Persembahan untuk Eyang Sapardi Djoko Damono dari Sajak Senja


Sastrawan itu meninggal hari ini. Jasadnya pergi, tetapi namanya akan abadi di kepala-kepala yang menyuka kata-kata indah, kata-kata yang bisa mengubah seseorang berubah menjadi penyuka puisi mendadak.
---
Sajak Senja adalah suatu komunitas literasi yang didirikan oleh Khairul Fikri. Seiring waktu, Sajak Senja mulai besar. Hingga saat ini membernya telah mencapai lebih dari 300.000 orang. Berikut beberapa media sosial Sajak Senja: Klik tautan di bawah ini!
Silakan klik dan ikuti media sosial di atas, jangan lupa subscribe channelnya.
Selanjutnya, kami suguhkan beberapa karya dari member Sajak Senja tentang Kepergian Eyang Sapardi Djoko Damono:
---
Eyang Sapardi Djoko Damono

Ragamu pergi, kepada pemilik alam jagat raya ini.
Tapi karyamu abadi, dalam sejarah dunia yang Engkau geluti.

Sekarang Eyang sudah tenang, berpulang kepada pangkuan Sang.
Biarkan ilmu itu mengalir pada muda-mudi negeri, agar tak mati kehidupan literasi.

[20 Maret 1940-19 Juli 2020]
Al-Fatihah..
- Fajar Apriyanto

---o0o---

Selamat jalan eyang Sapardi Djoko Damono. Terimakasih untuk setiap ilmu yang telah engkau bagi.
Terimakasih untuk setiap karya-karya mu yang sederhana namamu abadi di dalamnya

Minggu, 19 Juli 2020
- Sri Damay Yanti

---o0o---

RINAI HUJAN PETAKA RIUH - UNTUK EYANG
(Sapardi Djoko Damono)

Semerbak dedaunan berguguran
Bunga-bunga itu jatuh memenuhi jalanan
Meniti airmata rintik yang tiada henti
Kemana kekasih? Kini telah terkubur mati

Gemuruh riuh setelah tersiar kabar duka
Menyeruak pilu isak tangis penuh luka
Karya nya selalu saja ada disetiap sudut media
Kini telah pergi ke haribaan-Nya meninggalkan dunia

Liang lahat tanah masih basah
Dipenuhi bunga serta nisan penuh kesah
Menjelajah belantara waktu selama delapan puluh tahun
Sepotong kisah dihabiskan menjadi sastrawan dengan begitu tekun

Tengadah jemari ke Ilahi ya Rabbi
Dongkak pandangan menatap Arsyi
Karya, motivasi serta hikayat penuh arti
Seperti yang fana waktu dan abadi

Pepohonan menangis sedih dahanya tertutup rapat merahasiakan kesedihan
Jejak-jejak kakinya tlah dihapuskan hujan yang tak tega dan tak lagi ragu-ragu dijalanan
Segalah yang naif di Juli ini telah tertunduk haru
Seolah hari mengiringi kepergian awan hitam merampas warna biru

Ucapan yang tak sempat dari kayu kepada api yang menjadikannya abu
Sementara ucapan pilu awan kepada hujan yang menjadikannya airmata kepergian
Ia berpulang namun tepat hari itu tidak kembali kerumah tempat ia dilahirkan
Namun ia pulang ke tempat asalnya, awal mula diciptakan.

- PattimuraPuitis

---o0o---

Kalau ditanya puisi apa yang kucopas sampai hafal untuk meracuni murid-muridku sehingga mereka jatuh cinta kepada puisi, jawabnya puisi yang judulnya 'Aku Ingin' karya Sapardi Djoko Damono.

Selain meracuni otak-otak polos itu, puisi itu juga sering kucopas kalau godain orang #dulu, kalau #sekarang, sih, aku pakai puisiku sendiri🤭

Sastrawan itu meninggal hari ini. Jasadnya pergi, tetapi namanya akan abadi di kepala-kepala yang menyuka kata-kata indah, kata-kata yang bisa mengubah seseorang berubah menjadi penyuka puisi mendadak.

Pernah suatu ketika mendadak namaku ada di Sebuku bersama beliau. Sebuah tulisan yang kubuat untuk seseorang. Tidak menang memang, tetapi ada menjadi satu buku bersama nama besarnya, membuatku bahagia. Benar-benar bahagia. Bahkan, lebih bahagia ketimbang dikirimin kaliamat-kalimat buaya.
- Wahyuni Torong

---o0o---

Mengenal Karya Sapardi

Pada tahun 2015 terbit antologi puisi beliau dengan judul "Melipat Jarak", sebuah buku sepilihan puisi 1995 - 2015, yang diambil dari buku-buku puisi SDD pada periode tersebut. Ada 75 puisi pilihan pada buku ini, dan salah satu yang menurut saya terbaik pada buku ini adalah puisi tentang Marsinah. Saya kira, dari ratusan puisi tentang Marsinah dari banyak penyair, inilah puisi yang terbaik; penggambaran perjuangan, pengorbanan dan sosok Marsinah begitu hidup di puisi ini. Diksi dan metaforanya seperti fatamorgana yang nyata, sederhana namun begitu indah dan memikat. Kata-kata yang biasa saja, dihidupkan kembali dengan cara yang tidak biasa, seakan-akan kita baru mengenalnya.

Dongeng Marsinah
Karya : Sapardi Djoko Damono

/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”

/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.

/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?

/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)

/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

- Mahesa Jenar

---o0o---

Kepada Tuan Yang Telah Pergi
(sajak untuk Sapardi)

Pada ruang dan waktu yang terus berdetak
kami akan selalu khabarkan
tentang seorang lelaki penyair
yang selalu dapat kautemui
semua sabdanya yang penuh makna
lalu lalang dalam tulisan dan kata
lantunkan lirik-lirik kehidupan.

~Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.~

Demikian ia suka menitipkan nasehat
lewat dalamnya makna kata
diterbangkannya dari tepi jendela
tiap angin menafasi tubuhnya.

Hari ini tiba sebuah berita
tentang seorang lelaki penyair
yang dikenal lewat karyanya
katanya kini ia tak perlu lagi
kautemui duduk menentang waktu
sebab malaikat telah membebaskan
hatinya dari segala ketabahan musim.

~pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri~

Tapi tetap ada yang tertinggal di sini
karena ia yang telah jadi udara
menghembuskan api pada puisi
menyala nyala abadi di dada kami.

- Mahesa Jenar
Cibiru, 19 Juli 2020

---o0o---

Hujan Bulan Juli

Hujan bulan Juli,
aku tertatih; meniti pilu
hingga waktu menemukan airmata ku.

Hujan bulan Juli;
terngiang sabda Sapardi;
di antara hari buruk dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan
tanpa kata-kata.

Hujan bulan Juli,
mentari di pucuk jendela,
matamu pijar memintal cahaya.
Bunga mekar, embun pupus,
dan selamat datang hari yang baru
aku menamainya cinta.

- Mahesa Jenar
Jakarta, 20 Juli 2020

---o0o---

"Hujan Bulan Juni"
Salah satu karya Sastrawan besar Indonesia , Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono.

Innalillahi wainnailaihi Rojiun
Hari ini hari di mana beliau menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Dunia sastra Indonesia berduka.
Meskipun raganya telah tiada namun karyanya selalu hidup.
Semoga Eyang Husnul Hatimah.
Aamiin.
- Alviani Eghy Sukry

---o0o---

Puisi Akrostik sederhana ini, kutuliskan dengan cinta teruntukmu, Eyang. Sapardi Djoko Damono
Semoga engkau diterima di sisi-Nya, Aamiin.
1940-2020

S ang maestro puisi telah pergi di bulan Juli
A ir mata duka sedang menghampiri dunia literasi
P enyair sejati, berpulang menghadap Sang Ilahi
A rwahnya pergi, tetapi karyanya kekal abadi
R ibuan kata yang ia tata begitu menginspirasi
D an itu ia tulis semuanya dari hati nurani
I nnā li-llāhi wa-ʾinna ʾilaihi rājiʿūn

S emoga amal ibadahmu diterima di sisi Allah Swt
D oa-doa iringi kepergianmu Eyang
D ariku, kata-kata ini kutata untuk mengenangmu
S ang maestro puisi bumi pertiwi

Tangerang Tigaraksa
Ahad, 19 Juli 2020
- Septian Agus S

---o0o---

Sudah tanggal 30 penguhujung bulan, mungkin setelah hari ini eyang Sapardi harus tahu bahwa ada yang lebih tabah dari hujan di bulan juni itu. Rindu yang setiap hari mengusahakan merelakanmu.

Setiap hari adalah langkah-langkahku menghapus jejak pernah. Bagaimana menolak maunya hati yang masih saja kamu sebagai kiblat. Masih saja mencari di lipatan buku atau dibalik fajar mencari sisa-sisa tentang kita.

Aku mencintaimu, jika ada kata yang lebih baik dari itu sebagai penjara, aku ingin berpindah saja, sebab rela dan merelakan hal yang terlalu rumit.

Tidak, ini bukan luka. Aku hanya sedang menyesali lalu sebab sepertinya bahagiamu belum sepenuhnya aku usahakan. Sedang kamu sudah memberiku banyak, sampai aku tak menemukan nyenyak meski ribuan mili jarak.

Bukan perihal dekat antar tubuh, tetapi hatiku yang sudah tak utuh. Simbah relung sebab isak yang tak kunjung sudah, aku menyesali perpisahan bukan karena kamu lagi, meski sejujurnya itu juga bagian. Penyesalan. Kita memilih hilang dan punah, daripada datang dan pergi.

Penyesalanku tentang persaan-perasaan penyalahan sebelumnya, bahwa itu adalah penyembuh paling ampuh padahal semu. Seolah itu satu-satunya cara menolak sakit menjalar terlalu dalam. Sedang sebenarnya diri memilih dipeluk kelam.

_________________________________
[15:02, Waktu bumi di kotaku
Kepalaku penuh Ra, dadaku sesak kala sapamu menghampiri. 'Pertanyaan baik-baik sajakah' setelah perpisahan yang kamu pilih waktu itu, serupa jarum-jarum yang menyita arteri.

Ra, tak ada baik setelah kita, sebab hatiku tinggal separuh. Aku belum menemukan utuh seperti kamu kini kembali bertaruh.

Ra, semua kalimat yang aku tulis di lini masa ini, semoga tak pernah kamu baca. Sebab bahagiamu masih doaku yang utama, sedang tempat ini sembunyi yang paling bisa aku usahakan selain menahan pelukku berhamburan pada dekapmu.]
- Alfa Karina

---o0o---

Kepadamu hujan bulan Juni

Kau sudah abadi, dalam rintik hujan bulan Juni
Pergimu bersama kuncup bunga randu alas sudah terjadi,
Sungguh, sesederhana katamu Sapardi

Kau sudah menemukan tempat yang kau cari, kata yang kau cari
Jasadmu memang sudah tidak ada lagi,
Namun, setiap katamu abadi
Bersamaan dengan tumbuhnya kuncup daun jati

Sapardi, eyang keindahan katamu
Mengerak dalam nadi imajiku
Mendasar pada pikiranku,
Darimu aku belajar mencintai dengan sederhana

Untukmu sihujan bulan Juni,
Meski ini tidak sederhana,
Selamat jalan, surga telah menanti
Terima kasih, atas setiap jengkal ilmu yang telah kau bagi
Selamat jalan eyang Sapardi...

Aji Pamoro
Tegal, 19 Juli 2020

---o0o---

Seperti Chairil Anwar yang indentik dengan "jalang", Amir Hamzah dengan "Sunyi", Seno Gumira dengan "senja", Joko pinurbo "celana", Sapardi DD "Hujan", Rendra "burung camar" ... Dsb.
Penyair-penyair ternama mempunyai ke-khas-an unik yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Penyematan karakter itu bukan begitu saja diperkenalkan oleh penyair. Melainkan kekonsistenan mereka dalam berkarya dan istiqomah mengusung satu genre puisi ciri khasnya.
Hingga para penikmat puisi kemudian membaiatnya sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.

So, apa yang bisa kita ambil pelajaran dari mereka?
- Emha Sepu Luh

---o0o---

APAPUN
Karya: Hermin Veronika

Aku mau
Menjadi apapun yang engkau mau

Seperti lautan
Mencintai pantainya
Seperti hutan
Mencintai kabutnya

Seperti sungai
Mencintai muaranya
Seperti ngarai
Mencintai perdunya

Seperti aku
Mencintaimu
Membeku
Tanpamu

#Ambyaar
Sidoarjo, 21 Juli 2020

---o0o---

(Masih) Hujan Bulan Juni
-Try Gusti Randa-

Aku masih bersama sisa hujan
yang sehari semalam ditinggalkan Juni.

Hujannya masih di sini,
bersama dinginnya.

Pagi ini ...
mentari terlambat bersinar,
sebab mendung baru beranjak.

Tapi aku khawatir,
mentari tak akan lama,
bila Juni tak mengizinkan hujannya pergi jua,
tersebabkan dinginnya
masih tertinggal di sini.

