Gagal Nikah


Salah satu alasan kami menjalin hubungan secara diam-diam karena rumah yang berdekatan. Hanya berjarak sepuluh langkah mungkin. Khawatir keluarga tak setuju. Usia kami pun hanya selisih empat puluh hari. Dia yang lebih dulu lahir.

Saat ini, Irfan mengajakku bertemu di taman.

“Neng ....”

“Hai, A.”

Duduk di sampingku. Irfan sebenarnya sudah mapan. Memang baru satu tahun kami menjalin hubungan. Awalnya aku juga tak mengira bahwa persahabatan kami menjadi benih cinta.

“Neng, ibu dan ayah sudah tau tentang hubungan kita.” Aku terperanjat.

Menatapnya lekat. Dia merunduk, mengeluarkan sebatang rokok lalu hendak menyalakan. Aku membuangnya dengan kasar.

“Apa mereka tak menyetujui hubungan kita?” tanyaku dengan suara tertahan. Hening.

Kaki ia silangkan, tangan direntangkan, tatapannya lurus ke depan. Aku mendengus kesal.

“Ya udah kita putus!” kataku diiringi buliran air mata.

Ketika rasa sayang itu hadir kemudian terhempas oleh restu, rasanya menyakitkan.

“Oke, kita putus pacaran. Berlanjut ke pernikahan,” ucapnya tenang.

Aku menoleh tak percaya. Dia tersenyum. Mata sipitnya semakin menyipit. Ingin memeluknya erat, tentu hal itu aku urungkan. Kami sepakat, tidak ada kontak fisik selama ijab qobul belum terucap.

“Serius, A?”

“Iya, serius. Tapi, kedua orang tua Aa pengen kita nikah bulan depan. Neng, siap?” Aku mengulum senyum. Malu.

“Siap gak, Neng?” tanyanya lagi dengan nada menggoda. Aku mengangguk pelan.

“Apa coba?”

“Iya.”

“Iya, apa?”

“Insya Allah siap.”

“Siap apa?”

“Dih, Aa.”

“Iya, siap apaan?”

“Siap nikah.”

“Kapan?”

“Tau, ah.” Aku membelakanginya.

“Hey, kok malah ngebelakangin? siapnya kapan?”

“Insya Allah siap nikahnya bulan depan, Aa ....” kataku gemas. Dia tertawa.

“Gitu dong.”

Angin senja seolah ikut merasakan desiran halus di hatiku.

Sesekali kami beradu pandang, saling senyum. Aku merunduk dan dia mengalihkan pandangan.

*** 
Esok keluarga Irfan datang ke rumah. Hanya menempuh lima menit untuk sampai ke depan pintu rumahku.

Dari jendela kamar dapat kulihat keriuhan keluarganya. Dia memang tergolong keluarga besar.

Irfan bungsu dari lima bersaudara. Semua kakak-kakaknya sudah menikah. Sedangkan aku bungsu dari dua bersaudara.

Orangtuanya sudah sangat sepuh. Ibu duduk di kursi roda, sedangkan Ayahnya berjalan menggunakan tongkat.

Dulu, mereka keluarga yang sederhana. Orang tuanya selalu sibuk berjualan di pasar. Kadang kala kakak-kakaknya diikutsertakan tapi tidak Irfan. Dia selalu memilih bermain denganku.

Sekarang mereka sudah mapan tapi sayang ilmu agamanya masih kurang. Irfan sering bercerita, kalau kedua orangtuanya jarang salat. Mereka selalu sibuk mengejar urusan duniawi. Sekarang alhamdulillah Ayah dan Ibu sudah mulai belajar salat.

Kami sekolah bersama, pergi mengaji pun bersama. Dia selalu menjadi superhero bagiku.

Ucapan salam terdengar dari luar. Itu pasti mereka. Aku mematut diri. Membenarkan letak jilbab. Pintu kamar terbuka. Teh Najwa menggendong bayinya menyembul dari balik pintu.

“Neng, siap-siap. Keluarga Irfan sudah datang.”

“Iya, Teh.”

Merasa telah siap, keluar dengan mengucapkan basmallah.

Jantungku berdegup. menarik napas berkali-kali.

Sampai di ruang tamu, tatapan mereka beralih kepadaku. Semuanya tersenyum. Ibu dan Ayah serta iparnya yang sesama perempuan aku salami.

Irfan nampak gagah dengan kemeja abu-abu bergaris hitam. Dia mengerlingkan sebelah mata. Astaga, sempat-sempatnya menggodaku. Aku duduk di sisi Bunda.

Acara dibuka oleh Rendi kakak tertua Irfan. Setelah sedikit berbasa basi. Tiba saatnya Irfan mengeluarkan kotak cincin.

“Ayo, Fan, pakaikan cincinnya,” seru Teh Farah.

“Ibu saja yang memakaikannya. Irfan sama Neng 'kan belum mahrom.” Cincin itu diberikan kepada Ibu.

“Sini, Neng!" panggil ibu. Aku menoleh ke Bunda, Bunda mengangguk. Beranjak menghampiri Ibu. Kemudian jongkok di depan kursi rodanya.

“Duduk sini, Neng. Biar Teteh pindah ke kursi sana,” seru Teh Farah sambil beringsut. Aku pun menuruti.

Ibu meraih tanganku, cincin itu sudah melingkar di jari manis. Berkali-kali Ibu mencium pipi.

“Akhirnya, Neng mau jadi anak ibu. Perasaan baru kemarin, ibu nyusuin Neng sama Irfan.” Keningku berkerut. Ada yang janggal dari perkataan Ibu.

“Maksud Ibu, nyusuin neng sama A Irfan, apa?”

“Jadi, waktu ngelahirin Neng, Bunda Neng 'kan masih di rumah sakit. Neng udah dibawa pulang duluan. Karena gak tega denger nangis mulu, ibu bilang ke Nenek Neng, biar ibu aja yang ngasih ASI. Ada kali semingguan. Ibu dan ayah waktu itu berasa punya anak kembar. Iya, Yah?”

Bagai petir di siang hari. Aku dan Irfan saling berpandangan. Tak terasa airmata menitik. Sedangkan dia terlihat gusar.

“Ibu, gak bercanda?”

“Enggak, Fan. Kakak juga masih ingat kok,” jawab Kak Roni.

Rasanya tubuhku lemas seketika. Hening.

"Eh, ada apa? Kok, Neng malah nangis?"

Ibu menggenggam tanganku.

“Pernikahan ini tidak bisa dilangsungkan, karena aku dan Neng saudara sepersusuan. Hubungan kekerabatan yang disebabkan persusuan haram (untuk dinikahi) seperti hubungan kekerabatan yang disebabkan karena nasab. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim."

Penjelasan Irfan membuat seisi ruangan melongo. Sedangkan aku? Masih menangis, tak mampu berucap.

Izha

0 Response to "Gagal Nikah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel