Mantan

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah penantian. Entahlah, hatiku hanya dipenuhi oleh Anisa. Padahal ia tak terlalu cantik, hanya sangat mempesona di mataku. Kalian tahu pemeran Cat Woman? Iya, perawakan dan kulitnya seperti itu.

Setelah melewati begitu banyak purnama, dia baru bersedia kudekati. Tiap hari selalu kami sempatkan bertemu. Sekadar minum kopi, atau sengaja berbincang menghabiskan waktu senja.
Hingga saat ini dia belum memberi jawaban tentang perasaanku padanya.

"Aku dan Doni belum putus. Sudahlah, kita nikmati saja kebersamaan ini. Atau, gini aja. Kita pacaran sambil nunggu Doni mutusin aku. Gimana?" katanya tanpa beban. Aku hanya mengangguk.
Satu bulan, dua bulan sampai 5 bulan kami berhubungan. Aku yang dijadikannya yang kedua selalu menunggu giliran. Dalam hal nge date, bahkan chat. Lelah, itu yang kurasa.

"Nis, lebih baik sekarang kamu jujur. Pilih aku atau dia?" Anisa menghentikan suapan terakhirnya. Sendok diletakkan, bakso yang tinggal sebutir ia biarkan mengambang.

"Aku kan pernah bilang, kita nikmati saja hubungan ini. Kalau jodoh gak bakal kemana."
"Enggak bisa. Sekarang aku perlu kepastian!" kataku tegas. Dia mengembuskan napas. Mata bulatnya tak lagi memandangku. Beralih menyimak pengunjung lain.

"Aku memilih Doni." Degh! Seperti tersambar petir di siang bolong. Aku mendesah. Antara kesal dan kecewa. "Ya sudah, aku pulang duluan. Tolong bayarin, ya?" Dia berlalu tanpa mengucapkan maaf atau terima kasih.

***

Tujuh puluh tujuh hari tak ada kabar darinya. Perlahan aku mulai melupakan Anisa.

"A, ada undangan nih," seru adikku. Kubaca kertas bermotif indah. Foto Anisa tersenyum manis dengan seorang laki-laki. Tapi, bukan Doni. Tak jadi kubuka. Cukup tahu, itu pernikahan Anisa.
Singkat cerita, hari pernikahan Anisa sudah lewat. Aku tak datang. Bukan karena belum move on, lebih tepatnya masih kecewa. Apa bedanya? Jelas beda.

Sedang asyik main game, ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Anisa.
[Hai, aku pengen ketemu. Plis, bisa ya?]
[Bisa.]
[Kutunggu di tempat biasa.]

Aku menyanggupi hanya ingin memastikan keadaannya. Barang kali saja, dia menangis karena masalah rumah tangga. Misal, suaminya selingkuh. Hahaha, pikiranku jahat sekali.

Benar saja, dia sudah menunggu. Belum sempat menyapa, tubuhnya memelukku. Terkejut, berusaha melepaskan tangannya. Dia menangis. Untunglah belum ramai pengunjung. Aku memapahnya duduk. Memberikan selembar tissu.

"Anisa, ada apa?" Dia masih sesegukan. Mengatur napas.
"A, a, aku mau cerai ...," suaranya bergetar.
"Cerai? Kenapa?" Anisa mengelap cairan hidungnya.
"Sebenarnya, aku dan dia dijodohkan. Dari awal aku tak mencintainya." Menangis lagi. Sampai lupa aku belum pesan minuman. Sambil menunggu cerita, aku pesankan jus alpukat kesukaannya.

"Kemarin aku temui Doni, minta balikan. Tapi dia gak mau. Katanya, sudah sakit hati dengan keluargaku. Huks, huks ...," aku menelan ludah. Tak ada lagi simpati padanya. Masih membiarkan Anisa menangis. Di luar hujan mulai turun. Motor yang kuparkir di depan kedai basah. Ah, bakalan lama ini. Aku masih diam. Enggan menanggapi cerita Anisa.

"Yosef, kalau ... urusan perceraianku sudah beres. Bisa gak, kita mulai hubungan yang lebih serius? Aku mau kok, dinikahin sama kamu," ucapnya sambil menggenggam tanganku. Segurat wajahnya mengiba. Aku mengusap punggung tangan Anisa berkali-kali. Senyumnya mengembang. Kami saling pandang. Melepas genggamannya. Anisa menyeka airmata.

Tanganku merogoh sesuatu dari dalam tas selempang. Memberikan secarik kertas berwarna biru muda. Fotoku dan Syatizha tersenyum di depan sebuah gedung yang kerap kali digunakan untuk pra wedding.
"Jangan lupa, datang ya, Nis."

Sumber:
Izha Fiqhel

0 Response to "Mantan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel