

"Cintaaa....."

Mata dan telingaku berlarian mencari arah suara putriku. Aku masuk ke kamarnya, mendobrak lagi pintunya, dan....

Bruaaakkkkk......

"C..... Papah?"

"Ibuuu.... tolongin Cinta bu, papah bu...."

Aku melongo tak percaya menyaksikan aksi suamiku yang baru saja hendak menodai Cinta, putriku. Rasa marah dan kecewa, membeledak sudah hari ini. Aku memang selalu mengkhawatirkan hari ini, dan ternyata benar. Hari ini telah terjadi.

Pantas saja, aku ingin sekali untuk pulang, ternyata putriku dalam bahaya.

Tak percaya suamiku yang sangat mencintai putriku dan membesarkannya sejak sedari kecil ini, ternyata memiliki niat buruk juga. Kasih sayangnya ternyata adalah kasih sayang yang tak wajar. Pantas saja selama ini dia sangat melarang Cinta untuk dekat dengan teman prianya, termasuk juga kepada Ardi putranya.

Ardi sampai dia berikan kepada Ibunya di kampung karena tidak ingin terlalu dekat dengan Cinta di sini, dengan dalihnya sendiri dia memisahkan Cinta dan kakak tirinya itu.

Dulu, aku tidak berfikiran buruk sama sekali pada suamiku. Aku selalu menganggapnya malaikat penyelamat hidupku dan juga putriku. Meski memang pernikahan ini juga tidak sebaik dan semulus itu. Aku juga sering mendapati tekanan batin dengannya.

Dia juga bukan pria yang telah lulus dari nafsu syahwatnya. Suamiku telah berulang kali menyakiti perasaanku pada wanita lain. Dia kerap kali ku dapati kabar bahwa dia menikah lagi dan lagi. Meski pernikahannya tidak pernah berjalan lama.

Dan, aku sering sekali ditinggalnya pergi berhari-hari kadang berbulan-bulan juga.

Tapi dulu, aku selalu pertahankan segalanya hanya karena Cinta, putriku. Ya, untuknya lah aku bertahan dengan segala situasi apapun yang kudapati di rumah tanggaku ini. Termasuk juga perasaanku, aku telah mengabaikannya. Semua kulakukan untuk kebahagiaan putriku.

Dia telah memiliki segalanya yang ia inginkan. Aku tidak mungkin merenggut semuanya lagi darinya hanya karena perasaanku. Aku harus tetap bertahan demi putriku.

Namun, kali ini, aku tak bisa pertahankan lagi apapun, karena kali ini, yang dia serang adalah putriku yang selalu aku perjuangkan. Aku bahkan takan pernah bisa mengampuninya.

Aku pun berhasil menjebloskannya ke penjara. Terserahlah, aku tak kan memberikan hati lagi padanya. Setelah apa yang dia hampir saja lakukan pada putriku. Mengerikan dan menjijikan. Tidak. Aku tak bisa berdamai dengannya atau keselamatan putriku terancam.

Perceraian dengan suami keduaku ini pun aku lakukan sepihak. Aku mengurus segalanya. Dan akhirnya, kasus aku bersama suamiku pun usai. Dan aku telah tsah berpisah dengannya.

Kini, aku menjadi janda lagi.

Nasib memang harus menjadi janda dua kali. Dan menghabiskan hidup selama 20 tahun dengan pria-pria yang salah. Aku kurang beruntung dalam kisah asmara ku. Rumah tanggaku selalu saja berantakan. Mungkin ini adalah karma burukku karena telah meninggalkan pria yang begitu tulus mencintaiku dulu. A Satria ku.

Aku memang sangat bodoh meninggalkannya hanya karena perasaan minder. Terlalu tidak percaya diri dan terlalu merasa sangat rendah. Aku terlalu memandang derajat dan akhirnya aku sendiri yang harus terima penderitaannya karena memilih orang yang salah. Ah, tapi sudahlah, dia adalah cinta nyataku. Dan ini semua tidak lain adalah garisan takdir dari Yang Maha Kuasa untukku.

Aku memang tak pernah bisa bersama dengannya di dunia. Tapi aku yakin, kami akan bertemu dan bersatu di akhirat nanti. Ya, hanya itulah harapanku.

***

"Asalamualaikum, Putri."

"Waalaikumsalam, Ibu."

Tak menyangka, aku bertemu Ibu Mawar, Ibunya Satria. Guru ngajiku dulu di pesantren sekaligus juga pemilik pesantren yang dulu ku tempati.

"Subhanallah... Putri. Kau kemana saja selama ini. Ibu dan keluarga mencarimu. Dan kau menghilang begitu saja, tiada kabar lagi darimu."

"Maaf bu. Ibu apakabar?"

"Baik, Put. Ibu selalu baik-baik saja, tapi Satria."

"A Satria kenapa Ibu?"

"Satria, Dia tidak pernah baik-baik saja setelah mendengar kabar bahwa kamu telah menikah dan meninggalkannya."

"Tidak bu. Bukan begitu. A Satria dan aku. Kami sangat jauh berbeda Bu. Mengapa dia harus tidak baik-baik saja karenaku? Apa yang istimewa dariku bu? A Satria memiliki segalanya dan aku..."

"Tapi itulah yang sebenarnya Putri. Ibu mengatakan yang sebenarnya. Sini kamu ikut ibu."

Ibu mengajakku masuk ke dalam mobilnya.

"Eh sebentar, ini siapa?"

"Dia Cinta, putriku bu."

"Cantik."

"Terimakasih" jawab putriku.

"Baiklah, semua ikut Ibu dulu sebentar ya."

Akhirnya aku pun dibawa Ibu ke sebuah restoran. Dan kami makan di sana sambil berbincang.

"Jadi benar Put, kau menikah dan meninggalkan Satria? Kau bahagia, memiliki putri yang sangat cantik."

"Aku tidak meninggalkan A Satria, Bu. Sungguh, aku merasa tidaklah pantas jika harus bersanding dengannya. Lalu aku pulang dan menerima perjodohan orangtuaku. Di kampung, aku menikah dengan orang yang setarap juga derajatnya dengan keluargaku Bu. Aku menikah dengan ayahnya Cinta. Dan pernikahanku kandas setelah Cinta lahir. Ayahnya telah meninggalkannya sejak dia berusia 3 bulan. Lalu aku menikah lagi dengan ayah tirinya Cinta dan baru saja pernikahan kami kandas lagi setelah Cinta dewasa."

"Innalillahi.... kau harus menderita seperti itu hanya untuk menyelamatkan kehormatan keluargaku? Kau fikir ini pengorbanan cintamu untuk putraku?"

Aku menunduk, entalah. Aku juga tak mengerti. Entah ini pengorbanan atau hanya gengsiku semata, dulu.

"Begini Putri. Secara tidak langsung, kau telah menganggap keluargaku sebagai keluarga yang matre, yang hanya memandang harkat derajat dan segalanya. Kedua, secara tidak langsung juga kau telah mendustai nikmat yang Allah berikan untuk kehidupan kamu. Yang kau lakukan sangat salah Putri. Pengorbananmu aku anggap sia-sia. Kau sama sekali tidak berkorban, kau hanya mengedepankan gengsimu saja Put. Kau hanya terlalu gengsi dengan keluarga kita. Sehingga fikiran-fikiran burukmu muncul. Setan kendalikan fikiranmu untuk menghindari keluarga kami. Padahal kau bahkan belum mengetahuinya, kau juga tidak memahami bagaimana kami dulu. Kami pun dulu sama Put. Aku bersama suamiku tidaklah terlahir dari keluarga kaya raya. Tidak memiliki apapun. Bahkan usia pernikahanku yang ke dua tahun. Aku bersama suami masih belum memiliki apapun sama sekali. Makan kami jarang. Jika hari ini makan, maka esoknya kami puasa. Begitu saja seterusnya hingga pada suatu ketika, Allah mempercayakan kami, menitipkan harta kekayaannya pada kami. Hingga saat ini. Allah masih mepercayai kami."

