Diam
Awal perkenalan kami karena salah orang. Maklum, saat itu malam hari. Dia sedang berbincang dengan tante Herna. Aku pikir, perempuan yang tadi sore menggodaku. Sempat berdebat, tapi setelah kutunjukkan foto gadis yang menggodaku, ternyata memang bukan dirinya. Malu pasti, tapi tak kutunjukkan. Gengsi.
Sejak itulah, aku coba mendekatinya. Dari mulai ngeadd pertemanan facebook, sampai diam-diam mengikuti kegiatannya. Tante Herna bilang, Syifa gadis yang jutek, jarang senyum tapi mandiri.
"Neng Syifa," sapaku. Wajahnya menoleh.
"Iya."
Kepalanya mendongak. Aku menarik bangku kosong yang tak jauh darinya. Kedai Bang Rangga siang ini makin ramai oleh pengunjung.
"Nungguin siapa?" tanyaku lagi. Dia menutup buku, menyeruput secangkir kopi. "Gak ada."
"Butik kamu tutup?"
"Enggak."
"Terus siapa yang nungguin?"
"Pegawaiku." Membuka buku kembali, membacanya. Sepuluh menit hanya keheningan yang tercipta. Ia beranjak, hendak pulang.
"Syifa, mau pulang?"
"Iya." Kujajari langkahnya. Setelah membayar pesanan, Syifa berjalan sedikit berlari.
"Hai, kamu takut padaku?"
Langkahnya terhenti. Aku berlari kecil menghampiri. "Jangan takut. Aku cuma ingin lebih mengenalmu," kataku meyakinkan.
"Baiklah."
***
Selang beberapa hari, kami mulai dekat. Meski terkadang Syifa agak cuek, aku tetap bersabar. Dia seorang gadis yang jarang sekali tersenyum. Wajahnya terlihat kaku dan terkesan jutek. Tapi, aku suka.
Sudah dua minggu ini kami sering komunikasi, bahkan beberapa kali bertemu. Memang aku yang banyak bertanya dan berbicara. Pun ketika aku bertanya tentang kekasih hatinya.
Dia menjawab, "Sudah ada tapi belum bertemu, masi rahasia Ilahi." Ah, jawaban yang membuatku semakin berharap.
Hingga suatu hari. Aku merasa Syifa berbeda. Dia diam. Tak menghubungiku sama sekali. Dua hari tak ada kabar darinya. Aku telepon tak diangkat. WhatsApp dan messenger tak dibalasnya. Malam ini kuputuskan untuk menemuinya.
Dari depan gerbang rumahnya, aku melihat Syifa sedang tertawa dengan seorang lelaki. Mereka terlihat begitu akrab. Sebuah tangan menepuk bahuku. Aku menoleh. Seorang anak laki-laki yang mungkin masih berusia belasan tahun.
"Maaf, Mas ini siapa?" Ragu aku menjawabnya.
"Jangan-jangan, mau maling, ya?"
"Eh, bukan, bukan." Langsung kusergah. Matanya memicing.
"Aku ini temannya Syifa. Perempuan yang duduk di sana." Aku menunjuk ke arah Syifa yang sedang asik mengobrol. Sesekali ketawanya berderai. Sial, aku mulai cemburu.
"Ooh ... itu kakakku. Terus, kenapa Mas cuma berdiri di sini?"
"Laki-laki itu pacarnya, ya?" Aku tak menjawab pertanyaannya, justru aku yang balik bertanya.
"Mungkin. Yang kutahu mereka sudah lama berteman. Namanya Mas Ricki. Dia baru pulang dari Australia. Tiap pulang ke Indonesia, pasti menemui Ka Syifa."
Aku mengangguk. Mulai tidak percaya diri. Laki-laki itu lebih gagah dan tampan dariku.
"Mobil itu, punya Ricki?"
"Iya."
Aku diam. Menghela napas berkali-kali.
"Ya udah, masuk aja, Mas."
"Gak usah, aku pulang saja."
"Beneran nih?" Aku mengangguk lemah.
Dua minggu mungkin waktu yang singkat. Namun, rasa ini sudah bersemayam. Dan sekarang terhempas begitu saja.
Syifa denganku tak seceria itu. Tapi,
dengan Ricki? Terlihat sangat bahagia. Sudahlah, lebih baik menunggunya yang menghubungiku kembali. Walau kemungkinan itu sangat tipis. Aku sadar, tak layak berharap lebih. Bagai pungguk merindukan rembulan.
Sekarang yang harus kulakukan hanya diam. Diam menunggumu, diam memerhatikanmu dan diam merindukanmu.
Yang pasti, aku menyukaimu. Titik.
-Izha Fiqhel-
NOTE
Terimakasih kepada teman-taman yang telah mengirimkan naskahnya. Bagi teman lain yang berkenan mengirimkan naskah demi melengkapi blog kita ini dapat dikirimkan melalui:
email satukara.com@gmail.com
FB @khairulfikri.co,
WA. 085762407942
0 Response to "Diam"
Post a Comment