Cinta Di Ujung Rindu
Oleh : Haz
Kalian tahu apa yang menyakitkan bagi seorang perempuan? Bukan saat ia kehilangan suami, tapi ... saat ia harus berpisah dengan buah hatinya.
Satu tahun sudah berpisah dengan Bevi, putriku. Kini, di sinilah aku berdiri. Sebuah pantai di Kota Malang. Mataku nanar menatap lautan lepas di depan sana.
Namaku Thiyya. Wanita dengan raut wajah seperti awan mendung. Itulah yang mereka katakan tentangku. Entahlah, aku tak pernah memperhatikannya sejak seluruh pikiran tercurah pada Bevi. Tak lama, gawai yang ada di dalam tas berbunyi. Melihat sekilas si penelfon. Sebuah senyum pun mengembang di bibir.
"Assalamu'alaikum, dede sayang, apa kabar?" sapaku begitu panggilan video tersebut diterima.
Nampak sesosok anak kecil, berumur 5 tahun, dengan rambut keriting tengah tersenyum di seberang sana.
"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah sehat Mama," celoteh Bevi antusias.
Ada bulir hangat yang menganak sungai dari sudut netra. Suara lembut Bevi yang kurindukan selama dua minggu belakangan ini bagai oase di tengah sahara. Begitu mendamaikan hati.
Segera kuusap bulir bening itu. Tak mau Bevi mengetahui bahwa aku tengah menangis.
"Alhamdulillah sayang ...."
"Mama lagi apa?" Suara Bevi kembali bertanya. Sementara tanganku sudah sibuk menuliskan sesuatu di atas pasir.
"Mama lagi nulis. Lihat nih ...." Aku mengarahkan kamera gawai ke tempat dimana menulis tadi. Terlihat dengan jelas ukiran nama Bevi di atas pasir. Sesekali ombak berusaha menggapai tulisan itu.
"Udah lihat kan? Tulisan apa coba, Nak?"
"Namanya Bevi." Gadis kecil itu berteriak kencang. Ada binar di matanya.
"Anak mama makin pinter ya ...."
Lagi-lagi sebuah senyuman tersungging dari bibir kecil itu. Kemudian Bevi pun mulai berceloteh, berkisah tentang apapun yang dia alami. Aku hanya mendengarkan dengan sabar segala ceritanya itu. Meski senyuman tersuguh di wajahku, namun dalam diam ada sesuatu yang teriris di dada.
"Mama, udah dulu ya. Kapan-kapan telfon lagi," ucap Bevi setelah kurang lebih hampir setengah jam kami bercerita via video call.
"Iya sayang, Assalamu'alaikum, Mama sayang Bevi."
"Wa'alaikumsalam, Bevi juga sayang Mama."
Panggilan video berakhir. Aku masih memandangi gawai di tangan. Seolah tak rela obrolan bersama putriku itu telah usai. Kemelut dalam rumah tangga, hingga harus berujung perceraianlah penyebab semua ini. Hari demi hari kulalui tanpa semangat. Separuh jiwa telah terbang bersama segala angan yang pernah diukir dulu.
'Terlalu egoiskah aku?' Pertanyaan seperti itu kerap muncul di benak. Terkadang dalam diam, selalu menyalahkan diri sendiri. Mungkin akulah penyebab kehancuran rumah tangga kami. Aku yang telah gagal menjadi istri sekaligus ibu yang baik. Hingga Bevilah yang menjadi korban. Perceraian memang akan selalu meninggalkan luka tersendiri.
''Bevi, maafin mama ...." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Bulir hangat kembali mengalir di kedua pipi.
Rumah tanggaku memang sudah tak bisa dipertahankan lagi. Tepatnya sejak Andrian, mantan suamiku lebih memilih wanita lain dibanding aku, istri sahnya.
Setelah memasukkan gawai ke dalam tas yang sedari tadi ada di sampingku, pandangan pun kembali tertuju pada lautan lepas. Kaki mulai melangkah. Terus melangkah hingga akhirnya air laut mulai bisa menyentuh kakiku. Dingin. Sedingin hati ini.
Ombak yang datang silih berganti ke bibir pantai tak menyurutkan langkah. Seolah terhipnotis oleh buaian air laut yang begitu tenang, tanpa sadar setengah badanku kini telah berada di dalam air laut.
Seketika bayangan wajah Bevi muncul. Seolah ingin mengajak menuju ke laut lepas. Tanganku mulai menggapai. Ingin meraih tubuh mungil itu. Sebelum melangkah lagi sebuah tangan kekar sudah memegang ujung tangan ini. Aku terhuyung. Dengan cepat orang tersebut menangkapku.
"Thiyya! Istighfar Thiyya!" pekik Revan kemudian.
Aku hanya menangis. Mulai menggigil. Revan segera membawaku kembali ke bibir pantai. Dilepasnya jaket yang tengah ia pakai, lalu mengenakannya pada tubuhku.
"Thiyya, kamu baik-baik saja kan?"
"Aku ingin pulang," jawabku lirih tanpa mengindahkan pertanyaan dari Revan.
"Baiklah, aku antar kamu pulang."
#
Seminggu sejak kejadian di pantai, Revan kerap berkunjung ke rumah. Oh iya, dia sahabatku sejak kecil. Dulu kami begitu dekat, hingga akhirnya aku menikah. Sejak saat itu Revan perlahan menjauh. Mungkin ia hanya ingin menjaga perasaan suamiku saat itu. Sedih pastinya. Mengingat dia adalah sahabat terbaik dan mempunyai tempat tersendiri di hati.
Sore hari biasa kuhabiskan waktu dengan duduk di teras rumah. Entah kenapa rutinitas ini begitu kusukai. Menikmati senja sambil mengamati jalanan. Berharap suatu ketika ada Bevi turun dari salah satu kendaraan yang lalu lalang. Datang dan memelukku. Tanpa sadar, gerimis pun mulai jatuh dari sudut mata ini.
Suara ranting yang terinjak dari balik semak mengalihkan perhatianku. Dengan tergesa kuusap air mata. Rupanya dia tengah mengintaiku sejak tadi.
"Revan, keluarlah."
Agak lama menunggu hingga akhirnya dia muncul. Seorang lelaki berusia 28 tahun. Mengenakan jaket, celana jins longgar dan topi kesayangannya. Perlahan mendekat dan tanpa berkata sepatah katapun duduk di sampingku.
"Ngapain daritadi di situ?"
"Ngawasin kamu."
"Emangnya aku anak kecil." Bibirku sedikit mengerucut. Revan masih saja seperti dulu. Menganggapku anak kecil yang harus selalu diawasi.
"Kalau bukan anak kecil, terus ngapain waktu itu pakai acara mau nyemplung ke laut segala?" Pandangan mata Revan begitu tajam. Menatap ke arahku. Aku hanya diam. Tertunduk.
"Jawab Thiyya!"
"Aku ... aku hanya putus asa ...." Pertahananku jebol. Air mata yang sedari tadi tertahanpun tumpah sudah.
"Kamu nggak boleh putus asa, Thiyya. Allah berikan semua cobaan itu kepadamu karena Allah yakin kamu mampu melaluinya." Suara Revan melunak.
"Tapi dede ... Aku merindukannya, ingin memeluknya ...."
"Aku tahu itu. Peluk dia dalam doa. Doa ibu segalanya buat anak. Jangan sakiti diri sendiri." Revan menggengam erat tanganku. "Percayalah, ikatan batin ibu dan anak sampai kapanpun tak akan bisa dipisahkan."
Aku masih terisak. Mencoba mencerna tiap ucapan Revan. Perlahan sesuatu yang mengganjal di hati mulai terasa lepas. Revan masih menggengam tanganku. Dari sorot matanya aku melihat binar itu. Binar yang telah lama hilang sejak keputusanku menikah dengan laki-laki lain dulu.
"Kamu nggak sendirian, Thiyya. Masih ada Allah, keluargamu, juga aku."
Aku tersenyum.
"Tanganmu masih memegangiku, Van." Secara spontan Revan segera melepas gengaman tangan. Wajahnya yang putih seketika merona.
"Ehm ... maaf Thiyya."
Aku langsung tertawa terbahak melihat tingkah Revan. Sementara Revan, wajahnya cemberut. Persis anak kecil yang minta dibelikan jajan sama emaknya.
#
Hujan turun dengan derasnya sedari tadi pagi. Tanpa henti. Seperti rinduku pada Bevi. Hampir dua tahun sudah kami tak berjumpa. Meski komunikasi diantara kami tetap berjalan, tapi tetap saja berbeda. Apa kalian pernah merasakan rindu pada seseorang yang sangat kalian sayangi, ingin memeluknya, namun hanya bisa melihat dari layar gawai? Seperti itulah yang kurasakan.
Jarak begitu jauh memisahkan. Semesta pun sepertinya belum merestui pertemuan kami. Aku hanya bisa bersabar. Menunggu saat itu tiba. Satu hal yang pasti, cinta dan doa untuk Bevi tak pernah berkurang sedikitpun dariku. Untuk mengalihkan rasa rinduku pada Bevi, tiap hari kutuliskan kisah dan puisi tentangnya.
Biasanya sore begini Revan selalu berkunjung ke rumah. Entah hanya sekedar mampir ingin menengok atau membawakan buku kesukaanku yang sengaja ia belikan. Namun belakangan ini, Revan sudah jarang datang. Kudengar dari beberapa saudaranya, ia tengah mempersiapkan keperluan untuk melamar wanita pujaannya.
Seolah ada sesuatu yang mengiris di dalam sini. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Ah, harusnya aku bahagia. Bukankah dari dulu Revan selalu bilang ia begitu sulit jatuh cinta. Jika sekarang ia sudah memutuskan untuk melamar seseorang berarti wanita itu begitu spesial di hatinya. Dan aku, apakah mungkin aku cemburu?
Tiba-tiba saja mata ini berkaca-kaca. Baru membayangkan Revan melamar wanita lain saja hati ini terasa begitu sakit. Mungkin memang benar, hadirnya Revan kembali telah berhasil mencairkan hati yang telah lama beku. Perlahan aku mulai mengharapkannya.
"Assalamu'alaikum, Neng Thiyya ada tamu di depan." Suara Bi Inah menghentikan lamunanku. Kuseka segera pipi yang telah basah ini. Membuka pintu kamar dan terlihat Bi Inah tengah tersenyum lebar di depan pintu.
"Siapa yang bertamu, Bi?"
"Aduh Neng Thiyya, dandan yang cantik dulu gih. Baru temui tamunya."
Meski masih bingung, namun kuturuti nasihat Bi Inah tadi. Masuk kembali ke kamar, berganti pakaian, sedikit memoles wajah dengan bedak tipis. Setelah dirasa cukup, aku pun segera bergegas menuju ruang tamu. Di sana kulihat seseorang yang baru saja ada di pikiranku tengah duduk berbincang dengan Ayah. Om Danu dan Tante Nila selaku orang tua Revan juga ada.
"Nah, ini dia anaknya sudah datang. Duduk sini, Nak." Ayah menepuk tempat duduk di sebelahnya. Dengan masih penuh tanda tanya, kuturuti perintah Ayah.
"Nak, Revan dan kedua orang tuanya datang kemari bermaksud ingin meminangmu. Apa kamu menerimanya?"
Pertanyaan Ayah sukses membuatku melongo. Seolah tak percaya dengan apa yang kudengar, kualihkan pandangan ke arah Revan. Mencari jawaban dari wajahnya. Dia hanya tersenyum manis. Namun tatapan matanya menyiratkan kesungguhan dari perkataan Ayah tadi.
"Bagaimana Nak Thiyya? Apa ananda menerima lamaran putra kami?" Kini giliran Om Danu yang bertanya. Wajahku merona seketika. Aku pun menundukkan kembali pandangan. Mengangguk pelan.
"Alhamdulillah ...." Kudengar Ayah, Om Danu, Tante Nila dan Revan serempak mengucap hamdalah.
Sore itu pun berlanjut dengan membicarakan segala persiapan pernikahanku dengan Revan.
#
Hari ini hari pernikahanku dengan Revan. Pernikahan kami memang dilakukan secara sederhana. Hanya dihadiri oleh sanak saudara dan beberapa tamu undangan. Itu memang kesepakatan kami, tak ada resepsi ataupun pesta. Beruntung kedua orang tuaku dan orang tua Revan setuju.
Selesai acara akad, semua keluarga tengah berbincang di ruang tamu. Sementara aku memutuskan untuk beristirahat di dalam kamar. Kuraih gawai yang tergeletak di atas nakas. Dua minggu ini, sejak mempersiapkan segala keperluan pernikahan, aku sama sekali belum mendengar kabar dari putriku.
Tanpa menunggu lama, jari tanganku langsung menari di atas tombol gawai. Menghubungi kontak dede Bevi. Selang berapa menit, hanya suara operator yang menjawab panggilanku itu. Seketika air mata langsung tumpah.
Kutelungkupkan kedua tangan ke wajah. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagiaku, namun semua terasa kurang tanpa kehadiran dede di sini.
"Mamah ...."
Suara Bevi seolah memanggilku. Begitu rindunya aku pada dede. Hingga suaranya pun nyaris memenuhi pikiranku.
"Sayang, kok diam saja sih dipanggil dede daritadi?" suara Revan menyadarkanku.
Begitu menoleh, terlihat suamiku itu tengah mengendong gadis kecil yang selama ini sangat kurindukan. Pelan Revan menurunkan Bevi dari gendongannya. Seketika dede langsung berlari dan menghambur ke pelukanku. Tangis kembali pecah. Kuciumi wajah polos itu dengan penuh kasih.
"Mamah, Bevi kangen ...."
Kami berdua begitu larut dengan pertemuan ini. Satu tahun lamanya tak jumpa. Berulang kali kupeluk Bevi. Menatap wajahnya berkali-kali. Memastikan bahwa ini bukan sekedar mimpi.
"Ehm ... Nggak ada yang ingin memeluk Ayah gitu?" Tiba-tiba Revan sudah berdiri di sampingku. Sambil menggendong Bevi, akupun mengecup mesra pipi Revan.
"Terima kasih sayangku ...." Belum selesai ucapanku, Revan sudah memeluk.
"Om ini siapa, Mah?" suara Bevi membuat Revan melonggarkan pelukan. Saking bahagianya sampai lupa aku tengah mengendong Bevi.
"Mulai sekarang jangan panggil Om ya Nak, panggil saja Ayah." Revan mencium kening Bevi. Dari sorot matanya aku temukan betapa dia pun menyayangi dede seperti menyayangiku.
Rupanya diam-diam di tengah persiapan pernikahan kami, Revan pergi menemui mantan suamiku. Meminta izin agar Bevi bisa hadir di acara pernikahan kami. Tak disangka Andrian bukan hanya mengizinkan putriku hadir, tapi juga untuk tinggal denganku selamanya.
#
"Istriku sayang ngapain sih, bengong aja daritadi?" Kedua tangan Revan memegang lembut pundakku. Aku yang tengah menikmati indahnya langit malam pun membalikkan badan. Kukecup dengan lembut tangan kekar itu.
"Mas, bimbing aku ya ... Aku ingin ini adalah pernikahan kedua sekaligus pernikahan terakhirku."
"InsyaAllah sayang. Kita akan bersama-sama berjuang untuk meraih sakinah, mawaddah, dan warahmah dalam keluarga kecil kita ini."
Aku menangis seketika. Tangis bahagia. Betapa Allah Maha Baik. Di ujung penantian dan pengharapanku, setelah apa yang telah aku lalui, Allah beri semua ini. Revan menjadi suamiku, juga dede Bevi yang akhirnya tinggal bersamaku kini.
Di atas sana langit dipenuhi bintang bertaburan. Seolah ikut senang sekaligus menjadi saksi bisu atas kebahagiaan yang tengah kurasakan sekarang ini.
-Selesai-
0 Response to "Cinta Di Ujung Rindu"
Post a Comment