ANDIN (Sebuah Cerpen Romantis)

Oleh Khairul Fikri
----🌷----

Aku mengenal Andin satu setengah tahun lalu, kami berkenalan lewat sebuah puisi yang kupost di wall Facebook, katanya puisi itu begitu sesuai dengan apa yang tengah dirasakannya, luka akibat torehan dusta lelaki yang pintar bersandiwara. Sejak hari itu kami dekat, lambat laun semakin akrab, saling menyayangi layaknya saudara kandung, tanpa embel cinta di dalamnya, setidaknya itu bagi Andin.

Andin menganggapku seperti Abang kandung, sementara aku berharap lebih, namun tak pernah berani aku mengungkapkannya, rasa takut menghantuiku, takut kehilangan sesosok adik, sahabat, teman sekaligus perhatiannya bila saja rasa cinta yang kutawarkan kelak berakhir seperti hubungan terakhirku dengan seorang perempuan terbaik yang pernah mengisi hati dan hariku selama bertahun-tahun.

Sejak hubungan terakhir yang kuanggap serius dengan perempuan dua tahun lalu kandas oleh perbedaan kasta yang diciptakan ego dan adat itu, aku belum lagi berani membuka hati pada perempuan manapun. Aku tak berani jujur pada hatiku sendiri bahwa aku telah kembali luluh dan jatuh cinta, pada dia, Andin, hingga semua harapan yang kupendam ini pun terpaksa pupus beberapa bulan yang lalu.

Andin dengan bahagianya menceritakan sesosok lelaki lulusan Saudi, putra dari teman karib ayahnya datang dengan rombongan keluarga menyatakan maksud untuk meminang Andin. Aku tersayat, bingung, merasa bodoh, juga bahagia untuknya.

"Alhamdulillah, Ndin. Doa Abang juga doa Andin tak sia-sia, Andin dipertemukan dengan sosok hebat, sosok yang jauh lebih baik dibanding lelaki tolol yang sempat membuatmu benci semua lelaki. Abang turut bahagia dengan datangnya dia ke kehidupan Andin, semoga niatnya dimudahkan Allah tanpa kendala yang berarti."

Begitulah isi pesan yang kukirim untuk membalas kabar bahagia dari Andin, meski di hati menari-nari sembilu menggores luka-luka kecil namun begitu dahsyatnya.

Tidak berapa lama, pesan Andin masuk lagi, dengan hati yang berkecamuk kubaca pelan-pelan pesan yang cukup panjang.

"Alhamdulillah... ini semua juga berkat doa Abang yang begitu tulus untuk Andin, setahun sudah kita berkenalan, meski hanya lewat maya, Abang begitu perhatian melebihi saudara kandung, Andin semangat menjalani hidup, semangat bekerja dan berkarya, berasa kembali hidup setelah sebelumnya merasa mati itu semua juga berkat Abang..."

"... tak pernah Andin temukan di dunia nyata lelaki yang setulus Abang. Abang sudah Andin anggap layaknya keluarga, meski Andin belum pernah berjabat tangan, tentu saja Andin ingin..."

"... Mungkin suatu hari nanti kita akan dipertemukan. Naufal dan keluarganya akan kembali datang beberapa bulan lagi, untuk membicarakan prosesi pernikahan, Andin mau saat Andin menikah, Abang hadir di sini, datanglah ke tanah Jawa, Andin dan keluarga menantikan Abang. Ayah, Ibu, ingin berterima kasih secara langsung ke Abang yang selalu ada untuk Andin, mereka juga sudah menganggap Abang layaknya putra mereka. Tapi sebelum itu..."

Pesan Andin berhenti sampai di situ, Andin masih online, terlihat sedang mengetik. Aku hanya menunggu sampai pesannya muncul.

"Andin mau Abang juga bakal bawa Kakak Ipar buat Andin, kalau tidak Andin bakal terus menunda pernikahan Andin. Andin paham betul apa yang membuat Abang sampai sekarang tak membuka hati dengan siapapun. Kali ini Abang gak boleh menolak lagi, Abang harus mau nerima bantuan Andin yang pernah kita bicarakan dulu."

Dulu kami pernah menghabiskan semalaman suntuk membahas perihal impian yang belum sempat terwujud, terkendala dana untuk buka kafe, menulis dan menjadi Content Creator. Hal yang bisa dibilang aku cukup mahir di dalamnya. Saat itu Andin menawarkan bantuan, memodaliku untuk memulai usaha yang kuinginkan, aku menolak, sedikitpun aku tidak merasa Andin merendahkanku, karna kutahu betapa tulus hatinya, hanya saja aku tak berani berhutang budi pada seseorang, meski penawarannya bukan secara cuma-cuma, aku bisa mengembalikannya saat usahaku mulai membuahkan hasil.

Tanpa menepis mimpiku, aku tetap tidak menerima tawaran Andin, dengan tak membuatnya tersinggung, berbagai alasan kulontarkan, namun mimpiku akan tetap kukejar dengan cara apapun, meski harus terseok-seok untuk menapakinya. Sampai saat datangnya kabar bahagia dari Andin aku belum juga berhasil mengubah impian itu menjadi nyata.

Setelah perdebatan panjang, dengan berbagai alasan yang dikemukakan Andin aku tak mampu menolak, luluh dan menerima tawaran Andin.

Aku mulai meniti karir dan usaha dengan langkah yang lebih pasti. Setiap saat Andin kukabari perkembangan usahaku, tiap saat pula Andin menyemangatiku, mengoreksi tiap tulisan, beropini pada konten yang kuciptakan.

Sebulan dua bulan mulai membuahkan hasil, aku semakin sibuk, semakin rajin, semakin bersemangat, waktuku untuk Andin semakin sedikit, memang sejak Andin dilamar Naufal, aku pun sedikit membatasi diri dengannya, aku takut Naufal tak enak hati, meski aku tak mengenalnya, bahkan Andin tak pernah mau menunjukkan foto Naufal kepadaku.

Waktuku yang semakin sedikit untuk Andin tak lantas membuatnya kecewa, karna Andin mengerti apa yang membuatku begitu, tak henti-henti Andin menyemangatiku. Sampai pada berjalan lima bulan, aku sudah bisa mengembalikan modal yang diberi Andin, sekarang sudah berjalan tujuh bulan dan hasilnya memuaskan.

"Selamat Abang, usaha Abang tak sia-sia, andai dari dulu Abang terima tawaran Andin, mungkin hari ini Andin sudah punya Kakak Ipar yang cantik dan rupawan."

"Alhamdulillah, Ndin. Jika bukan karena bantuan dan doa Andin, mungkin sampai sekarang Abang masih bergelut dengan mimpi dan terik matahari di lapangan parkir. Abang tak tahu harus dengan cara apa berterima kasih atas kebaikan Andin."

"Sudahlah, Bang. Abang cukup bersyukur dan jangan lupa tetap menjadi Abang yang baik buat Andin, itu lebih berharga dari segala ucapan terima kasih bagi Andin. Sekarang Abang penuhi janji ke Andin, kemarin Naufal dan keluarganya kembali datang, waktu dan tanggal sudah ditentukan, Andin mau Abang datang sebelum hari-H..."

"...Abang bisa kan? Maaf karna Andin tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi, Andin tak bisa beri alasan apa-apa lagi, mungkin ini sudah takdir, Andin harus mendahului Abang, tak seperti rencana kita, Abang masih sibuk dengan usaha yang mulai berkembang sampai tak punya waktu untuk memikirkan seorang perempuan..."

"... Kapan Abang bisa terbang ke tanah Jawa? Andin harap secepatnya. Bisa kan, Bang?"

Kembali hatiku berasa disayat sembilu, selama tujuh bulan aku seolah lupa kalau Andin sudah milik orang lain, meski belum diikat dengan tali pernikahan, sekarang Naufal sudah siap lahir dan bathin setelah tamatnya dari Saudi, memulai karir sebagai staf pengajar di salah satu Sekolah Islam Swasta yang dipimpin ayahnya.

Sekarang akan mempersunting Andin, adikku. Ya, aku harus mulai terbiasa menganggapnya layaknya seorang adik kandung. Entah aku kan kuat bersikap sebagai seorang Abang untuknya nanti akupun ragu, tapi aku sudah terlanjur janji.

"Dua hari lagi Abang berangkat ke Jawa Ndin. Doakan Abang selamat sampai di tujuan. Andin inginkan apa dari Abang? Insya Allah akan Abang penuhi."

"Bawakan Andin tiga kitab dengan terjemahannya Syarah 'Uqudu al-Lujain Fi Bayani Huquqi al-Zaujain, Qurratul 'Uyun, Fathul Izar. Andin akan sangat senang jika Abang menghadiahkan Andin tiga kitab tersebut."

Kitab yang tidak asing bagiku, aku pernah membacanya, satu di antaranya hanya pernah mendengar namanya, betapa mulia hatimu Ndin, beruntunglah suamimu kelak.

"Insya Allah akan Abang bawakan, Ndin. Sungguh hadiah yang menakjubkan."

Dengan hati tak karuan, aku berangkat ke tanah Jawa, kitab pesanan Andin berhasil kudapatkan, baru pertama kali aku bepergian dengan pesawat, membawa hati yang berkecamuk pula. Terbesit dipikiranku hal menyeramkan, kutepis dengan segala doa dan harapan, perjalananku adalah hal yang baik.

Tuhan masih memberiku kesempatan, meski di atas sana aku sempat keringat dingin. Aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Jawa, pulau yang penuh sesak oleh manusia dari berbagai kampung halaman.

Aku langsung mengenali Andin, Perempuan yang hampir dua tahun kukenal di dunia maya, Andin terlihat lebih anggun ketimbang di foto, wajahnya merah merona, matanya mulai sembab menahan air mata, sepasang paruh baya mendampingi Andin, aku pun ikut terharu.

Seorang pria sebayaku menghampiri, pakaiannya rapi, aku langsung teringat Naufal, inikah dia yang akan mempersunting Andin? pikirku. Dengan sopan lelaki itu membungkuk ke arahku.
"Biar saya bawakan kopernya, Mas!"
"Ma... maaf Mas, biar saya saja." Aku tak enak hati dengan Naufal.

"Tak apa, Bang. Biar Tio yang bawakan, Tio supirnya Papa." Jlep! Kukira itu Naufal.

Sampailah kami di rumah Andin, bagiku itu bukanlah rumah, melainkan istana. Aku semakin tak mampu berucap apa-apa selain menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan orang tua Andin. Jika mereka tak bertanya, aku lebih banyak diam.

Segala macam pertanyaan sudah kujawab, perihal orang tua yang sudah tiada, seluk beluk riwayat hidup, semua mereka tanyakan, kujawab apa adanya. Sampai pada pertanyaan yang membuatku hampir pingsan.

"Apakah kamu bersedia menikahi Andin?" Kusebut saja Papa untuk ayah Andin.

Betapa terperanjat aku mendengar pertanyaan papa, apakah ini lelucon yang lucu bagi mereka, atau menguji ketulusanku ke Andin sebagai abangnya. Kupandang Andin, dia tersipu malu, kupandang Mama, beliau memberikan isyarat untuk menjawab pertanyaan Papa.

"Maaf, Pa... bukankah Andin...?" belum selesai aku bicara, Andin memotong ucapanku.

"Tidak Abang, tak ada Naufal, maafkan Andin yang selama ini bersandiwara. Andin tak tahu harus bagaimana, hampir dua tahun Abang sama sekali tak pernah peka terhadapku, Abang begitu tulus, namun tak jujur dengan perasaan Abang sendiri..."

"... Naufal hanyalah sebuah nama yang Andin karang beserta ceritanya, Demi Allah, Andin menutup diri dengan lelaki manapun selama dua tahun ini, kalau Andin tidak bersandiwara begitu, Andin yakin Abang tidak akan pernah sampai di sini. Sekarang semua Andin serahkan ke Abang dan Papa, Andin terima apapun keputusannya."

Berasa dihembuskan angin surga tubuh ini mendengar penjelasan Andin. Tak bisa kugambarkan dengan kalimat apapun bahagia dan haru yang bergelut di hati dan sekujur tubuhku. Tercengang, kupandang Papa.

"Apakah kamu mau menikahi Andin?" Papa mengulang pertanyaannya.

Aku menjatuhkan kepalaku ke pangkuan papa, tak terbendung suasana hati, dengan tangisan di pangkuannya aku menjawab "Insya Allah, Pa... Insya Allah, terima kasih telah mempercayakan Andin kepadaku."

Bahagia. Tak tergambarkan bentuk bahagia saat itu, aku seperti baru saja lepas dari pasung yang membelenggu lama.

"Saya terima nikah dan kawinnya Andin Binti Abdul Aziz dengan mas kawin seperangkat alat shalat beserta tiga kitab,  Syarah 'Uqudu al-Lujain Fi Bayani Huquqi al-Zaujain, Qurratul 'Uyun dan Fathul Izar dibayar tunai!"

Teriakan "Sah" menggetarkan hatiku. Akhir bahagia ini tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. "Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan?"

End.
Khairul Fikri
Medsos; @khairulfikri.co

0 Response to "ANDIN (Sebuah Cerpen Romantis)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel