Xantofobia - (Malam Pertama Hingga Anak Pertamaku)
Sebuah cerpen oleh Khairul Fikri
----🌷----
"Xantofobia, anak ibu mengalami fobia warna, biasanya fobia seperti ini cenderung pada warna kuning juga tidak jarang warna merah, anak ibu fobia terhadap warna merah, itu sebabnya bila melihat darah dia akan mengalami kecemasan yang hebat."
Panjang lebar penjelasan dokter yang kudengar tentang apa yang menimpaku. Xantofobia (xanthophobia) adalah ketakutan terhadap suatu warna, khususnya kuning atau terkadang merah.
Sebagai akibat xanthofobia, korban menutup mata dalam kecemasan atau mendapat serangan panik bahkan ketika melihat benda sepele seperti aku yang cemas saat melihat bunga mawar.
Bukan tanpa sebab aku menjadi seperti ini, di usia yang masih balita aku menyaksikan dengan mata kepalaku bagaimana darah menutupi wajah ayah saat kecelakaan yang menimpa kami, aku selamat sedang ayah menghembuskan nafas terakhir di lokasi kejadian. Sejak itu aku sering cemas tanpa sebab yang jelas, tidak suka warna merah, membuat ibu bingung. Awalnya ibu mengira penyebabnya adalah aku yang belum bisa melupakan kejadian mengerikan itu.
Sepulang dari rumah sakit, ibu mulai sibuk berbenah di rumah, segala jenis perabotan, bahkan bunga-bunga kesayangan ibu yang berwarna merah disingkirkan, aku berhenti sekolah di sekolah umum, Home Schooling sembari rutin terapi.
Terapi yang kujalani tidak sesuai dengan harapan, kiranya kecemasanku begitu berlebihan, sampai aku remaja hanya sedikit perubahan yang kudapatkan, aku tidak terlalu cemas jika warna merah yang tidak sengaja terlihat tidak terlalu mencolok, namun tetap saja cukup untuk membuatku seperti orang yang sedang melihat hantu.
Akibat dari penyakit konyol ini, teman-teman sepermainan sering mengolok-olok, memanggilku dengan sebutan si Banteng Menyedihkan. Semua orang tahu betapa benci banteng melihat sesuatu yang berwarna merah tapi dengan amarah lalu ingin melumatnya, sedangkan aku sebaliknya, benci namun berusaha menghindarinya alias ketakutan.
Dari beberapa teman usil yang kupunya, ada satu yang begitu peduli dengan keadaanku, entah itu kasihan atau memang simpati di hatinya, Andin. Gadis berparas sederhana, tidak begitu cantik secara umum, tetapi tidak bagiku. Ada hal lain di wajah sederhananya yang mampu menghipnotisku untuk tak berpaling darinya, senang berlama-lama memandangnya. Aku nyaman jika bersama Andin, diapun begitu memahami keadaanku.
"Andin, tidakkah kau bosan menemaniku?" tanyaku di malam minggu seusai menyantap bakso cabai hijau yang menjadi tempat favoritku.
"Kenapa kau baru menanyakan ini padaku? setelah bertahun-tahun? Tentu kau sudah tahu jawabannya, tidak adakah pertanyaan lain yang lebih penting?" Pertanyaanku malah dijawab dengan pertanyaan, bertubi-tubi pula.
Hari ini Andin memang tidak seperti biasanya kecuali perkara makeup yang tidak pernah memakai lipstick, kalau karena aku dia begitu, bukankah masih banyak warna lain untuk lipstick selain merah. Sikapnya sedikit dingin kali ini, bahaya kalau pertanyaannya tidak segera dijawab.
"A...ada, maukah kau menikah denganku?" Dor! Peluru kutembakkan tepat ke jantungku sendiri. Kami memang tidak pernah komitmen apa-apa, tapi aku sudah tak kuat menahan gejolak ini sendirian.
"Kau tidak sedang berhalusinasi kan, Khai?" Wajahnya merah muda dan aku mulai cemas, Andin membelalakkan bola matanya.
"Ayo pulang, Ndin!" Tanpa melihatnya kutarik tangannya untuk pulang.
"Khai, jawab!" Andin menahan tarikanku.
"Nanti saja, kita pulang sekarang. Aku takut ayahmu ngamuk."
"Ishh!"
Di depan rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumahku, aku mengulang pertanyaan yang sama.
"Aku tidak sedang berhalusinasi, Ndin. Maukah kau menikah denganku?" Kali ini aku menanyakan dengan cara yang lebih pasti sembari menatap dalam-dalam ke bola matanya yang makin lama makin melotot.
"Kenapa baru kau tanyakan sekarang, ha!" Mata itu hampir keluar dari pelupuknya.
"Ya, daripada aku tanyakan tahun depan?"
"Ish...! Besok temui ayah!"
Jreng jreng! aku anggap itu setuju, tinggal bertarung melawan ayahnya.
"Ok! Sampai jumpa besok, Calon Isteri!" Ingin salto tujuh putaran takut mati, aku pulang dengan penuh bunga, tidak ada warna merahnya.
Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, niat baikku juga diterima baik oleh ayah Andin. Beberapa hari setelah permohonanku ke ayahnya, aku kembali lagi beserta keluarga bermaksud untuk membicarakan tujuan kami lebih lanjut.
Sebagaimana biasanya pertemuan dua keluarga yang akan menjalin hubungan kekeluargaan, berakhir dengan penentuan tanggal serta merta dengan rencana-rencana penyelenggaraan. Keputusan pun bulat. Kata sepakat telah dapat titik temu.
Aku menikahi Andin dengan sederhana, sesederhana bagaimana kami jatuh cinta yang entah siapa yang terlebih dahulu mencintai. Prosesi pernikahan yang unik, mulai dari undangan yang melampirkan catatan "Diharapkan tidak memakai gaun berwarna merah" serta seluruh dekorasi ruangan tanpa warna merah, bahkan hiasan inai di tangan Andin lebih ke warna kuning ketimbang merah. Kasihan.
Sampai di sini memang begitu datar ceritaku dengan Andin. Permasalahan barulah timbul saat kami mengawali untuk hidup bersama. Malam pertama yang menakutkan bagiku!
Pasangan lain yang baru menikah tentunya akan begitu menikmati malam pertama, tetapi tidak bagiku, malam pertamaku hancur, kemolekan Andin ditambah birahiku masih kalah dengan ketakutanku oleh menyeramkannya "Darah Perawan". Vulgar sekali kalau kuceritakan bagaimana kami saling menikmati sebelum akhirnya Andin kecewa sebab aku malah berhenti saat dia mulai bersiap dengan pose menantangnya.
"Maafkan aku, Andin. Aku belum siap."
"Baiklah, tidak harus sekarang, mungkin besok atau lusa." Datar sekali caranya menjawab.
Aku juga kecewa dengan keadaan ini. Sialan, pikirku. Punya isteri tapi berakhir di kamar mandi.
Malam-malam selanjutnya tetap begitu, suasana mulai mencekam dalam rumah tangga yang masih seumur toge ini. Kecantikan Andin seakan pudar sebab kekesalan. Sampai pada malam kedua puluh aku memberanikan diri, pingsan pingsanlah pikirku.
"Kau tidak perlu melihatnya, Khai. Aku rela kau langsung berhenti setelah kau merasakannya."
Ya, pikirku. Ini hanya sekali untuk selamanya, aku juga tidak akan mati karenanya.
Usai pemanasan aku melakukannya dengan menutup mata, pelan, pasti, hati-hati. Lalu aku merasakan cairan hangat di sana, secepat kilat aku berhenti, menarik selimut dan menutupi bagianku, kubersihkan lalu kulempar ke kamar mandi, tidak berani aku memandang Andin. Cukup sampai di situ malam ini.
Malam-malam selanjutnya, baru aku merasakan indahnya yang disebut-sebut sebagai surga dunia, hubungan kami makin harmonis hari demi hari, benar saja, cinta nyatanya tidak jauh-jauh dari nafsu.
Masalah terbesar muncul di kepalaku saat perut Andin mulai membesar.
"Bagaimanapun caranya kau harus ada di sampingku saat aku melahirkan anak kita, titik!"
Aku benci titik, ia tak berseru dan tak bertanya, tepi seketika mengakhiri segalanya. Apalagi keluarnya kata titik dari mulut perempuan.
Mau tidak mau, selama Andin mengandung, aku giat konsultasi, baca-baca artikel tentang mengatasi fobia, tapi tidak kutemukan apapun yang bisa menolongku, malah yang kutemukan katanya hanya diri sendiri yang paling ampuh untuk menaklukkan ketakutan, dan aku takut untuk tidak takut.
Bosan mencari tahu solusi masalahku, aku malah tertarik membaca hal-hal yang berkaitan dengan janin, bayi, ibu mengandung dan melahirkan. Di tengah-tengah keseriusan membaca aku paham betapa sakitnya mengandung dan melahirkan, perempuan begitu kuat menghadapinya, sementara aku terjebak dalam ketakutan.
Seorang suami sudah sepantasnya berada di sisi isteri yang akan melahirkan, siapa lagi yang akan menguatkannya jika bukan suami. Aku berhenti. Aku tidak lagi mencari tahu tentang solusi masalahku. Kecintaanku pada Andin harusnya lebih besar ketimbang ketakutanku akan warna yang selama ini menghantui.
Tiba saat yang paling menegangkan bagi seorang ibu. Berjuang antara hidup dan mati. Aku juga tengah dalam peperangan bathin di ruang tunggu.
"Bapak Khai, diharapkan mendampingi isterinya, sekarang sudah boleh masuk." Dokter yang menangani Andin menungguku di pintu ruang bersalin.
Dengan langkah gemetar aku memasuki ruangan mengerikan itu. Andin terlihat lemah, keringatnya mengucur deras. Kugenggam tangannya, dia balas genggamanku lebih erat. Saling menguatkan. Keringatku tak kalah deras membasahi pakaian, aku atau Andin yang tengah ketakutan sudah tidak kupedulikan, tetap aku tak berani memandang apapun selain wajah Andin yang begitu tegang.
Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan. Entah mantera apa lagi yang disebutkan dokter aku sudah tidak bisa mendengar dengan jelas, aku seperti tidak sedang sadarkan diri namun genggaman Andin makin lama makin erat menyadarkanku dibarengi dengan teriakannya yang memilukan menahan sakit. Air mataku menetes begitu saja meski dalam keadaan setengah sadar, hingga tangisan bayi menyadarkanku.
"Anakku! Berikan padaku Dok!" Tak sabar aku menggendong bayi laki-laki darah dagingku, kuraih, kudekap, kucium keningnya lalu kukumandangkan adzan di telinganya.
"Sayang, ini anak kita, terimakasih telah memberikanku hadiah terindah."
Dengan hati-hati bayiku kuberikan ke dekapan ibunya, betapa tak terkira bahagia dan rasa syukur yang kurasa.
"Kau juga harus berterima kasih ke jagoan kita ini, Khai. Kau sudah disembuhkannya."
"Ha?"
Baru aku sadar, tanganku berlumur darah sebab aku yang merampas bayiku sebelum sempat dokter membersihkan seluruh noda darah di tubuhnya.
Ya Allah, betapa indah karunia-Mu. Cinta yang Engkau anugerahkan dapat dengan mudah menghapus segala problema kehidupan, hampir seumur hidup aku merasakan ketakutan nyatanya cinta yang begitu tulus dengan mudahnya mengalihkan ketakutanku, penyakitku. Alhamdulillah ya Allah.
End.
Khairul Fikri
Medsos; @khairulfikri.co
0 Response to "Xantofobia - (Malam Pertama Hingga Anak Pertamaku)"
Post a Comment