Tergadai

Suatu waktu di sebuah kampung bernama Antah Berantah, banyak sekali acara pesta pernikahan. Memang bulan itu sedang musimnya, karena dianggap bulan baik untuk mengadakan pesta pernikahan. Supaya tidak sial, katanya.

Rima yang masih melajang di usianya yang menurut keyakinan para warga Kampung Antah Berantah sudah cukup tua dan sudah seharusnya memomong anak bahkan mempunyai dua anak, kebetulan menghadiri salah satu acara pernikahan tetangganya.

Ia adalah seorang mahasiswa jurusan Teknik Informatika semester akhir. Sedang sibuk-sibuknya mengerjakan skripsi. Sebetulnya di Kampung Antah Berantah paling anti dengan perempuan yang bersekolah tinggi. "Perempuan tak usah mengenyam pendidikan terlalu tinggi," kata mereka. Bahkan, lulusan SLTA pun sangat jarang sekali. Keluar SLTP langsung menikah, ada yang sedang bersekolah di SLTA malah terputus di tengah jalan bukan karena tidak ada biaya, tetapi rela keluar demi cinta. Namun, pandangan seorang Rima berbanding terbalik dengan pandangan secara umum para warga Kampung Antah Berantah. Menurutnya, perempuan juga berhak untuk maju dan berkembang, tidak terdoktrin oleh pandangan umum orang-orang di sekitarnya.

"Kapan kamu nyusul, Im?" tanya orang tua sang pengantin wanita, Bu Sulis, saat bersalaman di pelaminan.

"Iya, Teh Im ... kapan?" Dewi, sang pengantin wanita, mendengar pertanyaan ibunya yang dilontarkan kepada Rima.

"Tanggung jawab Ima masih banyak. Ima harus selesaikan kuliah Ima, kerja, bantu-bantu orang tua," jawab Rima mantap.

"Teteh sih malah kuliah! Contohnya aku, sekolah mah cukup sampai SLTA aja nggak usah tinggi-tinggi, buat apa? Enakan nikah, entar ada yang nafkahin jadi nggak usah capai-capai kuliah dan kerja," celetuk sang pengantin wanita.

Rima hanya tersenyum.

"Iya, betul apa yang dikatakan si Dewi. Alhamdulillah, si Dewi dapat laki-laki yang banyak warisannya. Sawah warisan dari orang tuanya saja ada lima petak, pasti cukup untuk menafkahi si Dewi. Kebun ada tiga, dan itu luas-luas," jelas Bu Sulis dengan bangganya.

Sang pengantin pria yang mendengarnya pun turut tersenyum bangga.

Rima tetap hanya tersenyum. "Syukur, Alhamdulillah," tutur Rima.

Kemudian, Rima turun dari pelaminan dan ikut menyantap hidangan yang disediakan oleh empunya hajat bersama para warga.

***

Acara wisuda baru saja selesai beberapa jam yang lalu. Dengan tubuh yang lelah, Rima menyempatkan untuk membuka samartphone-nya dan melihat-lihat foto saat prosesi wisuda.

Ia tersenyum-senyum sendiri saat melihat foto-foto dirinya. Lalu, ia memposting beberapa foto di akun socialmedia miliknya.

Di menit-menit awal masih sepi tanggapan dan komentar, namun beberapa menit kemudian tanggapan dan komentar menyesakan notifikasi.

Beragam komentar memenuhi postingannya. Ada yang mendukung dan mengucapkan selamat, ada juga yang mencibir. Salah seorang yang ikut mencibir adalah Dewi, anak tetangganya yang dua bulan lalu menikah.

[Ciiieeeee yang bentar lagi jadi pengangguran ... bercanda, ding! Selamat, ya, Teteh.]

Rima hanya tersenyum membaca tulisan komentar Dewi. Tak menanggapi pun tak membalasnya.

Merasa sudah sangat lelah, Rima menaruh smartphone-nya. Dan mencoba memejamkan mata.

***

Tak sampai sebulan setelah bersusah payah membuat beberapa surat lamaran, Rima mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga IT di salah-satu perusahaan swasta yang cukup terkemuka di kotanya. PT. Tri Cakrawala.

Kantor tempat bekerja Rima berlokasi di pusat kota. Ia biasa pulang-pergi ke pusat kota yang hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit dari rumahnya, setiap hari. Berangkat pukul setengah tujuh pagi, pulang pukul lima sore dan terkadang lembur. Gajinya sangat lebih dari cukup, sehingga ia bisa menabungkan sebagian penghasilannya selain dibagikan kepada orang tuanya dan untuk kantong pribadinya.

Sekarang Rima sudah genap enam bulan bekerja di PT. Tri Cakrawala. Bukan hal yang mudah untuk bisa bertahan menjadi tenaga IT sampai enam bulan. Setiap hari ia dituntut bekerja profesional, loyal, dan dibawah tekanan. Pada awal menjadi staf biasa kini menjadi kepala divisi. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Gajinya pun turut bertambah. Beberapa kali Rima membeli perabotan rumah dan apa pun keinginan orang tuanya, dan beberapa kali pula tetangganya menyaksikan perabotan-perabotan itu diantarkan dari toko ke rumahnya. Melihat kehidupan Rima yang sekarang, bisa membelikan ini dan itu untuk orang tuanya, beberapa tetangga menciptakan sebuah gosip kalau dirinya bekerja di pusat kota bukan sebagai "orang kantoran" tetapi melakoni pekerjaan kotor.

Rima hanya menanggapinya sebagai angin lalu. Karena masih ada beberapa tetangganya yang menaruh percaya kalau yang ia belikan untuk orang tuanya adalah hasil kerja halal dirinya.

Setelah cukup lama Rima bekerja, ia dikejutkan dengan datangnya lamaran dari seseorang yang tak pernah terduga sebelumnya. Dilamar oleh sang pemilik perusahaan yang memang sama-sama masih lajang. Raka Wijaya Mahendra, namanya.

Raka tak langsung mendekati wanita yang disukai, melainkan diam-diam mencari tahu tentangnya. Termasuk alamat rumahnya. Tanpa sepengetahuan Rima, Raka mendatangi orang tua Rima dan mengutarakan maksud kedatangannya.

Awalnya orang tua Rima memang sedikit terkejut, namun memberanikan diri untuk menanyakan keseriusan. Setelah menangkap keseriusan sang pelamar, orang tua Rima menyuruh Raka untuk datang kembali esok malam.

"Tadi Pak Raka datang kemari," ucap Pak Abidin kepada Rima yang baru saja pulang bekerja.

"Apa? Pak Raka?" tanya Rima tak percaya.

"Itu ... bos-mu!"

"Mau apa dia datang kemari?" sahut Rima sembari mengambil remote dan menyalakan televisi.

"Melamarmu," sahut Bu Wati

Spontan Rima melirik ibunya, lalu beralih pada bapaknya. Dan menatap penuh keheranan. "Melamarku? Ah, Ibu dan Bapak ngawur! Mana mungkin?" Rima menyanggah.

"Besok tanyakan langsung sama bos-mu!" seru Bu Wati.

"Pak Raka jarang ada di kantor," sahut Rima malu-malu.

"Ya sudah, besok malam siap-siap karena Pak Raka dan orang tuanya akan datang ke sini," Bu Wati berkata sambil berlalu setelah teringat goreng pisang yang masih bermandikan minyak dalam wajan belum dibaliknya.

"Tapi kalau Ima nikah, Bapak sama Ibu gimana?"

"Ibu dan Bapak, sudah sangat cukup bahagia dan bangga bisa mengantarkanmu menjadi orang sukses. Bisa jadi sarjana, mendapat pekerjaan yang layak, bisa memberi kepada orang tua. Ibu sangat bangga, Ima. Sekarang tunggu apalagi? Sudah waktunya kamu menikah," Bu Wati berkata dari dapur dan mencoba memberi pengertian pada anak gadis satu-satunya

Rima termangu.

***

Malam yang ditunggu pun tiba.

"Bagaimana?" tanya Bu Wati.

"Iya, Ima bersedia menikah dengan Pak Raka." Jawaban Rima begitu membuat hati seorang Raka Wijaya Mahendra berbunga--bahagia. Orang tuanya menangis haru.

Malam itu semua keluarga langsung merencanakan pernikahan untuk putra-putri mereka.

***

Seminggu berlalu, setelah menggelar acara pernikahan yang mewah--yang sangat melelahkan--membuat sepasang pengantin baru hanya ingin diam di rumah orang tua Rima beberapa hari untuk beristirahat. Mereka tidak terpikir untuk berbulan madu dulu. Sebelum menikah Rima memang meminta agar tetap tinggal di kampung halamannya, ia ingin tetap menemani orang tuanya, mengingat ia anak semata wayang. Suaminya pun tidak keberatan atas permintaannya.

"Kenapa kamu mau sama aku, A?" tanya Rima memecah keheningan di antara mereka berdua yang sedang bersantai di siang hari.

"Karena menurutku, sepertinya kamu bisa diajak untuk berjuang bersama. Kamu wanita tangguh. Aku suka kemandirianmu," jawab Raka kemudian tersenyum sambil memandangi istrinya.

Hati Rima terenyuh mendengar jawaban Raka.

"Assalamualaikum." Tiba-tiba terdengar seseorang yang mengucapkan salam dari luar.

Rima kemudian membukakan pintu sembari menjawab salam seseorang di balik daun pintu. Terlihat wanita dengan wajah tidak terurus, badan kurus, mata sayu, dan menggendong seorang anak yang terlihat baru beberapa bulan.

"Dewi? Bagaimana kabarnya? Ayo masuk!" ajak Rima sembari tersenyum.

Dewi pun masuk ke dalam rumah orang tua Rima.

"Ayo silakan duduk!" Rima mempersilakan tamunya, "Kapan kamu pulang ke sini?" Rima bertanya dengan antusias, seperti seseorang yang merindukan temannya. Karena setelah menikah Dewi diboyong ke rumah orang tua suaminya yang berada di kampung sebelah.

"Kemarin, Teh. Itupun Uwi dapat kabar dari Ambu kalau Teteh udah menikah. Maaf, kalau Uwi tidak hadir di acara pernikahan Teteh. Keadaan Uwi lagi berantakan," jawab Dewi panjang lebar.

"Nggak apa-apa. Sekarang kamu datang ke sini." Rima tersenyum.

"Begini, Teh ... selain untuk silaturahim, Uwi sekarang lagi butuh sekali uang. Hasil panen musim kali ini tidak membuahkan hasil. Semua sawah milik A Rahmat gagal panen. Sedangkan si bayi butuh susu, belum untuk makan sehari-hari. Bapaknya malas, hanya mengandalkan dari hasil sawah warisan orang tuanya," jelas Dewi setelah duduk sempurna kemudian mengambil jeda sebentar, "kemarin, sempat ada yang mengajaknya bekerja untuk ikut membangun perumahan di kota tapi dia menolak. Sedangkan kebutuhan kami sehari-hari pun banyak. Saya bingung, Teh ...."

Rima menyimak keluh kesah yang keluar dari mulut wanita yang ada di hadapannnya.

"Kenapa tidak coba menjual apa saja yang ada di kebunnya milik A Rahmat? Lumayan untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Bukankah A Rahmat memiliki beberapa kebun yang luas?"

Dewi sedikit terhenyak. Dengan sedikit ragu ia mencoba menjawab pertanyaan Rima, "Ke-kebun Aa semuanya sudah dijual sekitar tiga bulan yang lalu. Uangnya dibelikan untuk bahan bangunan. Rencananya kami akan membangun rumah tapi belum terlaksana karena modalnya masih kurang, untuk makan sehari-hari saja kami harus memutar otak. Apalagi semenjak saya mengandung, A Rahmat jadi pemarah."

"Kenapa tidak kamu saja yang bekerja? Anakmu bisa dititipkan ke neneknya," tutur Rima.

"Lulusan SLTA kerja apa, Teh? Kalaupun ada lowongan rata-rata mencari yang berpengalaman dan belum menikah," jawab Dewi dengan wajah yang nampak putus asa, "ditambah Ambu dan Abah selalu meminta uang terus sama Uwi, jadi tambah pusing. Uwi punya uang dari mana? Kerja juga tidak."

Rima menghela napas. Ia bingung apa perlu untuk membantunya.

"Teh, Teteh bukannya udah nikah sama orang kaya? Masa Teteh nggak punya uang? Uwi boleh pinjam?" Dewi berkata sambil memelas.

Rima kemudian menatap suaminya yang secara tiba-tiba berdiri di sampingnya. Ia merasa bersyukur mendapatkan suami seperti Raka Wijaya Mahendra. Ia beruntung memiliki pendidikan yang tinggi. Ia pun merasa beruntung memiliki pekerjaan yang layak sehingga bisa membantu perekonomian orang tuanya, membahagiakan mereka.

Dobrakan Rima dari tengah-tengah warga Kampung Antah Berantah yang masih memegang adat feodal, membuatnya menjadi manusia yang beruntung. Bukan menyalahkan persoalan nikah di usia belia, tetapi ia memiliki pemikiran banyak hal yang bisa dikerjakan selagi masih muda.

***

Dahulukanlah apa yang menjadi kewajibanmu, dan bersabarlah. Karena jika mau bersabar sedikit saja, yang terbaik dari yang paling baik akan menjemputmu.

***
- Risye Kumaladewi Novia Mahendra

1 Response to "Tergadai"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel