BROKEN HOME | Cerpen


Ibu memelukku dengan tiba-tiba, ia menangis mendekapku. "Maafkan kami, kami telah gagal menjadi orangtua, maaf atas keegoisan kami," lirihnya.

BROKEN HOME
By : Zihanhandayani

Mari membalut luka hati dengan sebuah harap, bahwa yang pergi akan diganti dengan bahagia yang menetap.

Entah, berapa rintik air yang sudah berjatuhan mengalir deras membasahi buminya. Diantara puluhan juta air yang menetes. Mungkin salah satu diantaranya, ada bulir rindu yang menetes. Ah, tidak. Ia menetes bukan dari langit gelap yang mendung. Melainkan dari pelupuk mataku.

Tidakkah kalian ingin mengecap
Sekali lagi pada masa itu? Aku hanya ingin rinduku pupus dengan hadirnya kalian.

Harapan mereka kembali memang sangatlah tipis. Kami sudah jauh bak garis khatulistiwa yang membentang, menjadi pemisah antara dua belahan bumi. Begitupun dengan sikap mereka, yang memicu perpisahan ini.

Ayah ... Ibu ....
Kumohon kembalilah. Jangan biarkan air mataku terus membasahi kedua pipiku. Layaknya hujan yang terus menerus membasahi buminya.

Hari itu ....

***

"Aku capek! Hidup denganmu, setiap hari kau selalu pulang selalu larut malam dan juga mabuk, mana tanggung jawabmu sebagai suami, Mas! Bahkan, kau menafkahi saja tidak."

"Aku janji, aku akan berubah."

"Aku tidak butuh janjimu, hari ini berjanji besoknya di ulang! Capek hati aku, Mas. Aku mau kita cerai."

"Dasar wanita tidak tahu diri! Di baikin malah minta jantung! Baiklah. Aku talak kamu sekarang juga."

***
Ribut dan ribut!

Itulah yang selalu aku dengar setiap harinya. Bukankah rumah adalah zona yang paling nyaman? Tapi, kenapa bagiku rumah itu bak neraka, yang semakin hari semakin menyeretku ke dalam limbah air mata. Seisi rumah penuh dengan argumen, rasanya aku ingin berlari sejauh mungkin.

"Nindy, kamu mau ikut Ayah atau Ibu, Nak?" ucap wanita paruh baya itu, dia berucap lirih dihadapanku, air mata yang terus berjatuhan seakan mengiris hati ini, apa yang harus aku jawab?

Ya, aku Nindy, gadis yang terlahir dari keluarga yang cacat, jujur ini bukan keinginanku. Melainkan ini keinginan-Nya. Ada perasaan ganjil yang tidak aku pahami, inilah sebabnya mengapa aku lebih merasa tentram berada diluar.

Aku berada di posisi yang begitu sulit untuk dipilih, mereka adalah sosok yang berperan penting bagiku, tidak mungkin aku memilih satu diantara keduanya.

"Aku mau kalian berdua." Aku berucap lirih, air mata lolos dari pertahanannya.

"Sayang, kami tidak bisa, Nak. Maafkan Ayah," ujar ayah yang bersimpuh dihadapanku.

"Mengapa tidak, bukankah setiap permasalahan itu ada jalan keluarnya, 'kan?"

"Kamu benar, Nak. Tapi, jalan keluar untuk permasalahan kami yaitu berpisah," lirih ibuku.

Apakah yang dikatakan ibu itu benar? Apakah setiap permasalahan harus diakhiri dengan perpisahan, kurasa itu tidak benar, bagaimana menurut kalian?

Air mataku lolos begitu cepat, dada yang terasa sesak membuat nafasku terasa sakit. "Bu, ini hanya tentang ego kalian, yang akhirnya membuat argumen yang mengerikan,"

Ibu dan ayah hanya menggeleng, sepertinya perpisahan adalah yang terbaik untuk keduanya, aku hanya pasrah dengan takdir yang sudah Tuhan gariskan untukku.

Perpisahan ini membuat sebagian dari hidupku hilang. Entah, itu kasih sayang mau pun perhatian. Mungkin, kita semua mempunyai keterbatasan termasuk kedua orangtuaku. Bahkan, waktu perlahan mulai meringkas segalanya.

Keegoisan mereka telah menghancurkan singgasana dalam keharmonisan rumah tangga. Aku berada di bawah atap diambang kehancuran, tanpa bisa beranjak. Apalagi semua kenangan bermukim di sana.

Tidak ada canda dan tawa, rumah tampak begitu sepi, meski sayup-sayup suara yang terdengar memilukan bagiku, kini sudah tak lagi aku dengar. Mereka benar-benar dibutakan keegoisan, mereka tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya diejek. Karena keluarga yang hancur.

Mungkin, bagi mereka perpisahan ini adalah sebuah kebahagiaan, tapi tidak denganku. Ini bak limbah penderitaan. Entah, sampai kapan aku bergelayut dalam cerita yang menyedihkan.

Bahkan, setiap matahari terbit pun terasa sia-sia bagiku, aku ingin pagi. Pagi yang mengatakan jika semua ini hanya mimpi. Tentang perginya ibu, tentang perginya ayah. Katakan semua ini hanya bunga dari tidurku!

Aku tak sadar, ketika bulir cairan bening mulai tergenang dipelupuk mataku, pertahananku hancur, ketika cairan bening tumpah begitu saja.

"Dengan seperti inikah cara hati menunjukan bahwa patah itu sakit?" gumamku.

Seiring berjalannya waktu dunia terasa terhenti, aku seperti sedang berlarian tak tentu arah, gerakan tubuh terasa resah, tentang pagi yang menyesakkan, tentang hidup diujung luka, tentang tangis yang tak kunjung mereda, dengan nafas yang tertahan aku berteriak di dalam gelapnya dunia.

"AKU DI MANA!"

Luka demi luka terus menyayat, Hingga air mata tak lagi mampu untuk menetes. Adakah sepercik cahaya untukku? Untuk kembali tersenyum, sungguh diri ini merindukan senyum yang tulus bukan senyum kepedihan. Dunia terlalu ramai untuk aku yang seorang diri. Dunia terlalu gelap untuk aku yang tidak mempunyai sepercik cahaya, dan dunia terlalu keras untuk jiwa yang selemah diriku.

Aku menatap dari kejauhan, saat itu gumpalan kapas tengah bersanding bersama cakrawala, seruan hina yang menyayat jiwa. Aku mendekap lirih tubuhku, tubuh yang kian melemah, tubuh yang tak mampu lagi menjadi tumpuan. Kaki yang mulai kaku, harus kulangkahkan ke mana?

Ah, sudahlah. Semua sudah memudar dari waktu kewaktu. Hidup ini masih berjalan di saat nafas masih menghela. Mulai hari ini aku akan merubah caraku berpijak. Sebab, tidak mungkin jika harus bersedih dalam waktu yang berkepanjangan. Meski kenyataan pahit selalu kutemui.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk bertemu ibu dan ayah, aku ingin menyampaikan jika aku sudah bisa menerima keputusan mereka.

Aku tidak bisa egois, mungkin awal aku mendengar sebuah perpisahan itu memang memilukan, tapi aku punya Tuhan yang setia berada di saat aku membutuhkannya. Tuhan juga tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya.

[Bu, hari ini. Nindy mau ketemu ibu sama ayah]

Itulah pesan yang aku kirimkan. Sebagai peringatan agar ibu dan ayah bisa menemuiku hari ini. Memang beberapa hari ini aku tinggal bersama nenek. Itu sebabnya aku mengirimi dia pesan.

Aku duduk disebuah taman yang tak jauh dari rumah nenek, untung saja ibu dan ayah dapat meluangkan waktunya. Aku tiba di sini sekitar lima menit yang lalu, dan tidak lama kemudian pun mereka sampai di sini.

"Ada apa, Nak?" Ayah membuka suaranya.

"Duduk," ucapku. Kini, mereka pun duduk, dengan posisi aku berada di tengah keduanya.

"Nindy, tidak akan pernah menuntut kalian untuk rujuk, jika ini sudah menjadi keputusan kalian, silahkan." Aku tersenyum getir, meski menyakitkan. Namun, aku harus bisa menahan air mata agar tidak lolos.

Ibu memelukku dengan tiba-tiba, ia menangis mendekapku. "Maafkan kami, kami telah gagal menjadi orangtua, maaf atas keegoisan kami," lirihnya.

Aku melepas pelukan itu dengan lembut, lalu menatap mereka secara bergantian. "Aku akan berusaha mengerti posisi kalian." Ayah mengelus puncak rambutku dengan sayang, mungkinkah ini hari terakhir aku berkumpul dengan mereka? Atau posisi ini adalah hari terkhir di mana keutuhan keluargaku? Entahlah.

"Lalu, kamu mau ikut dengan siapa?"

Aku hanya menggeleng, "Aku tidak akan ikut ayah atau pun ibu, aku akan tinggal bersama nenek. Jika, kalian rindu, datang saja ke rumah nenek. Nindy berharap setelah ayah dan ibu pisah. Hubungan silaturahmi tidak terputus."

Mereka pun tersenyum, lalu memelukku secara bersamaan, jujur saat ini air mataku sudah tak dapat lagi aku bendung.

Taman ini menjadi saksi perpisahan mereka, dan juga menjadi saksi atas keikhlasanku. Mungkin taman ini akan menyisakan kenangan terpedih, yang di mana ibu dan ayah memelukku secara bersamaan untuk yang terakhir kalinya.

Aku ikhlas, aku rela, dan aku kuat.
Terima kasih, atas segala bahagia dan kesedihan ini Tuhan.

Pesanku. Mari perbaiki diri dari kesakitan, bahwa seberapa parahnya lukamu, bukan berarti tidak bisa sembuh kembali. Sama halnya denganmu yang terjatuh bukan berarti tidak bisa bangkit kembali.

***

Izin promosi, Min!
Cerpen ini udah jadi bagian buku antologi yang berjudul Side Story Of Broken Home. Yang mau beli bukunya kuy japri: Zihanhandayani

0 Response to "BROKEN HOME | Cerpen"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel