I Love You; Aku, Dia dan Kita

AKU, DIA, KITA

Tetesan hujan masih berjatuhan di atas sana, kubiarkan rambut ini tergerai begitu saja. Sedikit basah.

Dia terlihat sibuk dengan buku usang miliknya, yang kini pasrah di atas meja. Aku berjalan mendekat, lalu mendudukan diri tanpa niat berdebat.

"Bi?" Dia sedikit terperanga, mungkin maksudnya kenapa tidak memberitahu jika mau bertemu.

"Hay, ka. Kemarin kenapa pergi gitu aja?" Kufokuskan netra pada manik coklat miliknya, sekiranya ada jawaban di sana.

"Aku tidak percaya diri." ungkapnya memalingkan pandangan, lalu menyeruput kopi dalam gelas perlahan.

Aku diam, barang kali masih ada yang ingin dia sampaikan, atau sekadar bergumam.

Dua, tiga menit dia tidak bicara juga. Hanya sesekali menatap layar ponsel, lalu seperti tengah sibuk membalas pesan atau apa pun itu yang membuatku sedikit kesal.

Hallo, aku di sini. Di depannya, bukan di dalam sana!

"Ka?" Panggilku akhirnya

Dia menatap, tersenyum hampa, kurasa.

"Kaka serius kan sama aku?"

Diam,

Hanya ada bunyi tik-tik di atas genteng yang berisik.

"Iya," jawabnya setelah aku hampir bosan menunggu

Tidak bisa dipungkiri, aku bahagia sekali. Pada detakku ada yang memburu.

"Jadi?"

"Jadian," dia mendengus geli

Aku terbahak singkat,

"Aku sayang kamu, Bi."

Nah, kalimat itu yang selalu kutunggu.

"Aku juga sayang kaka, sayaangg banget. Tetes hujan sama bintang aja kalah banyak,"

"Gombal," dia tersenyum mengejek

Padahal munngkin degupnya sudah tak beraturan.

"Serius. Makanya aku mau jadi istrinya kaka,"

Kali ini giliranku yang menatap, berharap dia mau menetap.

"Iya percaya,"

Sebuah senyum kudapatkan, disusul haru pada degupku yang semakin tak menentu.
...
"Aku tidak punya apa-apa, Bi." Ucapnya waktu itu

Padahal, dengan atau tanpa dia sadari hatiku sudah termiliki.

Dan itu lebih dari cukup, untuk menjemput bahagia meski akan basah kuyup. Karena yang terpenting aku dan dia adalah kita.
_

I LOVE YOU

Senja sudah lama pulang, dan sekarang waktunya bintang untuk datang.

Aku membenarkan posisi, menghadapnya yang menemaniku sedari tadi.

"Ka, aku mau nanya. Boleh?"

Dia menoleh, lalu tersenyum sambil berkata boleh.

"Aku cantik engga?" Kutatap manik coklat miliknya yang remang oleh sinar bulan

Dia mendengus geli, mengalihkan pandangan. Menyebalkan!

"Aku serius!" Ketusku cemberut

Kembali dia menatapku, lalu tersenyum manis dan lagi-lagi aku terhipnotis.

"Kalo kaka sempet ngasih liat poto kamu sama ibu, pasti ibu bakalan bilang calon menantunya cantik banget."

"Jangan gombal," tukasku berusaha menyembunyikan degup yang mulai nakal.

Beruntung kita hanya diterangi lampu taman dan bulan. Jadi rona di wajahku tidak akan begitu kelihatan.

"Kaka gak perlu gombal," dia menjawab singkat

"Em, gimana kalo aku botak?" Aku kembali melayangkan pertanyaan

"Cacat pun kaka terima," dia menyahut tanpa beban, namun bisa kurasakan sebuah ketulusan.

Ah, aku jatuh, sejatuh-jatuhnya.

...
"Sekarang, Kaka cuma punya kamu." Ucapnya pada suatu siang, setelah ibunya dipanggil pulang.

Aku terdiam sejenak, begitu takut rasanya. Bagai mana jika aku menghilng? Apa sekaratnya akan terulang?

Tuhan, demi apa pun yang ada di bumi, aku menyayanginya. Sangat sayang. Bolehkah kupinta sebuah kebersamaan sampai nanti? Sampai kita mati dan dihidupkan kembali.

"Kaka masih punya Tuhan, sahabat dan juga mereka." Kuukir sebuah senyum, berharap mampu menepis gelisah pada hatinya yang berdarah.
_
Bivista

NOTE

Terimakasih kepada teman-taman yang telah mengirimkan naskahnya. Bagi teman lain yang berkenan mengirimkan naskah demi melengkapi blog kita ini dapat dikirimkan melalui: 

email satukara.com@gmail.com

FB @khairulfikri.co, 

WA. 085762407942

0 Response to "I Love You; Aku, Dia dan Kita"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel