Putri Kelana (Nurmala)
Oleh : Putri Kelana
"Dia cantik, persis seperti kamu sekarang. Senyumannya begitu memesona, membuat siapapun yang melihatnya mabuk kepayang."
Ayah memperlihatkan foto jadul yang Ayah selalu katakan bahwa wanita cantik yang Ayah sebut "Nurmala" itu adalah Ibuku. Ibu yang telah meninggal dua puluh tahun lalu, tepatnya ketika Ibu usai melahirkanku.
"Iya Ayah, dia memang mirip denganku. Tapi kenapa Ayah? Kenapa dia meninggalkan kita? meninggalkan Ayah suaminya dan meninggalkan aku putrinya. Apa dia tidak menyayangiku Ayah? Dia tidak menginginkan aku? Aku benci wanita itu Ayah. Dia jahat. Dia tega membiarkan aku terlahir tanpa seorang Ibu."
Aku masih tetap membenci wanita kebanggaan Ayah itu. Sebenarnya aku tidak membencinya, hanya saja aku terlalu merindukan sosoknya, sosok seorang Ibu untukku. Karena selama ini, aku hanya memiliki Ayah. Ayah adalah Ayahku, sekaligus juga Ibuku. Setelah kelahiranku dan kematian Ibu, Ayah tidak lagi ingin menikah. Ayah hanya fokus padaku. Aku adalah satu-satunya kenangan dari Ibu yang harus Ayah jaga selalu dengan penuh cinta, sesuai permohonan Ibu dua puluh tahun lalu.
"Tidak nak tidak. Jangan pernah katakan hal buruk apapun lagi untuk Ibumu. Atau ayah akan benar-benar marah padamu. Tidak! Dia tidak jahat nak, dia sangat mencintai kamu bahkan lebih dari cintaku yang selama dua puluh tahun ini berikan padamu. Jika aku telah memberikan segalanya ini padamu, selama dua puluh tahun ini, itu hanya melanjutkan perjuangan selama sembilan bulan Ibumu mengandungmu dan perjuangan terhebat melahirkanmu"
Aku terdiam.
"Tidak nak, Ibumu berbeda dengan Ibu kawan-kawanmu yang lain."
Ayah berhenti sejanak dan mengambil lalu menatap foto usang itu yang aku biarkan tergeletak di meja.
"Demi untuk melahirkanmu kedunia ini. Ibumu rela mempertaruhkan nyawanya. Setiap harinya selama sembilan bulan mengandungmu, Ibumu harus melawan sakitnya. Dia harus tetap kuat demi kamu."
"Maksud ayah?"
Aku memotong perkataan Ayah.
Ayah menatapku dengan penuh duka. Duka yang dua puluh tahun ini Ayah simpan sendiri.
"Nak. Ibumu seharusnya tidak pernah melahirkanmu. Bahkan seharusnya Ibumu rahimnya di angkat dan tidak pernah memilikimu karena penyakit yang dia deritanya."
"Apah?" aku sangat terkejut.
"Iya nak, seharusnya begitu. Tapi demi dirimu, dan demi untuk membuat aku menjadi seorang pria sejati. Ibumu tak pernah mendengarkan perkataan dokternya, juga termasuk perkataanku. Ayah sering sekali membujuknya untuk tidak pernah hamil dan ikuti saran dokternya untuk mengangkat rahimnya. Tapi dia tetap tidak mau, dia tetap menolak. Dia tetap mengandungmu hingga akhirnya dia berhasil melahirkanmu."
Ayah berhenti sejenak bicara dan menatapku.
"Saat itu Ayah sangat bahagia, karena dia berhasil mewujudkan impian Ayah, untuk memiliki seorang putri. Dia berhasil memberikan Ayah seorang putri, meski selama sembilan bulan Ibumu mengandung, Ayah selalu dihantui ketakutan. Takut Ibumu tidak kuat tapi ternyata dia kuat. Dia wanita yang sangat tangguh. Dia berhasil melahirkanmu tepat pada hari ulang tahun Ayah. Tapi dia tidak kuat setelah kau berhasil terlahir, dia yang pergi. Dan pada hari yang sama juga, dia meninggalkan Ayah setelah memberikan kado ulangtahunnya untuk Ayah. Kamu adalah kado terakhir yang dia berikan untuk Ayah. Beserta surat ini. Ini surat terakhir dari Ibumu."
Ayah memberikan surat usang yang selalu Ayah simpan di dalam dompetnya.
"Selamat ulangtahun suamiku. Selamat, kau akan menjadi seorang Ayah sekarang. Aku sangat bahagia. Mas, aku punya permintaan untukmu. Kau menikahlah lagi ya. Jangan biarkan putri kita terlahir tanpa Ibu. Maafkan aku, aku tidak bisa lagi menemanimu, aku tak bisa lagi berjalan bersamamu, mendukungmu, aku tak bisa lagi. Dan, aku titip. Bersama siapapun kau hidup nanti setelah kepergianku. Tolong, jagalah putriku, cintai putriku sepenuhnya. Berilah dia nama "Nurlaila" Mas, yang artinya cahaya malam. Dia akan menjadi cahaya untukmu Mas. Aku mencintainya, aku mencintamu, aku mencintai kalian. Jagalah dia."
Begitulah pesan singkat Ibu yang dia tulis sebelum melahirkan. Sebelum aku dilahirkan, dia telah mengetahui kalau anak yang dikandungnya itu adalah seorang putri. Jadi, dia memberikanku nama Nurlaila.
"Ayah..."
Aku menatap Ayah dan menangis.
"Aku mencintainya Ayah."
"Iya nak, tentu saja. Ayah juga sangat mencintainya."
Aku memeluk Ayah sambil menangis sejadi-jadinya membayangkan betapa hebatnya perjuangan seorang Ibu melahirkan anaknya dan pengabdian seorang isteri untuk suaminya. Itulah Ibuku, wanita yang sangat tangguh sedunia. Aku mencintainya.
"Tapi pesan Ibu, Yah?"
Aku melepaskan pelukan Ayah dan mempertanyakan sesuatu.
"Maksudmu Nak?" Ayahku mengernyitkan dahi, tak mengerti.
"Ayah. Kau tak memenuhi pesan Ibu. Kau tidak menikah lagi Ayah."
Ayah terdiam sejenak, lalu menatapku kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar perkataanku.
"Ada apa Ayah?" aku manyun lagi pada Ayah.
"Tidak Nak. Itu tidak akan pernah terjadi. Ayah tidak memiliki cinta lagi. Ayah telah memiliki empat cinta di dunia ini. Dan tidak akan pernah bertambah lagi."
"Empat yah?" aku melongo.
"Ya, empat."
"Jadi, Ayah telah menikah empat kali?" aku menebak.
Ayah tertawa lagi mendengar pertanyaan konyolku.
"Bukan menikah. Ayah hanya menikah sekali. Dan tidak akan pernah lagi. Cukup sekali saja."
"Lalu itu empat cinta?"
Dahiku mengernyit, alis naik sebelah.
"Yang pertama cinta Allah Nak."
"Oalaah.. Lalu yang kedua?" aku bertanya lagi.
"Cinta Nenekmu."
"Hmmm.. Ketiga?"
"Yang ketiga adalah Ibumu dan terakhir."
"Terakhir?" aku menantikan jawaban Ayah.
"Tentu saja, terakhir adalah cintanya Ibumu, kamu, putri kami. Lagipula, kau tidak kehilangan Ibumu, Ayah juga tidak pernah kehilangan isteri Ayah. Dia tidak benar-benar meninggalkan kita nak. Yang tiada hanya jasadnya saja, tapi ruhnya. Ruhnya masih ada bersama kita. Dia selalu bersama kita."
"Ooooh Ayah manis sekali. Aku mencintaimu Ayah."
Aku memeluk Ayah lagi.
"Ibu?"
Ayah mengisyaratkan kalau aku tidak boleh melupakan Ibu juga.
"Oh iya tentu saja Ayah. Ibu juga. Aku mencintai Ibu, aku mencintai Ayah, aku mencintai kalian."
Aku mengambil foto Ibu lalu kupeluk bersama Ayah.
"Yakin, cuma cinta Ayah sama Ibu doang. Dia?"
Ayah mengedipkan matanya kelayar ponselku yang sedari tadi berdering. Ada panggilan masuk sudah tiga kali dari Joko, calon suamiku.
"Ya Allah. Ayah. Dia."
Aku menyambar ponselku dan menjawab telfon Joko, calon suamiku.
"Lihatlah sayang, putri kita telah dewasa. Dia sebentar lagi akan menikah. Kita sebentar lagi akan memiliki seorang menantu. Bagaimana? Kau bahagia bukan?"
Ayahku mengatakan sesuatu lagi pada Ibu. Aku lihat Ayah begitu berbahagia. Ah Ibu. Andai kau bersama kami. Aku mencintaimu Ibu.
Selesai
NOTE
Terimakasih kepada teman-taman yang telah mengirimkan naskahnya. Bagi teman lain yang berkenan mengirimkan naskah demi melengkapi blog kita ini dapat dikirimkan melalui:
email satukara.com@gmail.com
FB @khairulfikri.co,
WA. 085762407942
0 Response to "Putri Kelana (Nurmala)"
Post a Comment