Mendung masih siap sedia menyelimuti,
ah ... kuharap kaumengerti
sebab hujan di sini
adalah tangisanku
yang kehilangan dirimu
setelah berlalunya Juni.

Dingin ...
aku ingin kau di sini,
beri aku kehangatan seperti dulu
dengan puisimu itu

Selamat Jalan, Sastrawan Besar Indonesia.
Selamat Jalan, Pak Sapardi Djoko Damono.

Katamu hujan di bulan Juni
Bagiku hujan di bulan Juli
Engkau pergi
Namun tetap abadi
Di dalam puisi
Di dalam hati

###

Hujan Bulan Juni
-Sapardi Djoko Damono-

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

- Gusti

---o0o---

Dan kemudian, kapal tersebut pada akhirnya berlabuh;
jauh-jauh, menemui orang yang dicintainya sehidup semati.
Dan tidak akan mungkin kembali lagi.

Sekali lagi, kami kehilangan orang yang berjasa bagi Indonesia,
Selamat jalan, sang sastrawan; Sapardi Djoko Dormono.
- Ilham Ham

---o0o---

Hujan bulan juni bagimu
Duka bulan maret bagiku

tak ada yang lebih tabah
dari duka bulan maret
Melepas inti inspirasi
Untuk tetap berkarya tanpa ditemani

tak ada yang lebih bijak
dari duka bulan maret
Ungkapan terimakasih untuk sapardi
Guru besar dunia literasi

tak ada yang lebih arif
dari duka bulan maret
Di biarkanya jasad pergi
Sedang hati tetap akan mencari

may God send you to heaven
- Sajak Senja

---o0o---

Puisi ini saya buat untuk bapak sapardi djoko damono.
Beliau seorang penyair, sastrawan Indonesia yang pada hari ini telah berpulang pada rahmatulloh.
Semoga jasa-jasa beliau karya-karya beliau tetap kita kenang sepanjang masa.
Amin.

HUJAN BULAN JUNIE.
Oleh : Roman Senja

Waktu nan indah di sudut kota jakarta
Lenggok gerakmu mengikuti suara biola
Menari dalam bait puisi senja
Bersama hujan juga sisa cerita
Biarlah perlahan gugur bersama suara
abadi kan ku kenang puisimu sepanjang masa

Aku melihat bulan dalam balut gerhana
Aku seka air mata menutup bait cinta
Adakah paling indah bait puisi cinta
Di tengah tubuh yang menua
Aku bilang ada
Dialah puisi hujan di bulan juni

Tak ada hujan yang paling indah
selain hujan bulan juni
Tak ada puisi cinta yang paling indah selain puisi bulan juni
Tak ada yang lebih tabah selain hujan di bulan juni

Waktu telah lewat baitmu tertutup usia tapi puisimu tak akan pernah habis
Sebab engkau ada di puisi hujan bulan juni
Gerimis telah bertandang sekumpulan aksaramu berhambur diantara anak-anak puisimu
Hujan bulan juni adalah engkau dalam balut puisi

1940-2020

Selamat jalan penyair Sapardi djoko damono.
- Roman Senja

---o0o---

Sajakku tak sesejuk sajak sapardi.
Sajakku sejorok gorong-gorong negri.
Di huni tikus-tikus berdasi.
Di aliri limbah sabun mandi.
Tempat kucing buncit memantaskan diri.

Rompi oranye syarat peribadatan suci, untuk persembahan lapas sukameki.
Keluar dari mobil mewah dan melambaikan tangan bak artis karpet merah.

"Saya khilaf" tutur mereka ketika di wawancara.
"Khilaf khilaf, matamu!" Gumamku.
- Lubila Labil

---o0o---

NYANYIAN SAPARDI
Tabah,
Kami di rayu resah
Dalam hujannya yg tabah
Kematian berdentang, lonceng berbincang
Bijak,
Sihir paling bijak adalah sihir katak
Malam nya bernyanyi siang nya berenag di kali
Di tepi hutan kita temukan bajang
Membawa nisan dan majmuat persiapan tahlil nanti siang
Arif,
Tak searif jalan terguyur hujan tak semanis kebun gula kenangan
Tak sepahitkopi yg kami pesan justru sepekat rokok di jantung orang
Nyanyian sapardi lumayan tenang di mata jalan.
- Sitti Margaret Sitti Margaret
---o0o---
Musikalisasi Puisi Sapardi Djoko Damono









0 Response to "Persembahan untuk Eyang Sapardi Djoko Damono dari Sajak Senja"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel