Suami Ingkar Nikmat

Dia istriku. Lima tahun sudah aku menikahinya. Sampai detik ini kami belum dikaruniai anak. Mungkin karena ia yang terlalu sibuk. Perempuan keras kepala. Sudah dibilang berhenti kerja, eh malah ngeyel.

"Aku mau berhenti, tapi kamu harus kerja."

Sialan! Selalu mengancam. Bukan aku tidak mau bekerja. Sudah mencoba melamar di beberapa perusahaan tapi tidak ada yang cocok.

Ada panggilan kerja tapi harus menjadi sales mobil. Gak level banget. Secara aku ini sarjana ekonomi, masa iya harus jadi sales? Maunya aku tuh ingin menduduki bagian staff. Berada di ruangan ber-AC, duduk di depan komputer. 'Kan keren?

Berbeda dengan istriku. Baru dua tahun bekerja ia sudah diangkat jadi manager perusahaan bidang periklanan. Gajinya juga lumayan. Sempat curiga sih, jangan-jangan ... harus aku selidiki.

"Mas, sarapan sudah aku siapin. Berangkat, ya? Assalamu'alaikum."

"Waa'laikumsalam."

Tinggal aku seorang diri.

Sepi.

Beranjak ke kamar. Meraih ponsel main game. Cuma ini yang jadi hiburanku. Coba saja kami diberi anak. Pasti sekarang aku sedang mengajaknya ke taman. Main bersama. Sayang, harapan itu tak juga terwujud.

Tanpa terasa sudah pukul sebelas. Perut mulai keroncongan. Beranjak ke dapur. Aku buka tutup saji. Cuma ada ayam goreng pakai bumbu instan, goreng tempe dan tahu. Kali-kali bikin semur daging, atau sayur ayam opor.

Lima belas menit perut sudah kenyang. Kulirik arloji, sudah pukul sebelas lewat 35 menit. Sebentar lagi waktu dia makan siang. Aku harus mengawasinya. Ingin tahu dia makan dengan siapa.

Mengeluarkan motor ninja keluaran terbaru. Hadiah darinya saat aku ulang tahun. Aku sih inginnya dihadiahi mobil sport. Eh, dia malah bilang, “Nanti aja, Mas. Mobil aku ‘kan cicilannya belum lunas.”

Dasar pelit!

Huh, matahari siang ini benar-benar membakar kulitku. Sebagusnya motor, kalau panas ya kepanasan. Kalau hujan, kehujanan. Pokoknya, ulang tahun nanti aku harus minta dihadiahi mobil. Kalau tidak, tinggal cerai.

Empat puluh menit tiba di depan gerbang kantornya. Kulihat para karyawan hilir mudik. Motor aku parkir di luar. Dititipkan ke pak satpam sambil memberi rokok sebungkus.

Nah, itu dia. Perempuan yang belum bisa memberi aku keturunan. Gayanya sudah seperti bos saja. Beberapa karyawan menundukkan kepala saat berpapasan dengannya.

Aku ikuti ia diam-diam. Ke mushola. Oh, dia salat dulu rupanya.

Hampir sepuluh menit aku berdiri di samping gudang. Itu dia, sudah selesai. Wajahnya makin bersinar. Dengan polesan make up yang agak tebal dari sebelumnya. Ganjen.

Ia berhenti di sebuah kantin. Untunglah suasana di sini agak ramai. Dia pasti tidak sadar kalau aku suami tampannya sedang mengikuti.

Sengaja memilih tempat duduk paling pojok sebelah kanan. Ia duduk di kursi tengah. Dapat kulihat menu makanan yang dia pesan. Hanya ayam bakar dan sayur asem. Dasar pelit! Buat makan sendiri saja ngirit.

Kuperhatikan matanya seperti mencari sesuatu. Benar saja dia melambaikan tangan pada seseorang. Laki-laki dengan stelan jas dan dasi. Gagah sekali tapi sepertinya lebih tua dariku.

Ternyata dugaanku selama ini benar. Dia telah selingkuh diam-diam. Sabar, belum saatnya aku melabrak lelaki bajingan itu.

Tak tahan melihat pemandangan menjijikan, aku beranjak. Lihat saja nanti di rumah. Tukang selingkuh!

*** 
Setelah azan isya berkumandang, suara klakson mobil terdengar. Aku tahu, itu pasti dia. Suara salam terdengar, kujawab pelan.

Tanganku diraihnya. Namun, tangan dia aku sentak dengan kasar.

“Ada apa, Mas?” Aku diam. Pandangan masih melihat televisi.

“Mas, ada apa?” tanyanya lagi. Duduk di samping. Aku agak menjauh. Dia menarik napas berat.

“Ya sudah, aku mau bersihin badan dulu,” ucapnya sambil meninggalkanku.

Aku masih menonton tv.
Dia sudah berganti pakaian, memakai piyama. Rambutnya digeraikan. Wangi shampoo menusuk hidung.

Tanpa rasa bersalah, dia bergelayut manja di lenganku. Tapi aku tepis. Matanya menyalak.

“Ada apa sih, Mas?”
Aku diam.

“Apa ada masalah? Masalah apa? Ibumu sakit?”
Enggan menjawab.

“Mas ... bicaralah. Ada apa?”

“Siapa laki-laki di kantin itu?” selidikku kemudian tanpa menatap wajahnya.

“Laki-laki siapa?”
Masih saja pura-pura tidak tahu.

“Jangan bohong! Aku tadi lihat kamu makan siang bersama laki-laki. Siapa dia?!” Suaraku makin meninggi. Matanya membulat. Mungkin terkejut mendengar bentakanku.

“Ya Allah, Mas. Dia itu atasanku.” Aku berdiri. Mulai jengah.

“Oh, pantesan ... jadi itu salah satu cara kamu cepat naik jabatan?”

“Astaghfirullah, jaga ucapanmu, Mas. Aku sama Pak Hardi gak ada hubungan apa-apa. Masalah jabatan, itu hasil kerjaku selama ini. Mas tau sendiri, bulan-bulan kemarin aku sering tidur larut malam. Iya, ‘kan?”

“Halaaah ... itu hanya alasanmu saja. Istri gak ada guna. Udah gak bisa ngasih anak, sekarang malah selingkuh!” Dia menangis. Memegang lenganku.

“Sumpah, Mas ... aku gak selingkuh. Tadi Cuma bicara soal pekerjaan.”

Aku hempaskan tangannya dengan kasar.

“Jangan bersumpah! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri! Saat ini juga, kamu aku ceraikan!” Matanya membelalak. Perkataanku pasti di luar pikirannya.

Aku tahu persis, dia paling tidak mau diceraikan. Karena orang tua dia telah bercerai. Tidak mau bernasib sama dengan mereka.

“Baiklah, kalau memang itu keputusan, Mas. Aku tak bisa berbuat apa-apa.” 
Sombong sekali. Pura-pura gak butuh aku.

“Berarti benar dugaanku, kamu benar-benar selingkuh. Buktinya jawabanmu pasrah. Tidak mengemis-ngemis seperti biasa. Oke, aku akan pergi dari sini,” kataku meninggalkan dia yang masih menangis.

Mengemasi pakaian. Dan mengambil tiga gepok uang yang ia simpan di lemari brankas.

Dia masih duduk terpaku. Matanya memerah. Menatap layar televisi. Bukan sedang menonton, tatapannya kosong. Tak peduli.

Aku yakin, dia akan menyesal berpisah dengan lelaki tampan dan penyabar sepertiku.

*** 
Dua tahun sudah aku berpisah dengan dia. Enam bulan setelah perceraian dengannya, aku menikah lagi dengan Sarita. Cinta lamaku dulu. Dia bekerja sebagai penjaga toko.

Gaji Sarita jelas jauh lebih kecil dari istri pertamaku. Makanya sekarang aku bekerja sebagai ojek online. Memalukan  memang tapi mau bagaimana lagi. Dari pada pusing dengar omelan Sari. Setahun lebih menikah tak kunjung jua dikasih anak.

Sambil menunggu pelanggan, aku duduk di warung kopi yang letaknya tak jauh dari perusahaan mantan istriku.

Entahlah tiba-tiba teringat dia. Aku akui, hidupku sebenarnya lebih enak tinggal bersamanya. Coba saja dulu dia tidak selingkuh, jam segini pasti aku sedang di kamar ber-AC sambil main game online.

Pintu gerbang perusahaan itu terbuka. Aku berdiri. Mencari mobil putih miliknya. Sampai saat ini aku masih ingat plat mobilnya. 
Agak berjinjit mataku menerobos lalu lalang kendaraan yang keluar.

Mobil Honda Jazz berhenti tepat di hadapanku. Aku mundur. Mungkin pengemudinya hendak membeli sesuatu di warung.

Setelah pengemudinya keluar, baru kutahu ternyata dia Rama teman kuliah.

Malang nasibnya. Baru lima bulan menikah istrinya meninggal karena kecelakaan. Padahal Rama pengusaha sukses. Dulu, mantan istri menyuruhku minta bantuan dia. Tidaklah, gengsi.

“Din, apa kabar?” sapanya mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya.

“Baik, Ram. Kamu kerja di situ?” tanyaku langsung.

“Oh, tidak. Aku ke sini habis jemput istri.”

“Kamu udah nikah lagi? Selamat, ya? Mudah-mudahan jadi keluarga sakinah mawaddah warrohmah.”

“Aamiin. Alhamdulillah, sekarang istriku sedang hamil empat bulan.” Aku mengangguk-angguk.

Tak lama sosok perempuan keluar dari mobil Rama.

“Hai, Mas. Apa kabar?” sapa Aminah, mantan istriku.

End.
___
Izha Fiqhel

0 Response to "Suami Ingkar Nikmat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel