Puisi Kematian


Salam Rindu

Kawan
Tahu kah kau Hamid Jabbar
Cita-citanya, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung
Lalu dia mati di atas panggung
Pernah kau mendengar Burung Merak yang hebat itu
Dia berkata Tuhan, Aku Cinta Padamu
Lalu dia mati

Kawan
Aku ceritakan padamu tentang ZAT
Menuliskan Ciuman Terakhir Menjelang Kematian
Lalu dia mati di sisi jendela di rumahnya
Sang Begawan yang mengukur panjang langkahnya
Mati tak lama setelah tulisannya
Bacalah Catatan Seorang Demonstran
Sebelum mati bersama Soe Hok Gie

Ya Kawan
Mereka semua mati sesuai janji tuhan
Ayahku pun begitu
Barangkali tanahnya masih basah saat ini
Ya aku rindu

Kemarilah kawan
Kita sama titipkan rindu pada Munkar dan Nakir
Semoga kelak pertemuan kita mesra dengan mereka.

Medan, 11 Mei 2018
Khairul Fikri


***
Ref. Nusantaranews
Khairul Blog: https://satukara.blogspot.co.id/

Puisi adalah suara jiwa manusia dengan dimensi ruang dan waktu yang tak terbatas sekaligus tak berbatas. Bahasa dalam puisi memiliki kekuatan batin, energi alam semesta dan getar kehidupan.

Bahkan, bahasa tutur yang keluar dari lidah si penyairnya sendiri bisa menjadi doa yang didengar dan diijabahi oleh Tuhan. Berikut ini pengalaman puitik yang begitu dengan maut.

Pertama, Penyair Hamid Jabbar dan Puisinya. Hamid Jabbar, Penyair yang meninggal dunia pasa Sabtu malam, 29 Mei 2004 silam. Ia meninggal di atas panggung saat baca puisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tepatnya, empat puluh lima hari setelah ia berkata kepada teman-temannya yang mencemaskannya ketika penyakit diabetesnya kambuh, “Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung.” Berikut ini salah satu puisi Hamid Jabbar yang dekat sekali kematian.

AROMA MAUT
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)


Kedua, penyair berjuluk Burung Merak, WS Rendra. Berikut ini puisi terakhir Rendra yang ditulis menjelang ia Wafat 6 Agustus 2019

TUHAN, AKU CINTA PADAMU

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu


Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga


Ketiga, Penyair pendiri PPM Hasyim Asy’ari, Zainal Arifin Thoha (ZAT). Ia merupakan penyair yang banyak menulis puisi-puisi religius. Salah satu puisi monumentalnya ialah puisi yang ia tulis menjelang hari kematiannya di sisi jendela di rumahnya. Berikut ini puisi karya Zainal Arifin Thoha:

CIUMAN TERAKHIR MENJELANG KEMATIAN
di bawah matahari yang meledakledak
keringat begitu keras melumuri tangan malaikat
dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang wajahmu dengan gaib asmaradana
“tuhan, beri aku ciuman sebelum nyawa erenggang
“meninggalkan tanah surga yang jalang rupawan”

dan matahari mulai lingsir kesebelah wuwung
malaikat merayap-rayap mencari letak nyawa
tangis begitu mengharap hingga ini kamar bagai debur gelombang
tangan menggapai meraih-raih alam lain yang penuh camar
“tuhan, beri aku ciuman biar segera melesat ini sukma dan terlemparlah bangkai badan dari biru semesta”

Keempat, adalah puisi yang ditulis oleh sang Begawan NU dari Malang kakni Kiai Tolchah Mansoer. Berikut ini isi puisi gubahan Kiai Tolchah beberapa saat sebelum wafat.

[…………]

Langkah panjangku
Telah lama kuukur
Aku tak tahu berapa lagikah
Hari-hariku telah berlalu
Dan berapa hari lagikah
Sudah dekatkah
Langkah-langkahku akan berhenti
Dan apakah hari-hariku
Hingga hari ini


Kelima, Puisi yang ditulis oleh Soe Hok Gie. Dia aktivis yang suka menulis dan naik gunung. Dan begini akhir perjalanan Soe: 15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong. Puisi Catatan Seorang Demonstran di bawah ini merupakan puisi pamungkas yang ia tulis, tepatnya pada Selasa, 11 November 1969 tak lama sebelum ia meninggal.

CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah,
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Wiraza,
Tapi aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu sayang ku….
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala Wangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisi mu manisku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang menang

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua

Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu


Selasa, 11 November 1969



Kirimkan Novel, Puisi, Syair atau karya seni lainnya untuk melengkapi blog kita ini. Mohon Maaf apabila ada tulisan yang kurang berkenan. Jika ada yang keberatan silahkan komplain ke alamat yang tertera. File bisa dikirim ke satukara.com@gmail.com - WA: 085762407942 - FB: khairulfikri.co

1 Response to "Puisi Kematian"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel