Ada Perasaan Lega di Hati
Selingkuh
Menunggu. Itu yang aku lakukan dua hari ini. Duduk di warung kopi depan rumahmu. Tempat awal kita jumpa. Berharap kau menghampiri sekadar mengobrol seperti biasa. Namun, sejak kejadian itu kau tak pernah memandangku atau menghampiri. Padahal yang kulakukan semata karena tak mau merusakmu. Dan sekarang, aku rindu.
Gerbang rumahmu terbuka. Kulihat kau mengendarai motor besar. Mengenakan helm hitam. Tak terlihat rupamu tapi kutahu itu Abang.
Kau berlalu melewati. Tanpa melambatkan laju motor apalagi berhenti. Senyum yang kupasang berubah kecut. Sakit, terabaikan. Seketika air mata mulai menitik.
"Neng, ini teh hangatnya." Cepat kuseka air mata. Mpok Simah pemilik warung menyodorkan teh hangat. Aku meraihnya duduk di bangku panjang. Menyeruput pelan. Menghirup wangi melati.
"Lagi berantem ya, Neng?" Aku tersenyum simpul. Mpok Simah memang tahu, aku dan dia sering berbincang di warung ini.
"Enggak, Pok." Mataku tetap memandang rumah bercat putih gading. Mpok Simah beranjak. Masuk ke dalam. Membiarkanku sendiri.
Titik hujan mulai turun. Bersiap untuk pulang. Meninggalkan selembar uang. Aku pamit.
"Ini kembaliannya, Neng."
"Gak usah dikembaliin. Assalamu'alaikum."
Hujan semakin deras. Motor matic tetap kulajukan. Menerobos gerombolan air.
Dua puluh menit, tiba di rumah. Ibu gelisah melihat keadaanku. Menggigil. Cepat Ibu menyelimuti dengan handuk.
"Ibu siapin air hangat dulu." Aku jongkok di sudut dapur. Menunggu Ibu menyiapkan air hangat untuk mandi.
Selesai mandi. Ibu membalur tubuhku dengan minyak angin. Punggungku terasa panas.
"Sudah, Bu ... panas."
"Dua hari ini kamu dari mana, Azka?"
"Ke rumah teman, Bu." Aku berbohong.
"Tadi Rifan ke sini." Muak, mendengar nama itu.
"Nanti Azka telpon. Bu, Azka pengen istirahat, ya?"
"Ya sudah istirahat aja. Nanti buburnya dimakan, ya?"
"Iya, Bu."
Ibu keluar kamar. Meninggalkanku yang menggigil. Kutarik selimut, menutupi seluruh tubuh.
Rifan adalah tunanganku, dua tahun kami menjalani hubungan. Aku tak lagi menyukainya. Sebab, dia sering bicara kasar, merendahkan, bahkan hanya menganggapku sebagai teman jika dikenalkan kepada sahabat atau rekan kerjanya.
"Makanya, Sayang ... berdandanlah seperti mereka. Uda malu, kau cuma pakai bedak dan lipstik kurang merona. Lihat mereka, cantik-cantik kali, bukan?" katanya suatu waktu, saat bertanya kenapa tak mengenalkanku sebagai tunangannya.
Tanganku mengepal. Ingin sekali meninju mulut comberannya. Tapi tak bisa kulakukan karena Ibu sangat menyukai Rifan. Dia begitu lihai mengambil hati Ibu.
***
Esok harinya, Rifan datang. Membawa beberapa buah-buahan, roti tawar dan susu coklat, kesukaanku.
"Gimana demammu, sudah membaik?"
Aku hanya mengangguk.
"Dek, katanya beberapa hari ini kau sering pergi. Siapa yang kau temui?" Aku menghela napas. Membetulkan tempat duduk.
"Uda, adek mau jujur." Ini saatnya kuberitahu Rifan. Mumpung Ibu sedang tidak di rumah.
"Jujur perihal apa, Dek?" Sejenak aku terdiam. Memilin ujung switer yang kukenakan.
"Aku, aku tidak menyukai Uda lagi."
"Apa maksudmu? Ada pria lain yang kau suka?" Mengangguk tanpa ingin menatapnya. Tak peduli dengan omongan Rifan yang mungkin akan mencaci maki diriku.
"Baguslah. Uda juga telah lama tak menyukaimu." Mataku terbelalak. Tak percaya dengan ucapannya.
Jadi, jika tak jujur, aku telah menikah dengan laki-laki yang tak menyukaiku? Bajingan.
"Kau terlalu kaku, terlalu kolot. Pegang tangan gak boleh, dicium tak mau, apalagi ...,"
"Cukup, Uda!"
"Iya, cukup. Ya sudah, tak perlu kau bahas masalah ini. Intinya kita putus. Tapi kalau Uda boleh tau, siapa pria itu, heuh?"
"Gak perlu Uda tahu," kataku datar.
"Baiklah." Suasana hening. Dua jasad saling berhadapan tapi pikiran tak tahu ada di mana.
"Sebenarnya ... Uda juga berselingkuh."
"Iya, aku tahu. Maaf, pernah baca chat mesra Uda dengan Citra." Itulah, awal aku membencinya.
"Oh, iya, gak apa-apa. Sekarang, sekarang, Citra sedang hamil anak Uda. Sudah dua bulan."
Pernyataan kedua yang tak kupercaya. Benar-benar gila manusia ini.
"Apa?? Astaghfirullah! Kenapa baru bilang?"
"Mana ada lah Dek, orang selingkuh bilang?"
Napasku memburu. Kesal. Bukan karena cemburu. Tapi, karena dibohongi.
Tidak, aku tidak boleh kesal justru harusnya bersyukur karena diberi keberanian untuk jujur. Hingga aku tahu kelakuan laki-laki di hadapanku ini.
"Uda pulang saja. Maafin Uda, telah banyak salah padamu, Dek. Kamu perempuan baik. Uda yakin, Adek punya suami yang baik pula. Titip salam untuk Ibu. Assalamu'alaikum."
Lirih kujawab salamnya. Menutup kedua wajah. Ada perasaan lega di hati. Alhamdulillah. Tak henti aku ucapkan rasa syukur.
Kuraih handphone. Membuka aplikasi facebook. Status Abang ada di beranda. Perkata aku membacanya. Bahagia mengetahui dia baik-baik saja. Kubaca kolom komentar. Aku hanya tersenyum. Ingin berkomentar dan memberi like, namun kuurungkan. Aku ingat, dia telah melarangku untuk melakukan itu. Dua hari yang lalu.
Iya, Bang. Aku akan menjauhimu. Perlu kau tahu, kejadian itu tak mengurangi penilaianku terhadapmu.
Sumber
Izha Fiqhel
satukara.blogspot.com
0 Response to "Ada Perasaan Lega di Hati"
Post a Comment