Kami

Oleh Patrick Kellan

       Masih ingat kamu, Nduk? Saat mata polosmu mengamati sepatu baru yang digantung berjajar di pasar. Sejenak Bapakmu ini bingung, tidak ada uang lebih dari semua rencana yang ingin dibeli. Tapi kamu berdiri, Nduk, tepat di depan lapak pedagangnya. Masih mending kalau hanya berdiri saja, tapi nyatanya Bapak harus melihatmu berlinang airmata.

"Pak, mainannya bagus sekali kan ya ..." Suaramu serak waktu itu.

Bapak sebenarnya malu, tapi lebih besar merasa pilu. Tak ada pilihan lain selain membeli apa yang kamu mau. Bukan karena ingin terlihat punya banyak uang di depan semua orang, Nduk. Tapi demi melihat senyum yang langsung melebar di bibirmu.

Hasilnya, lebaran ini Bapak dan ibu tak sanggup beli baju. Untung saja ibumu wanita nerimo, Nduk. Lebaran pakai baju bertahun-tahun yang lalu pun dia tak malu.

"Yang penting kan hati kita, Pak ..." Ibumu yang kesabarannya melebihi wanita lainnya itu menguatkan Bapak, Nduk. Tapi Bapak tahu, ada satu sisi di dalam hatinya merasa nelangsa.

Teman-temanmu mulai dibelikan sepeda baru, Nduk, kamu juga mau. Bingung lagi Bapakmu. Masih ada cicilan yang harus dibayar, tapi tak tega melihatmu ikut lari tiap kali mengejar sepeda teman-temanmu. Kami melihat itu, Nduk, saat mereka berteriak menyuruhmu lari-lari mengikuti.

Kamu polos. Tertawa saja sambil mengikuti mau mereka. Sementara kami yang melihat dari balik jendela, merasa hati sedang diiris, perih sekali.

"Harga sepeda kecil berapa ya, Bu?" Akhirnya Bapak bertanya.

Ibumu mengerti, Nduk. Dia terdiam lama. Mungkin sedikit bingung memilih antara beras dan sepeda lebih penting yang mana. Tapi kami berdua ini orangtuamu, Nduk. Hidup cuma demi kebahagiaanmu.

"Mburuh cangkul di tempat Wak Sodeh masih bisa diterima kali ya, Bu?"

"Ya, kesana saja, Pak. Mudah-mudahan masih butuh orang," ucapnya pelan sambil memperhatikan kakiku.

Sudah beberapa bulan sejak jatuh dari bangunan saat Bapak kerja sebagai tukang, kaki Bapak belum sembuh benar, Nduk. Masih sering nyeri kalau dipaksa bekerja terlalu keras. Jangankan bekerja, berjalan sedikit jauh saja Bapak sudah tidak kuat.

Tapi ini demi kamu ya, Nduk. Buat apa ada Bapak kalau masih harus kamu merasa kekurangan.

Dalam waktu beberapa lama Bapak terus bertahan di bawah terik dan hujan. Biar keinginan Bapak cepat selesai. Kadang saat malam dipijat ibumu sambil meringis menahan sakit. Tapi melihat wajah polosmu yang tertidur itu Bapak semangat lagi.

Sampai akhirnya bisa juga Bapak pulang sambil membawakan sepeda untukmu. Hati Bapak mekar, Nduk, saat melihatmu berlari-lari menyambut sepeda yang Bapak hadiahkan.

Yang lucu itu saat Bapak mendengar pertanyaanmu, Nduk.

"Bapak kok bisa tahu aku pengen sepeda?"

Tertawa Bapak, Nduk. Aku ini Bapakmu. Seorang Bapak pasti tahu keinginan anaknya meski tanpa diminta.

Ya kan, Nduk?

***

       Hari minggu ini, Bapak mengeluarkan sepeda mungil bekasmu dulu, Nduk. Sudah karatan dan penuh sawang karena lama tidak digunakan.

Ibumu hanya memperhatikan dari dapur rumah, sambil mengulek bumbu-bumbu masakan.

Bapak mengambil lap, lalu mulai membersihkan bagian demi bagian yang warnanya sudah tampak coklat kehitaman. Menyiram dengan air, lalu mulai menyikati dengan senang hati.

Harum bumbu mulai menguar, membuat perut Bapak keroncongan menahan lapar. Tapi Bapak belum selesai, Nduk. Belum cukup pantas sepeda kecil ini untuk diperlihatkan.

"Pak, makan dulu!" Seru ibumu dari pintu dapur.

"Iya, sebentar lagi!" Bapak menyahut tanpa menoleh. Perlu konsentrasi untuk mengolesi lekuk-lekuk kecil pada sepeda agar cat barunya tidak melebar kemana-mana.

Tadinya Bapak pikir cuma sebentar, tapi ternyata butuh waktu lama juga. Akhirnya menyerah Bapak pada keinginan ibumu.

Bapak makan sambil mengamati apa yang dimasukan ibumu ke dalam tas, Nduk. Kadang tangannya terlihat ragu. Memasukkan baju, lalu dikeluarkan lagi.

"Kenapa, Bu?" Aku bertanya.

Ibumu menatap Bapak, lama. Seolah ada hal besar yang tengah dipikirkannya.

"Mau berapa lama ya, Pak?" Akhirnya terlontar keluar juga pertanyaan yang mengganggunya.

"Menurut Ibu sebaiknya berapa lama?"

Ibumu menghela napas, lalu mengucap pelan. "Aku takut kalau lama-lama nanti malah merepotkan Andini saja ..."

Beginilah kami, Nduk. Pemikiran para orangtua. Tidak seperti kamu yang merasa nyaman dan tenang saat tinggal bersama kami. Kami merasa malu kalau harus berlama-lama menadahkan piring dan tidur di rumahmu meski kamu anak sendiri.

***

       Setelah membayar ongkos angkot terakhir yang dinaiki, kami melangkahkan kaki menuju deretan rumah yang berjajar rapi

Berkali ibumu mengomentari betapa bagusnya suasana kota yang kau tempati ini. Sementara Bapak hanya mengiyakan celotehnya saja.

Seharusnya kami naik ojek, Nduk. Tapi kami sengaja jalan kaki. Karena jangan sampai nanti terpaksa harus merepotkanmu dengan memberi ongkos pulang untuk kami.

Iya kalau kamu sedang punya uang lebih saat ini, kalau tidak?

Rumahmu terlihat sepi. Sudah berdebar hati Bapak, Nduk. Takut kalau-kalau kalian tidak ada. Sia-sia sudah semuanya.

Ibumu membuka pintu teras, hati-hati. Lalu di depan pintu kami berdiri.

Pintu diketuk, lama. Tak terlihat tanda-tanda kamu ada.

"Sepertinya mereka pergi, Pak ..." Ibumu berkata pelan.

Lemas kami, Nduk. Kerinduan yang sudah bersarang lama di dada seperti menguap begitu saja. Melihat ibumu yang duduk di bangku kayu teras dengan raut wajah kecewa tapi berusaha menunjukkan baik-baik saja.

Bapak menoleh kiri kanan, kalau-kalau ada tetanggamu yang siap menjawab pertanyaan. Tapi selayaknya suasana kota, Nduk. Sepi.

Kami duduk lama. Bingung, Nduk, antara menunggu atau memilih pulang. Bagaimana kalau kami sudah menunggu lama ternyata kamu pulang ke kampung halaman.

Kampung halaman suamimu ....

Bapak dan Ibumu akhirnya memilih bertahan di teras rumahmu, Nduk. Dalam keadaan menahan haus dan lumayan lapar. Kaki Bapak mulai pegal karena penyakit tua yang akhir-akhir mendera.

Ibumu berkali bertanya tiap melihat ringisan di wajah Bapak, tapi tidak apa-apa. Bapak baik-baik saja, sambil tanpa sadar mengelus-ngelus sepeda tua yang kami bawa.

"Sudah lebih dari 2 jam, Pak ... apa kita pulang saja ya?" Setelah membisu cukup lama ibumu bertanya.

Bapak terdiam, Nduk. Belum sanggup memutuskan. Lalu Bapak berdiri mepet jendela kaca rumahmu. Mengintip ke dalam sana. Bukan Bapak ndak percaya kamu pergi, tapi ... karena kangen melihat bekas-bekasmu di dalam sana.

Mainan-mainan yang berserak, karpet yang masih terbuka, seperti melihat masa kecilmu, Nduk ...

Kangen, Bapak ...

"Kakek!" Tiba-tiba Bapak mendengar suara anak kecil berteriak.

Bapak menoleh. Terlihat kamu, dan dua cucuku datang dengan plastik-plastik belanja bermerk nama sebuah Mall besar. Segera masuk ke teras.

"Bapak? Ibu?"  Kamu langsung mencium tangan ibu, dan Bapak. Sedangkan anak -anak segera memeluk neneknya kangen.

Lega Bapak, Nduk. Melihat wajahmu yang tampak begitu senang menyambut kedatangan kami.

"Sudah lama, Pak, Bu?"

"Baru sebentar ..." Ibumu melirik Bapak. Agar Bapak mengerti kalau dia tak perlu membuatmu merasa bersalah karena membuat kami menunggu lama.

Sedikit terburu kamu membuka pintu, lalu mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah.

"Kok ndak bilang-bilang kalau mau datang, Pak, Bu?" tanyamu dengan wajah berseri-seri.

"Ndak direncanakan, Nduk. Cuma karena Bapakmu bingung sepeda di dapur itu mau dikemanakan. Akhirnya dicat, biar bisa dipakai Puspita ..." Ibumu mengucap alasan.

"Ohh ..." Kamu mengangguk-angguk. "Harusnya ndak usah repot-repot lah, Pak ... Puspita sudah dibelikan sepeda oleh ayahnya ..."

Kami tahu Nduk, kami tahu. Bukannya lebaran tahun lalu kamu sudah menceritakan itu.

Tapi karena setelah itu kamu belum datang lagi, jadi dipakailah sepeda usang yang diperbarui sebagai alasan kami datang ke sini.

Kami cuma rindu, Nduk.

Tapi karena pada dasarnya orangtua hanya ingin memberi, jadi kami merasa malu jika kedatangan ke rumah sang anak hanya sekadar membawa diri.

Jadi Nduk, kalau dulu kami bisa mengerti apa-apa yang kau ingini bahkan tanpa kamu mengucapkannya, sekarang harapan kami kau pun bisa melakukan hal yang sama.

Agar di hadapanmu, tak merasa malu kami sebagai orangtua.

End

Pesan Buku-buku Patrick Kellan di reseller terdekat, bisa juga tinggalkan pesan di komentar atau mengirim email ke satukara.com@gmail.com.

0 Response to "Kami"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel