Menunggumu Mengulurkan Tangan
Tadi pagi ketika di dalam taxi, ada satu kalimat yang membuatku terus berpikir, lagi dan lagi.
"Aku sudah terbiasa,"
Setahuku kalimat itu perlahan akan merujuk pada lupa, seperti ketika seseorang patah hati misalnya.
Jadi, apa benar kamu sudah terbiasa? Aku tidak, bahkan sering begitu ingin menyapa. Sebab rindu yang kutitipkan pada sederet aksara, tak pernah benar-benar menemui puncaknya. Tidak sama dengan kalimat yang kusampaikan langsung padamu, meski hanya terdiri dari dua suku kata; Aku rindu.
Tapi bukan masalah, jika kamu sudah merasa baik-baik saja di posisi itu, maka aku akan merasa lebih nyaman darimu. Sebab tentang keras kepala, aku juara. Lagi, bukankah aku yang meminta?
Hanya saja, tidak bisa dipungkiri. Aku sedikit takut dan lebih banyak khawatir posisiku di hatimu ada yang mengganti.
Awas saja kalo berani, akan kutinggal pergi!
Itu bukan ancaman, aku hanya ikut-ikutan. Karena kabarnya, seorang lelaki tak akan pernah mau ditinggal wanitanya. Jika kamu tak peduli, ya berarti kamu bukan lelaki. Titik tanpa tapi!
Intinya aku ingin kamu pertahankan, perjuangkan dan yang terakhir dijadikan pasangan. Supaya kita bisa memulai untuk menciptakan kebahagiaan.
Salam tinju, maksudku rindu.
***
Perlahan semua berlalu, tak ada yang tersisa kecuali rindu.
Katanya, hidup ini pilihan. Lalu, kenapa ketika dihadapkan dengan hal menyakitkan, keinginan untuk mati tak boleh dilibatkan? Bukankah itu termasuk sebuah pilihan?
Tanpa pertimbangan mungkin iya, tapi setelah berpikir jauh ke depan atau kembali mengulang ingatan, tentu itu adalah kebodohan.
Mengakhiri kehidupan di bumi, tidak berarti membuntukan jalan menuju akhirat nanti.
Dan sekarang aku sedang memikirkan banyak hal, salah satunya tentang kita yang terasa semakin janggal.
Adakah ragu dalam hatimu? Jika iya, maka segera mantapkan, atau mundur teratur agar tak membentur. Entah itu pada rasamu atau mungkin hatiku yang sudah terbelenggu.
Aku tak akan memaksa, sebab hidupmu adalah milikmu.
Aku pun tak akan menyalahkan, jika menungguku tak berbalas sepadan. Serupa luka atau kecewa yang berlipat ganda.
Pergilah jika ingin pergi, tak perlu berpura-pura baik-baik saja. Tak perlu kamu pikirkan tentang janji, aku akan berusaha ikhlas melepaskan semua.
Tapi, jika sungguh hatimu menginginkanku, berjuanglah untuk itu. Berpangku tangan tak akan membuat mimpi terwujudkan, pun semua doa hanya akan menjelma kata.
Ingat kan? Tuhan tak akan pernah merubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mau merubahnya.
Apa aku terlalu banyak bicara?
Sayang, ini belum seberapa jika dibandingkan dengan mimpi yang kupunya tentang kita.
Maaf, aku memang merepotkan.
Tapi setidaknya aku sabar berdiri di barisan paling depan, menunggumu mengulurkan tangan.
Entah kapan,
_
Bivisa
0 Response to "Menunggumu Mengulurkan Tangan"
Post a Comment