Aku menunduk lagi. Menangis. Kali ini tangisku pecah. Karena memang, ya, mungkin yang Ibu katakan benar. Aku terlalu mengkhawatirkan derajat hidup di dunia. Aku terlalu khawatir dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi seperti di sinetron-sinetron.

"Jadi, sekarang statusmu janda?"

Aku mengaggukan kepala tanda "iya"

"Baiklah sekarang kau ikut Ibu. Bawa putrimu juga."

Aku pun mengiyakan, mengikuti Ibu ke rumahnya.

"Asalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Seseorang membuka pintu rumahnya.

"Eh, Bu. Udah pulang."

"Iya. Satria mana Ra?"

Namanya Ara. Putri bungsu Ibu. Rupanya Ara sudah menikah, dia nampak sedang menggendong bayinya. Mungkin A Satria juga sudah menikah.

"Iya sebentar Bu. Ara panggilkan dulu Aa. Aa ada di atas, di kamarnya."

Lalu Ara pun pergi ke atas untuk memanggil Satria.

"Masa idahmu telah selesai Put?"

"Su.su,sudah Bu."

Aku menjawab gugup pertanyaan Ibu.

"Satria tidak pernah ingin menikah dengan siapapun setelah kau pergi, Put. Adik-adiknya semua telah menikah. Hanya dia saja yang tidak menikah."

Degggg.....

Apah? Jadi, selama ini, dia tidak menikah? Ya Allah, aku sangat berdosa sekali padanya. Dia? Apa yang dia lakukan? Mengapa dia sangat bodoh sekali? Mengapa tidak menikah?

"Asalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Iya, ada apa Bu? Ibu memanggilku?"

Ya Allah A Satria. Kau masih tampak seperti Satriaku yang dulu. Masih sangat tampan. Gagah. Hanya saja sekarang kulitnya sudah bukan lagi kulit muda. Maklumlah, usianya sudah hampir kepala lima. Usiaku saja sudah 42 tahun. A Satria tiga tahun lebih tua dariku. Jadi usianya sekarang adalah 45 tahun. Tentu sudah bukan lagi abege seperti dulu terakhir kali kita bertemu.

"Aa. Lihat siapa yang ibu bawa nak."

"Cinta.?"

"Om Ganteng.?"

Lah.... Cinta, dia mengenali A Satria. Rupanya mereka sudah saling mengenal.

"Cinta kau?"

"Iya Ibu. Ini Bu."

"Maksudmu Ta?"

"Iya Bu. Ini om ganteng. Ini pria yang waktu itu Cinta mau ceritain pada ibu. Yang waktu itu terpotong perbincangannya sama papah. Maksudnya waktu itu Cinta mau bilang Om ganteng Satria, tapi gak jadi, kepotong Papah perbincangan kitanya."

Degggg....

Apah? Jadi putriku mencintai kekasih lamaku? Tipe kita sama ternyata. Putriku mengidolakan Satria juga. Dia memang tua, tapi pesonanya masih sama. Masih sangat muda, gagah dan bijaksana. Masih banyak yang menggilai priaku ini. Termasuk juga sekarang, bayi ku ini pun, ternyata mengidolakannya.

"Maksud Putrimu apa Put? A, kau sudah mengenal putrinya Putri?"

Ibu bertanya pada Satria.

"Apah Bu? Putri?"

A Satria melihatku. Dan dia baru menyadari bahwa sebelah Cinta itu aku. Putri, gadis yang menjadi alasanya tidak menikah hingga kini.

"Putri, kau...?"

Aku menunduk, sakit juga melihat kekasihku. Aku menyesal telah mengikuti egoku.

"Putri... kenapa kamu ingkari janjimu? Kenapa kamu meninggalakanku? Kau benar-benar tidak percaya dengan cintaku?"

"Maafin aku a. Aku hanya...."

"Aku tahu. Dan dari dulu, jawabanmu selalu sama. Kau selalu merendahkan dirimu sendiri Putri. Lihatlah kau sekarang. Hidupmu tampak kacau. Semua karena egomu. Kau terlalu mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan. Kau tidak hanya menyiksa batinku, tapi juga menyiksa batinmu sendiri."

Aku menangis. Racun yang ku pendam selama 20 tahun itu akhirnya tumpah sudah sekarang di rumah Satria.

"Kau percaya sekarang? Kalau aku sangat mencintaimu Put?" "Apa setelah ini kau akan meninggalkanku lagi?" Lanjutnya.

"Tidak. Aku takan pergi lagi. Maafkan kesalahanku A. Dan sekarang, kau berhak memiliki Cintaku."

Aku menyodorkan Cinta, putriku pada A Satria.

"Aku merestui kalian. Putriku, sangat mengidolakanmu."

"Ibu? Apa maksud Ibu. Apa yang Ibu bicarakan. Oh tidak, Ibu sudah sangat salah faham padaku Bu. Om ganteng..."

"Udah Cinta. Kau sudah cukup dewasa. Dan, Ibu merestui hubungan kalian."

"Putri cukup. Apa yang kau bicarakan. Dengar, pertama aku baru mengetahui kalau Cinta ini anakmu. Kami bertemu beberapa kali. Pertama kali aku bertemu dengannya, aku langsung jatuh hati padanya, dan aku berniat untuk mendekatkan dia dengan keponakanku Adam, anaknya Risa adikku. Dan, aku berhasil mendekatkan Cinta dengan Adam. Aku hanya tidak ingin Adam keponakanku salah memilih wanita, makanya aku pilihkan Cinta untuknya karena aku melihat Cinta gadis yang sangat baik. Dia gadis yang sangat sopan."

"Iya Ibu. Ibu udah salah sangka sama Cinta. Cinta bukan penyuka om om kok bu."

Putriku tersenyum geli.

"Jika aku mau, aku telah menikahi gadis-gadis cantik sebayaku. Bukan menikahi bayi. Cinta benar, dan aku pun bukan pecinta bayi-bayi kok."

Akhirnya tawa mereka membeledak, meledekku.

"Om ganteng. Ibu mencemburuiku. Ibu fikir, aku..."

"Cukup Cinta. Kau tak bisa meledek ibu."

"Iyaaa... baiklah, maafkan Cinta Bu."

"Jadi bagaimana? Ibu mau ya, kali ini untuk menikah dengan papah Satria. Papah Satria masih mau kan menikahi ibuku?"

"Cintaaa..."

Aku melirik Ibu, dan Ibu tersenyum padaku tanda "terimalah".

***

"Bagaimana para saksi sah?"

"Saaah"

"Alhamdulillah."

Akhirnya pernikahan ketiga untukku pun, terjadi. Dan kali ini, aku menikah dengan cintaku. Cinta pertamaku. Dan bukan hanya itu, pernikahan ini pun adalah permohonan dari beberapa pihak. Putriku, hatiku, A Satria, Ibu, dan tentunya juga hatiku sendiri.

Ya, betapa bodohnya aku selama ini. Tapi tidak apa-apa ini semua hanyalah garis takdir. Aku tak dapat menylahi takdirku. Aku harus terima dengan lapang dada.

Sama halnya sepertiku dulu. Perawan menikah dengan duda enam kali. Ya, Wawan ayahnya Cinta adalah duda enam kali.

Dan kali ini, suamiku pun mendapatkan seorang janda. Janda dua kali. Janda beranak satu.

Jika dulu adalah aku yang harus menerima garisan takdirku itu, maka kali ini giliran A Satria yang harus melakukan hal yang sama denganku dulu. Menerima garisan takdir dengan menikahi janda anak satu.

Berakhir bahagia memang kisah cintaku ini. Akhirnya aku menikah juga dengan orang yang kucintai setelah perjalanan rumit berliku.

Aku yang harus melalui dulu berbagai hal sebelum mencapai puncak bahagiaku bersama A Satria. Dan A Satria pun sama. Harus berpuasa dulu selama 20 tahun untuk bersatu denganku.

Sebenarnya aku dan A Satria mengalami penderitaan yang sama. Jika dia menderita karena tidak diberikan rasa cinta pada siapapun, dan tidak menikah. Maka aku pun sama. Aku dua kali menikah tanpa adanya rasa cinta. Dan aku menikah tapi berasa tidak pernah menikah karena suami-suamiku yang selalu memperlakukanku tidak istimewa.

Dan akhirnya kini. Kebahagiaan berpihak juga pada kami. Meski kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Aku harus menelan kembali mentah-mentah rasa empedu itu.

Aku baru saja bersatu dengan cintaku, dan harus kembali berpisah lagi dengannya. Dan perpisahan ini adalah perpisahan selamanya. A Satria mengalami kecelakaan lalu akhirnya dia meninggal. Dia meninggalkanku. Dan, aku baru tahu rasanya kehilangan orang yang begitu kita cintai secara tiba-tiba.

Ternyata meninggalkan tidak sepedih ditinggalkan. Jika dulu aku pedih karena meninggalkan, itu belum seberapa pedihnya dibanding sekarang saat ditinggalkan.

Kali ini bukan aku yang meninggalkan, tapi adalah aku yang ditinggalkan ketika sedang sayang-sayangnya. Aku yang baru saja merasakan arti bahagia yang sesungguhnya, harus kembali merana lagi. Sekarang bukan 20 tahun lagi aku akan menderita, tapi seumur hidupku.

Dan lagi-lagi ini adalah karma buruk untukku. Aku harus Allah beitahukan dulu bagaimana sakitnya kehilangan orang yang sangat disayang. Ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Seperti aku kala itu, meninggalkan A Satria yang sedang sayang-sayangnya padaku.

Jika dulu aku menghukum A Satria 20 tahun. Maka kali ini karma buruk menghukumku seumur hidupku.

***

"Tidaaaaaaaaaakkkk"

Aku menjerit sekencang-kencangnya.

"Hey, ada apa denganmu. Tadi kamu bengong, sekarang malah menjerit-jerit? Ada apa denganmu? Yasudah. Kalau kau tidak mau menikah dengan Wawan ya tidak apa-apa. Ibu juga tidak akan memaksamu. Ibu hanya menawarkan padamu. Itu pun kalau kamu mau. Tapi kalau tidak pun. Yasudah. Umi sama Bapak pun takan memaksamu Neng. Semua keputusan ada padamu."

Lamunanku terhempas. Ibu membangunkanku yang bengong lalu kemudian berteriak. Ya, aku begitu ketakutan. Aku tidak ingin menikah dengan Wawan. Aku mencintai Satria. Baiklah, lebih baik aku ceritakan saja semuanya pada Ibu. Daripada aku menyesal seperti yang ada pada lamunanku.

Setidaknya, aku harus sedikit berjuang dulu. Aku gak bisa melakukan semua itu. Setidaknya lagi, aku harus memastikan dulu janji Satria. Aku tidak ingin mengambil keputusan bodoh yang justru hanya akan membuat derita semua orang, dan juga aku sendiri tentunya. Aku harus mencobanya terlebih dahulu, gak boleh aku berfikiran rendah seperti itu. Keluargaku adalah keluarga baik-baik. Apa yang aku khawatirkan, hanya karna status sosial. Baiklah aku akan menunggu Satria.

**

"Bagaimana para saksi sah?"

"Sah...."

"Alhamdulillah."

Alhamdulllah, akhirnya aku menikah juga dengan A Satria. Dan benar, orangtuaku, telah terangkat derajatnya. Orangtuaku menjadi pengajar ngaji di pesantren Ibu. Bertani juga disana. Namun tidak secape sewaktu di kampung. Karena kali ini, banyak santri yang membantunya. Mereka diarahkan juga untuk mengenali dunia tani siangnya. Dan sore, malamnya mereka menaji seperti biasa. Jadi, santri-santri salafinya tidak dibiarkan menganggur. Pria dan wanita diajarkan untuk hidup mandiri. Sekaligus juga membantu guru ngajinya bercocok tanam.

Rumah umi juga tampak sedap dipandang mata sekarang. Meski minimalis, namun syahdu dipandangnya pun, segar. Dan menghadap ke kebun rumahnya, begitu elok.

**

"Umi, bangun Mi, Cinta bangun nih sayang. Dia lapar sepertinya."

A Satria membangunkanku yang sedang terlelap, karna mendapati suara bayi kami menangis kelaparan.

Suara tangis bayiku, selalu menghangatkan suasana rumah kami. Pernikahanku lengkap dengan adanya sosok Cinta Putri Kesatria. putri pertama kami.

Ya, Cinta. Adalah bukan lagi putrinya Wawan seperti dalam lamunan burukku itu, namun adalah buah cintaku bersama suami tersayang, Satria Habibi.

Dan ternyata memang benar seperti dalam khayalku itu, Wawan putra teman Bapakku itu telah menikah enam kali dan juga telah memiliki satu Putra dari pernikahan terakhirnya.

Dan sosok Dani yang menjadi suami keduaku, dia adalah masih saudaraku. Dia pun memang tak benar, berpisah dengan istrinya karena selingkuh. Dia adalah duda beranak satu. Istrinya meninggalkan putranya dan tak ingin mengurusnya karna terlalu sakit hati oleh ayahnya. Kini istrinya kang Dani telah menikah lagi dan telah dikaruniai seorang putri dari suami keduanya.

Sementara inilah kami, "Putri, Cinta, Satria". Kami keluarga kecil bahagia. Dan siap menghadapi segala badai rumah tangga yang siap menghadang kami kapan saja nanti kedepannya. Karena kini kami sedang dirundung kebahagiaan-kebahagiaan, maka bersiaplah untuk segala badai ancaman yang kan mengancam rumah tangga kami ini.

Karena memang pada hakikatnya, hidup itu tidak semulus yang diimpikan, akan selalu ada hambatan, ancaman, tantangan dan gangguan. Akan ada banyak badai yang menghadang. Dan itu tidak bisa dipungkiri karena memang sudah menjadi hukum alamnya seperti itu.

Semakin tinggi suatu pohon, maka akan semakin kencang pula anginnya. Dan, kami harus siap dengan segalanya.

Aku memang gadis yang sangat beruntung yang telah Allah beri kelebihan penglihatan, aku bisa sedikit melihat takdir masa depanku dan bisa menghindari takdir burukku. Dan aku juga dijuluki "Annisa Bahisatul Huda" atau "Wanita yang diberi petunjuk". Meski tidak selalu selamanya petunjuk itu aku dapati dan aku hindari. Seperti takdir kecelakaan, sakit dan kematian, itu tidak bisa aku menghindarinya. Karna itu adalah benar-benar takdir yang tak mampu dihindari. Jangankan oleh manusia biasa sepertiku, setingkatan Rhasulullah pun, takdir kematian tidaklah dapat dihindari. Hanya saja diberi sedikit petunjuk agar dapat sedikit berhati-hati dan waspada atas segala apa yang hendak terjadi. Salam.

*Selesai*

Ini kisah terinsfirasi dari kehidupan salah seorang terdekat dalam hidupku, di dunia nyata. Dan juga pada endingnya terinsfirasi dari film "Final Destination" yang bisa mengubah takdir buruk karena bisa sedikit menerawang masa depan yang kan terjadi melalui khayal yang akan menjadi nyata untuk kedepannya. Hehee :) sukses terus sahabat-sahabatku. Salam literasi. Luapkan selalu segala khayalmu kedalam tulisan dan jangan dipendam, karna kalau dipendam, dikhawatirkan akan menjadi gila karna terlalu banyaknya khayalan-khayalan yang dipendam dan tidak diluapkan. Hehee

Jangan lupa follow IG & WP ku @Putrikelana2910 Terimakasih. :)

NOTE
Terimakasih kepada teman-taman yang telah mengirimkan naskahnya. Bagi teman lain yang berkenan mengirimkan naskah demi melengkapi blog kita ini dapat dikirimkan melalui:
email satukara.com@gmail.com
FB @khairulfikri.co,
WA. 085762407942

0 Response to "Semua untuk Cinta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel