Aku Bukan Pengemis
Sebelumnya aku pernah buka kafe dengan seorang teman yang sudah seperti saudara. Jalan beberapa bulan, sebab tempat kurang strategis kami bisa dibilang gagal. Tidak lantas berhenti di situ, kami kembali membuka kedai kopi kecil-kecilan di lokasi tempat tinggal yang penghuninya bisa dihitung dengan jari, area kos-kosan sederhana, lumayan, meski harus terseok-seok.
Beberapa bulan berlalu dapat lokasi lumayan ramai, kami coba lagi buka warung kopi, lokasinya hidup, tidak begitu jauh dari jalan raya, dekat dengan perumahan etnis Cina yang sudah menjadi warga negara Indonesia. Beberapa Minggu berjalan, tidak seperti yang dibayangkan, sunyi pelanggan, bahkan tidak sampai setengah dari penjualan di kedai kecil kawasan kos-kosan sebelumnya.
Sekarang aku dan teman tersebut dapat tempat yang cukup menjanjikan, di tepi jalan, tidak terlalu ramai namun prosfeknya lebih tinggi dibanding tiga lokasi yang pernah kami coba. Kedai kopi biasa dengan menu semi kafe. Terletak di Jl. Sei Belutu no. 90 Medan. Gapa Auto FN.
Hari pertama buka kedai sudah terasa bedanya, pelanggan tetap sudah bisa dipastikan dari para karyawan bengkel Gapa. Apalagi tempat terbilang nyaman. Sekarang sudah berjalan sekitar dua Minggu sejak tanggal jatuh pembayaran lahan.
Itu hanya sekadar prolog, yang ingin kuceritakan bukan mengenai warung kopi-ku, tapi tentang seorang bapak tangguh yang membuatku haru.
Sekitar seratus meter dari tempatku berjualan terdapatlah satu masjid yang unik, mereka menyediakan air minum gratis untuk umum, masjidnya tidak begitu besar namun nyaman. Ada tukang parkir tanpa pungutan biaya, di depan masjid cafe rumah pohon bukan cafe esek-esek. Akan lebih indah bila berkunjung di malam hari.
Nah, di masjid itu lah aku biasa shalat, tiap kali ke masjid aku sering melihat dan memperhatikan seorang lelaki paruh baya dengan pakaian yang kumal, beliau salat tetapi tidak pernah ke dalam ruangan masjid, salatnya di teras masjid.
Mulanya aku berpikir, mungkin si bapak tidak tahan dengan AC, sebab di dalam ruangan masjid AC selalu menyala. Lagipula di teras pun sudah terasa begitu sejuk sebab pekarangan masjid dikelilingi pepohonan.
Sampai aku disadarkan saat salat Jum'at tadi, ternyata alasan si bapak bukan perkara AC. Aku memilih duduk di teras masjid, tidak jauh dari si bapak yang duduk dekat dengan jenjang keluar masjid. Beliau masih tetap dengan pakaian kumalnya seperti yang kulihat beberapa hari belakangan.
Selesai khatib kemudian imam berdiri dan memberi aba-aba bahwa salat dua rakaat akan dimulai, para jamaah berdiri dan menyusun shaf dengan rapi, kulirik si bapak berdiri tetapi tidak mengambil posisi, aku menunggu apa rencana si bapak.
Shaf terakhir masih muat tiga atau empat orang, aku mengambil posisi paling tepi, berharap si bapak berbaris di sampingku. Nyatanya sampai imam takbir tidak ada tanda-tanda si bapak akan mengambil posisi kosong di sampingku. Kutolehkan pandangan ke belakang, aku terperanga sebab di belakang, beliau sudah memulai shalat. Sedangkan aku masih menunggu, ketinggalan beberapa ayat Al-fatiha. Keterlaluan.
Tidak tega aku membiarkannya satu shaf seorang diri, aku memilih mundur dan salat mengikuti imam di sampingnya. Kudengar bisik-bisik halus dari setiap bacaan salatnya.
Selesai salat, tanpa zikir dan doa, si bapak langsung berdiri meninggalkan masjid menuju karung yang kutebak isinya barang bekas, sepertinya si bapak seorang pemulung.
"Pak ... " Si bapak menoleh dengan karung yang siap ditenteng.
"Kenapa Bapak memilih shaf paling belakang?" Tanyaku penasaran.
"Emang kenapa? Apa itu salah?" Si bapak malah balik bertanya.
"Gak salah, Pak. Cuma heran aja, di depan masih ada yang kosong, Bapak malah memilih satu shaf sendirian di belakang, sedangkan jika ada yang kosong di depan seharusnya bapak isi tempat kosong, jika tidak muat, beri tanda pada salah satu orang di depan untuk mundur agar shaf di belakang terhitung satu shaf." Jelasku panjang lebar.
"Bukan saya tidak mau, saya cuma takut mengganggu salat orang lain karena bau tubuh saya, takut kalau mereka tidak nyaman beribadah."
Aku terdiam mendengar alasannya, di hati ingin menangis. Betapa mulia pemulung satu ini.
"Mmm ... begitu. Bapak sudah makan? Aku punya kedai tidak jauh dari sini, kebetulan aku juga belum makan, apa Bapak bersedia makan di kedaiku? Ayolah, aku yang masak, aku juga yang traktir."
Akan sangat bahagia aku jika si bapak tidak menolak tawaranku. Tetapi apa boleh dikata, tanpa menyinggung perasaan, dia menolaknya dengan halus.
"Terimakasih, Nak. Tapi saya baru saja makan sebelum salat tadi."
Entah itu benar atau tidak, aku tidak bisa menebak. Yang kutangkap dari penolakan dan caranya bersikap, si Bapak tidak suka dikasihani, padahal aku begitu ikhlas, mau kuberi uang takut kalau beliau tersinggung, akhirnya aku merogoh saku dan mengeluarkan bungkus rokok, menyulut sebatang, kutawarkan padanya, diterima.
Dalam hati aku tersenyum, betapa bodohnya aku, ditolak jamuan makan, diberi racun sebatang rokok malah semangat menerima. Mau bagaimana lagi, rokok ternyata masih menjadi lambang pergaulan.
Aku meninggalkan masjid, si bapak juga, arah kami berlawanan. Kulihat ke belakang, kepulan asap mengekor di punggungnya.
End.
Petik sendiri hikmah di balik cerita di atas. Jangan tiru adegan berbagi rokok. Ingat, merokok membunuhmu!
Dilarang merokok di area SPBU.
Gambar hanya ilustrasi - milik pixoto
0 Response to "Aku Bukan Pengemis"
Post a Comment