Wanita Malammu
Parfum tanpa alkohol milik Aisyah menusuk hidung. Perlahan membuka mata. Benar saja, dia duduk di sisi ranjang, mengenakan mukena.
“Udah subuh, Bang. Salat dulu.”
“Kamu duluan aja, Abang masih ngantuk.” Aku membelakanginya. Kecupan Aisyah mendarat di pipi kanan. Aku terhenyak. Membalikkan badan.
“Iya deh, Abang bangun.” Senyumnya mengembang. Mukena ia buka, kembali berwudhu.
Selesai salat, Aisyah menyiapkan sarapan. Telur dadar kesukaanku sudah tersedia. Aku menarik kursi, menyantap perlahan. Sesekali menatap wanita berhijab syar'i yang duduk di kursi sebelahku.
Sebenarnya kami dijodohkan. Terus terang saja, hampir satu tahun menikah masih belum ada pendar cinta yang kurasakan untuknya. Padahal dia gadis yang soleha. Entah bagaimana orangtuaku dulu meyakinkan keluarga Aisyah agar menerima perjodohan ini.
“Hey, ada apa? Kok bengong?” aku gelagapan.
“Eng ... gak, gak apa-apa.” Dia meletakkan sendok. Menatapku lekat.
“Apa Ais buat salah?” tanyanya memegang punggung tangan kiriku. Aku meneguk air putih. Mengusap lembut pipinya.
“Gak ada kok. Ya sudah, Abang mau siap-siap ngantor.” Dia mengangguk.
Kadang ada perasaan iba pada Aisyah. Dia perempuan baik, kenapa harus berjodoh denganku yang memiliki masa lalu yang kelam?
Dulu, aku sempat terjerat narkoba, suka ke diskotik, minum-minuman keras, dan free seks. Memang itu hanya masa lalu. Tapi masa lalu itu sangat membekas.
Perlahan tapi pasti, Aisyah membantuku keluar dari lingkaran setan. Perkataannya umpama mantra untukku.
“Nanti pulang jam berapa, Bang?” tanya Aisyah setelah kukecup keningnya.
“Kayaknya malam, teman Abang mau ngadain acara. Kamu gak usah nungguin. Tidur duluan aja.” Aku lihat ketidaksukaan dari wajah Aisyah. Dia pasti sudah tahu, acara itu bertempat di diskotik.
“Kamu tenang aja, Abang gak akan minum-minuman lagi.” Senyumnya mengembang lalu memeluk erat tubuhku.
“Ya sudah, Abang berangkat dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa'alaikumsalam, hati-hati ya, Bang.” Dari kaca spion kulihat Aisyah masih berdiri sini.
Suatu hal yang sulit aku hindari pergi ke diskotik. Sempat beberapa kali menolak, teman-temanku justru mengejek. Yang paling tidak aku suka, kadang mereka mengaitkan dengan Aisyah.
“Lama-lama lu gak asik, Boy ....”
“Ini pasti dilarang sama si Aisyah. Gitu deh kalo punya istri ustadzah. Hahaha ....”
“Sebentar lagi, si Boy bakal jadi ustad. Terus itu dagunya berjenggot.” Mereka tertawa dan aku hanya diam.
Tak mau berdebat. Untuk menghindari ejekan itu lagi, aku selalu menuruti ajakan mereka.
***
Pukul dua dini hari tiba di rumah. Aisyah tertidur di sofa. Aku jongkok. Menepuk pipinya pelan.
“Ais ... hey, bangun ....” Matanya mengerjap. Bibirnya tersenyum.
“Tidurnya pindah ke kamar.” Jari lentiknya membenarkan jilbab. Meraih tanganku kemudian diciumnya.
“Abang mau makan? Biar, Ais siapin.”
“Gak usah, ini udah jam dua. Abang mau langsung tidur aja.” Dia beranjak mengikuti. Aisyah menggelayut manja di lenganku. Kepalanya ia sandarkan.
Aku sudah bersiap untuk tidur. Namun, tidak Aisyah. Dia salat tahajud. Kudengar suaranya sedang mengaji. Syahdu menenangkan jiwa. Dalam diam aku selalu berharap, dapat mencintainya dengan tulus, cinta suami terhadap istri.
Sejujurnya selama menikah baru terhitung tiga kali memberinya nafkah bathin. Aku juga tak mengerti, kenapa tak juga ada hasrat? Padahal tiap malam kami tidur satu ranjang.
Aisyah masih melantunkan ayat suci Al-quran. Kudengar disela bacaannya ada isak tangis. Namun, aku terlalu lelah untuk menghampiri atau sekadar bertanya. Biarlah, besok saja aku tanyakan. Menit berikutnya, aku terlelap.
***
Minggu ini, aku dan Aisyah duduk di kursi depan rumah. Dia menyuguhkan kopi.
"Aisyah, semalam kamu nangis kenapa?" Dia menggeleng. Aku menarik napas.
"Maafin Abang belum bisa jadi suami yang baik."
"Gak apa-apa. Abang semalam ketemu wanita malam, ya?"
"Iya, namanya juga di klub malam. Ais, Abang gak ngapa-ngapain kok. Cuma lihatin doang."
"Dih, sama aja. Abang sukanya perempuan yang kayak gitu?"
"Kamu ini ngomong apa, sih?" elakku. Menyeruput kopi.
“Bang, boleh Ais belanja?”
Aku terkekeh. Mau belanja harus ijin.
“Kok malah ketawa? Boleh gak?” tanyanya lagi sambil merajuk.
“Boleh ... ini pake ATM Abang. Mau dianter?”
“Enggak usah. Ais naik taksi aja.”
“Oh iya, habis dzuhur Abang mau ketemu teman lama. Kayaknya sih pulang malam lagi. Nanti kalo kamu mau nunggu di kamar aja. Jangan di sofa kek semalam.”
“Iya, Bang.”
Agak aneh sebenarnya, ini kali pertama Aisyah berbelanja. Biasanya aku yang membelikan keperluan Aisyah. Itu pun kalau aku tanya, kalau tidak ditanya, dia tak pernah meminta apapun.
***
Sebisa mungkin aku pulang lebih cepat. Meski acaranya belum selesai. Aku khawatir Aisyah menunggu.
Tepat pukul setengah sepuluh, aku tiba di rumah. Kulihat di sofa Aisyah tak ada. Ada perasaan lega. Mungkin sekarang dia sedang di kamar.
Menaiki anak tangga satu persatu. Pintu kamar aku buka. Gelap. Kutekan tombol listrik. Seketika kamarku seperti ruangan diskotik. Dengan lampu warna warni. Hentakkan musik menggema.
Di mana Aisyah?
Sesosok perempuan dengan rambut tergerai keluar dari kamar mandi. Mengenakan lingerie hitam dengan polesan make up yang wow.
Tanpa kusadari mulutku menganga.
"Aisyah?" Suaraku tercekat. Menelan air liur. Seksi.
Perlahan langkahnya menghampiriku, bibirnya lypsync lagu Rockabye. Di menit berikut, tubuhnya meliuk-liuk bagai penari malam yang sering kujumpai di diskotik.
Aku mengikuti alunan musik. Ngedance bersama Aisyah. Suasana kamar berubah menjadi hingar bingar musik. Untunglah kamar ini kedap suara. Tak khawatir bila tetangga mendengar.
Keren. Aisyah yang kupikir perempuan lugu. Bisa menari liar seperti ini. Musik diakhiri dengan alunan biola.
Aisyah mengajakku berdansa sambil berbisik,
“Akulah istrimu. Hanya aku wanita malammu.”
__________
Izha
0 Response to "Wanita Malammu"
Post a Comment