Nasihat Terakhir

Oleh : Haz

"Teh, teteh masih muda. Kapan akan membuka hati kembali?" Suara Icha memecahkan keheningan.

Malam ini seperti biasa, aku dan Icha tengah berbincang sebagai pengusir jenuh setelah seharian beraktifitas. Aku masih terdiam. Sementara pandangan tertuju pada kerlip lampu kota. Dari balkon kamar kami di lantai 13 ini, pemandangan kota di malam hari begitu indah. Sesekali kuhela nafas panjang.

"Teh ...." Icha kembali bersuara.

"Jika sudah saatnya nanti, Cha. Aku pasti akan membuka hati kembali."

Kusandarkan badan pada dinding pembatas, lalu melirik Icha. Dia sedikit mendengus. Dari sorot matanya tampak kekecewaan atas jawaban yang baru saja aku lontarkan.

"Teh, bangkit dong! Teteh nggak boleh gitu terus. Lagian dede sudah bersama ayahnya. Dede pasti terawat dengan baik di sana," ucap Icha dengan suara sedikit bergetar.

"Entahlah, Cha ...."

Kualihkan kembali pandangan pada langit malam yang ditaburi penuh dengan bintang.

Aku Aprilia. Umurku baru menginjak 26 tahun kala itu. Saat prahara itu terjadi. Di depan mataku sendiri, aku melihat suami tengah bermesraan dengan wanita lain. Dia pun lebih memilih wanita tersebut dibanding aku, istri sahnya. Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah saat Dede Shila, buah hati kami ikut bersamanya.

"Teh, teteh harus membuka hati kembali. Menikah lagi. Bisa punya keturunan. Jadi nanti kalau Teteh udah tua, akan ada anak yang bakal mengurus Teteh." Icha masih mengeluarkan berbagai argumen agar aku kembali membuka hati.

Oh iya, dia Icha. Sahabat baruku di kota ini. Umur kami terpaut lima tahunan. Dia masih sangat muda. Namun di usianya yang masih belia, pikirannya jauh lebih dewasa. Mungkin karena ujian hidup yang telah ia lalui selama ini.

"Teteh dengerin Icha ngomong nggak sih?!" tanya Icha dengan suara agak meninggi.

"Denger kok, Cha."

Aku beranjak masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Icha yang masih sedikit kesal.

...

Beberapa hari semenjak obrolan di balkon kamar, sikap Icha berubah menjadi dingin. Entah apa yang membuatnya begitu. Sering pulang malam, bahkan kerap tak pulang.

Seperti saat ini, aku sendiri lagi. Duduk di tepi jendela sembari menatap foto kami berdua. Dalam foto itu, dia tampak cantik dengan busana berbalut serba biru.

Setahun sudah aku tinggal di sini. Tanpa ada keluarga. Hanya Icha satu-satunya sahabat yang selama ini menemaniku. Sejak perpisahan itu, aku memang memutuskan untuk pergi merantau di kota orang. Tak ingin terus menerus larut dalam kesedihan.

Hampir setiap hari komunikasiku dengan keluarga di kampung tak pernah putus. Namun, entah mengapa semenjak sikap Icha berubah, keluargaku pun ikut berubah. Tiada lagi telepon dari Ibu walau hanya sekedar bertanya kabar.

Sebelum sikap Icha seperti sekarang ini, kami selalu menghabiskan waktu bersama sepulang kerja. Membaca buku, menonton TV, atau hanya duduk santai di balkon sambil menikmati kerlip lampu kota dan bintang yang bertaburan di langit. Tanpa terasa mataku mulai menitikkan bulir bening itu. 'Cha, aku merindukanmu.'

"Assalamu'alaikum ...." Suara Icha terdengar bersamaan dengan derit pintu kamar yang terbuka.

Aku segera beranjak. Berlari hendak menyambut kedatangan Icha.

"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah kamu pulang, Cha ...." Aku mendekati Icha. Namun Icha nampak tak acuh.

"Icha, kamu marah sama Teteh?" tanyaku saat Icha berjalan menuju kamar.

Icha tak menjawab. Dari raut mukanya terlihat betapa ia tengah bersedih. Ingin kupeluk tubuh itu, tapi aku tak kuasa. Selama Icha belum mau menjawab setiap perkataanku, itu berarti dia masih marah.

"Cha ... maafin Teteh ...."

Aku mulai terisak. Sakit rasanya saat sahabat yang selama ini selalu ada tiba-tiba menjauh.

Icha masih bergeming. Memandang sekilas ke arahku, lalu berganti ke foto kami berdua yang ada di dinding.

"Maafin Icha, Teh. Icha nggak bisa lama-lama tinggal di sini." Mata Icha mulai berkaca-kaca. Dari sini hanya bisa kuamati segala gerak-gerik Icha.

Tak lama Icha masuk ke kamar. Aku mengekor di belakang. Sahabatku itu memasukkan segala pakaian dan barang-barang miliknya ke dalam koper. Mata hezzelnya tak berhenti menitikkan air mata.

"Semarah itukah kamu pada Tetehmu ini, Cha?"

Icha tak menjawab pertanyaanku. Semua barang telah masuk ke dalam koper. Tak lama dia pun duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya foto kami yang terletak di atas nakas. Begitu lekat ia memandang foto itu. Lalu memeluknya. Seolah begitu rindu Icha akan kebersamaan kami dulu.

"Cha, Teteh di sini ...." ujarku lirih. Belum sempat kumendekat, tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kamar.

"Icha, ayo, sudah siap semua 'kan?" tanya perempuan itu kemudian.

"Bentar, Kak. Izinkan aku mengenang kebersamaan dengan Teh April di sini untuk yang terakhir kali." Icha kembali menangis.

"Sudahlah, Cha. Doakan yang terbaik untuk Teh April ...."

Perempuan itu memeluk Icha. Badan Icha bergetar. Ia pun menangis dalam pelukan perempuan tadi.

Dari sudut kamar, aku hanya terdiam dengan wajah kebingungan melihat mereka berdua.

Saat hendak mendekat, kakiku menginjak sebuah koran. Sekilas kubaca timeline yang tertera pada halaman paling depan.

"SEORANG PEREMPUAN MENJADI KORBAN TABRAK LARI SELEPAS PULANG KERJA."

Kuamati foto yang terpampang di sana. Wajah yang tak asing lagi. Foto wajahku yang masih memakai seragam kerja.

Tiba-tiba aku ingat semua peristiwa itu. Beberapa hari yang lalu. Sepulang kerja saat hendak membantu seorang nenek menyeberang jalan, dari arah berlawanan sebuah truk sarat muatan melaju dengan cepatnya.

Aku sempat mendorong tubuh nenek sebelum akhirnya tubuhku jatuh dalam pelukan truk tersebut. Teriakan orang-orang di sekitar mengiringi mataku yang mulai terpejam perlahan.

-Selesai-

0 Response to "Nasihat Terakhir"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel