Dia dan Impianku

Oleh : Haz

Ujian Nasional baru saja berlalu. Tapi kebimbangan ini tak kunjung pergi. Kemanakah diriku setelah lulus SMA nanti? Akankah bisa kuliah seperti teman-teman yang lain? Ataukah ... Ah, aku terlalu takut membayangkannya.

Kupandangi undangan rekomendasi beasiswa dari ITB yang  didapat beberapa waktu lalu. Masih terngiang ucapan bapak kala itu.

"Nggak usah ke Bandung, Nak," ujar bapak ketika kusodorkan kertas yang berisi kabar membahagiakan itu.

"Kenapa, Pak?"

"Di sana mau tinggal di mana? Terus nanti mau makan apa, Nok? Kamu tahu sendiri kan keadaan ekonomi kita ini, bapak nggak sanggup kalau harus biayain hidupmu selama kuliah di Bandung. Tiga adikmu juga masih harus sekolah,"  jelas bapak.

Aku hanya terdiam. Beberapa waktu lalu, ketika aku jelaskan pada bapak bahwa di Bandung nanti ada teman yang mau membantu mencarikan beasiswa untuk hidup sehari-hari, bapak tetap saja tidak memberikanku izin.

Hatiku seakan tercabik-cabik, beasiswa yang diimpikan selama ini melayang begitu saja karena tidak mendapat restu dari orang tua.  Aku hanya bisa menangis. Tidak berani membantah bapak.

Tiga bulan berlalu sejak Ujian Nasiional. Hari ini jadwal cap tiga jari. Langkah kakiku terasa berat. Apalagi jika mengingat teman-teman meneruskan kuliah, sementara diri ini tidak bisa. Rasa sedih itu pun tak dapat kusembunyikan.

"Awaaaaaa." Suara cempreng Dilla mengagetkanku begitu memasuki gerbang sekolah.

Ishhh, anak satu ini.

"Awa, gimana? Sudah ngomong sama bapak masalah beasiswa itu?" tanya Dilla dengan penuh hati-hati.

Aku hanya menggeleng. Tidak bersemangat. Dilla tak berkata apa-apa lagi. Sebagai sahabat, dia cukup tahu perasaanku. Meskipun tak kuungkapkan, dia paham apa jawaban atas pertanyaannya tadi.

"Eh itu teman-teman yang lain, kesana yuuk Wa," ajak Dilla tak lama kemudian. Kuikuti langkah Dilla. Di sana beberapa teman kelas A5 sudah berkumpul.

"Assalamualaikum, hai Dilla, hai Awaa ... lama nggak ketemu ya ...." sapa Listy setibanya kami di samping mereka.

"Waalaikumsalam, hai semua." Dilla begitu sumringah.

Dilla dan teman-teman yang lain pun mulai asyik mengobrol sendiri. Kuedarkan pandangan keseliling, terlihat bangku panjang yang belum berpenghuni di dekat taman.

"Dill, aku duduk disana dulu ya."

Dilla hanya mengangguk. Dari tempat duduk, kuamati teman-teman yang tengah asyik mengobrol. Sebenarnya aku tak ingin berlama-lama di samping mereka. Telinga ini terasa panas, sementara hati merasa sedih, ketika mengingat aku tak bisa seperti mereka, melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

"Awa nggak masuk ya Dill?" suara cempreng Roni mengagetkanku. Dia itu ... Ahh ... terlalu baik. Aku tak tau apa yang harus kukatakan padanya nanti mengenai keputusan bapak itu. Huffftt.

"Wa," tepukan di bahu kembali menyadarkanku.

Aku menoleh, Roni sudah duduk di sampingku. Wajahnya cengengesan, khas seperti biasa. Aku hanya tersenyum,  lalu mengalihkan pandangan dari wajahnya. Ingin sekali aku pergi dari sini. Tak kuat rasanya jika harus bercerita pada Roni tentang keputusan bapak.

"Wa, beasiswa itu gimana?"

Raut muka Roni seketika menjadi serius. Aku hanya diam. Kutundukkan pandangan. Itu pertanyaan yang tak ingin kujawab.

"Wa ...." Roni masih menunggu.

"Bapak nggak ngijinin Ron, kamu sudah tahu alasannya kan, seperti yang aku sampaikan  beberapa waktu yang lalu."

"Tapi kan wa ...."

"Udah ah. Aku nggak mau bahas itu. Aku mau ke perpus dulu," ujarku sambil berlalu.

Ujian penerimaan Mahasiswa baru sudah berlalu. Beberapa teman-temanku sudah diterima di Universitas favorit. Salah satunya Dilla, dia berhasil masuk ITT - Bandung. Sedangkan Roni, kudengar dia diterima di ITB, kampus yang selama ini ku idam-idamkan.

Hari ini entah kenapa aku mengiyakan ajakan Dilla untuk pergi ke sekolah. Padahal sih, sudah bebas, tinggal menunggu acara perpisahan sekolah dan pengumuman kelulusan saja.

Pukul 07.30, kelas XII A5 masih sepi ketika aku dan Dilla tiba di sana. Dilla memilih duduk di bangku depan, kemudian dia pun sibuk mengerjakan soal Ujian Nasional yang sudah berlalu.

"Aku duduk di belakang aja y Dil."

"Ih, sini aja Wa. Ngisi ini bareng yuukkk."

"Nggak mau ah Dil, lagi males mikir." Kutinggalkan Dilla yang sudah asyik berkutat dengan soal-soal tadi.

Dari bangku belakang, kuamati Dilla. Dilla sangat beruntung. Terkadang aku iri padanya. Sejak ikut olimpiade itu, satu demi satu olimpiade dijuarainya. Mulai tingkat kecamatan, sampai akhirnya maju ke kancah nasional. Sekarang pun mau masuk perguruan tinggi yang mana saja, tinggal pilih sesuka hati dia.

"Pagi-pagi udah nglamun. Nglamunin aku ya Wa?" tiba-tiba Roni sudah berdiri di samping tempat dudukku. Kutatap wajahnya. Dia hanya cengengesan seperti biasa.

"Boleh duduk disini?" Tanpa ba-bi-bu Roni sudah duduk di sebelahku.

Aku mencoret-coret buku yang daritadi aku pegang.

"Lagi apa si, Wa?"

"Nggak lagi ngapa-ngapain."

Roni terdiam. Aku pun terdiam.

"Woy! Kalian ngapain hayooo?" tiba-tiba Dilla sudah duduk di kursi depan kami.

"Eh Ron kamu ikut tes ITB kok nggak bilang-bilang sih. Tapi selamat ya," sambung Dilla kemudian.

"Penting gitu harus bilang-bilang? Kamu aja ketrima di ITT gak bilang-bilang."

"Selamat ya buat kalian berdua." Aku tersenyum. Kujabat tangan Roni dan Dilla.

"Aku mau ke perpus dulu," pamitku kemudian.

Dilla dan Roni saling berpandangan. Kutinggalkan mereka berdua. Aku tak ingin terlibat percakapan tentang kuliah itu. Bikin baper aja. Maaf ya Roni, Dilla, semoga kalian paham akan perasaanku sekarang.

"Wa, tunggu. Jalannya cepet amat." Tiba-tiba Roni sudah berjalan di sampingku.

"Kenapa?"

"Duduk situ bentar yuk, aku mau ngomong," ajak Roni sambil menunjuk sebuah bangku panjang di depan ruang Lab Fisika.

"Mau ngomong apa?" tanyaku tak lama setelah kami berdua duduk.

"Wa, kamu harus kuliah. Anak seperti kamu itu sayang banget kalau nggak kuliah."

Aku berdiri. Tak mau lagi mendengar omongan Roni tentang kuliah. Aku  tak ingin kecewa dan sedih lagi, terlebih ketika mengingat orang tua tak memberi ijin untuk kuliah.

"Tunggu, Wa. Please, dengerin aku dulu ...."

"Ron, kamu pasti udah tahu kan, aku nggak bisa nerusin kuliah, orang tuaku nggak ngijinin. Dan aku nggak mau berdebat soal hal itu lagi."

Aku kembali duduk. Kupandangi deretan pot yang berjejer di depan lab tempat kami berada.

"Wa, aku kan udah pernah bilang, masalah makan dan tempat tinggal nggak usah dipikiran. Di sana nanti banyak banget beasiswa. Aku pasti bakalan bantu kamu buat cari beasiswa yang lain lagi, Wa. Teman-teman yang kuliah di sana nanti juga siap membantu kok."

"Tapi masalahnya bapak nggak ngijinin aku Ron," ucapku lirih. Mataku berkaca-kaca. Air mata ini pun tak tertahan lagi. Aku menangis di depan Roni. Roni masih menatapku.

"Kalau udah nggak diijinin gitu susah juga ya, Wa."  Roni menghela nafas.

"Bulan depan ada ujian masuk STAN. Ikut ya, itu sekolah milik pemerintah. Biaya selama pendidikan ditanggung pemerintah semua. Termasuk tempat tinggal dan makan," sambungnya tak lama kemudian.

"Iya. InsyaaAllah. Terima kasih infonya ya ...."

Aku beranjak meninggalkan Roni yang masih terdiam. Dalam hatiku, ada secercah harapan. Harapan untuk bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi setelah mendengar omongan Roni tadi.

Tanpa terasa seminggu lagi Ujian masuk STAN dimulai. Aku semakin rajin belajar menyiapkan semuanya. Alhamdulillah, bapak mengijinkanku ikut tes masuk STAN. Beruntung sekali aku mengenal Roni. Dia, satu-satunya teman cowok di kelas yang dekat sejak masih di kelas XI dulu.

Dia juga yang selalu menyemangatiku agar terus melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, apapun yang terjadi. Roni selalu siap membantuku. Dari mulai meminjami buku latihan ujian masuk STAN, sampai membantu biaya ongkos berangkat tes ke Jakarta.

Semua nampak berjalan seperti yang aku harapkan. Hingga peristiwa itu terjadi. Tiga hari menjelang keberangkatanku ke Jakarta, bapak berubah pikiran.

"Kamu nggak usah berangkat ke Jakarta aja Nok," ujar bapak hari itu. Bagai mendengar suara petir di siang bolong, aku yang tengah belajar langsung terperanjat.

"Tapi pak, kenapa?" ujarku lirih. Sementara air mata hampir terjatuh.

"Pokoknya bapak nggak kasih ijin kamu kuliah. Kerja aja dulu baru kamu boleh kuliah," tegas bapak.

Aku tersentak. Runtuh sudah harapan yang sedikit demi sedikit mulai kubangun. Dan seperti biasa, aku tak bisa mendebat bapak. Jangankan mendebat, ngobrol saja masih kaku. Tidak hanya pada bapak tapi pada teman-teman yang tak akrab pun begitu. Sepertinya benar, aku menderita penyakit inferior.  Selalu minder dan merasa rendah diri.

Kulangkahkan kaki memasuki kamar tidur. Ada sesuatu yang terasa mengiris hati. Lagi-lagi air mata tak dapat dibendung. Menetes begitu saja. Merembes hingga jilbab dan lengan bajuku basah. Aku teringat Roni tak lama kemudian mengirim pesan singkat padanya.

To : Roni
Besok pagi temui aku di depan sekolah ya. Ada yang ingin aku bicarakan. Penting.

***
Sekolah terlihat sepi. Aku berdiri di luar pagar sekolah. Sesekali kuamati mobil dan motor yang lalu lalang di jalan raya.

"Hai, Wa. Udah lama ya?" sapa Roni tak lama kemudian.

"Nggak kok." Aku tersenyum. Kutundukkan kepala. Tak berani menatap Roni. Untuk kesekian kalinya aku telah mengecewakan dia.

"Aku ... aku nggak jadi ikut tes STAN, Ron," dengan terbata-bata akhirnya kata itu berhasil keluar dari mulutku.

"Kenapa?"

"Bapak berubah pikiran. Beliau ingin aku kerja dulu. Setelah itu baru boleh kuliah." Air mataku tak tertahan lagi. Dan untuk kesekian kalinya aku menangis di hadapan Roni.

"Maaf ya Ron, aku mengecewakanmu," ujarku lirih.

"Nggak apa-apa, Wa. Kalau memang bapak sudah bilang seperti itu ya sudah. Turuti saja. Tapi janji ya, jangan menyerah. Suatu hari nanti kalau ada kesempatan buat kuliah, kamu harus ikut." Roni memegang tanganku.

"Jangan menyerah Wa, janji ya!" Kulihat raut kekecewaan di wajah Roni. Tapi dia tetap berusaha menyemangatiku.

Aku hanya bisa mengangguk dalam tangis. Kusodorkan dua lembar uang seratus ribuan yang waktu itu Roni berikan untuk ongkos ke Jakarta.

"Lah kok dikembalikan? Kan aku udah ngasih buat kamu Wa ... simpen aja," tolak Roni halus.

"Nggak Ron, ini kan uangmu. Aku balikin. Kan aku nggak jadi ikut tes STAN." Aku masih terisak.

"Nggak apa-apa Wa. Simpen aja. Janji ya, kalau ada kesempatan gini lagi, kamu harus ikut. Kamu harus kuliah!"

Aku mengangguk.

"Oh iya, kalau kamu lagi naik bis, coba deh ajak omong orang yang di sebelahmu Wa. Kemampuan berbicaramu itu payah. Harus sering dilatih. Jangan pendiem banget. Ya udah, aku pamit dulu ya. Semangat Wa. Kamu pasti bisa!"

Hari itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Roni sebelum dia berangkat ke Bandung untuk kuliah. Kugenggam erat lembaran uang tadi. Suatu saat nanti pasti kan aku gunakan uang ini untuk biaya mengikuti tes masuk perguruan tinggi.

End.

NOTE
Terimakasih kepada teman-taman yang telah mengirimkan naskahnya. Bagi teman lain yang berkenan mengirimkan naskah demi melengkapi blog kita ini dapat dikirimkan melalui:
email satukara.com@gmail.com
FB @khairulfikri.co,
WA. 085762407942

0 Response to "Dia dan Impianku"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel